A. PENGERTIAN ULUMUL HADIST
Secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis, kata ‘uliim adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm (ilmu). Secara Etimologis, seperti yang diungkapkan oleh suyuthi, ilmu hadis adalah:
علم يبحث فيه عن كيفية اتصال الحديث برسول الله ص م من حيث احوال رواته ضبط وعدالة ومن حيث كيفية السند اتصالا وانقطاعا وغير ذالك
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW. Dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dank e-adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya.
Hasbi ash-Shiddieq, tokoh hadis Indonesia, mengatakan bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang berpautan dengan hadis nabi SAW. Pernyataannya ini selain bertolak dari makna lughawi (bahasa) juga mengisyaratkan bahwa ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW itu banyak macam dan cabangnya.
Pada mulanya, Ilmu hadis memang merupakan beberapan ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi Saw dan para perawinya, seperti Ilmu al-Hadits al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma wa al-Kusna, Dan lain-lain.Penulisan ilmu-ilmu Hadis secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H. umpamanya, Yahya ibn Ma’in menulis tarikh al-Rijal, Muhammad ibn saad menulis al-Thabaqat, Ahmad ibn hanbal menulis al-ilal dan al-Nasikh wa al-Mansukh, dan lain-lain.
Ilmu-ilmu yng terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul hadis, karena masing-masing membicarakan tentang hadis dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi, penggunaan lafaz jamak Ulumul hadis, setelah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu ilmu hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama- beberapa ilmu yang terpisah-menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah musthalahah al-Hadits. Para ulama yang menggunakan nama ‘Ulum al-Hadits, di antaranya adalah Imam al-Hakim al-Naisaburi, Ibn al-Shalah, dan ulama kontemporer. Sementara itu, beberapa ulama yang datang setelah Ibn al-Shalah, seperti al-‘Iraqi dan al-Sutyuthi menggunakan lafazh mufrad, yaitu ilmu al-Hadis, didalam berbagai karya mereka.
1. Kajian ilmu hadis
Secara garis besar ulama hadis mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah (‘ilm al-Qadis riwayah) dan ilmu hadis dirayah).
a.ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang mempelajari cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi SAW. Objek kajiannya ialah hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya yang meliputi: a).Cara periwayatannya, yakni bagaimana cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain. b). Cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadis. Ilmu ini tidak membicarakan kualitas sanad, sifat rawi, dan cacat yang terdapat pada matan dan lainnya.
Adapun Definisi Ibnu Al-Akhfani, yaitu,
علم الحديث الخاص باالرواية علم يشتمل على اقوال النبي ص م وافعاله وروايتها وضبطها وتحرير الفاظها
“ Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW., periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.
Ilmu hadis riwayah ini sudah ada semenjak Nabi Saw masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Para sahabat Nabi Saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi, mereka berupaya untuk memperoleh hadis-hadis Nabi Saw dengan cara mendatangi majelis Rasul Saw serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau. Demikian pemeliharaan hadis Nabi berlangsung hingga usaha penghimpunan hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz. Setelah di bukukannya hadis-hadis tersebut, maka selanjutnya akan menjadi rujukan para ulama yang datang kemudian, dan Akan sendirinya ilmu hadis riwayah tidak banyak lagi berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah, pembicaraan dan perkembangannya tetap berjalan sejalan dengan perkembangan dan lahirnya berbagai cabang dalam ilmu hadis.
Ilmu hadis riwayah bertujuan untuk memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam hal pernulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri tauladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya.
b. Ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain. Sasaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstrem. Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan, mulai dari sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut.
Definisi yang paling baik, seperti yang diungkapkan oleh ‘Izzuddin bin Jama’ah, yaitu,
علم بقوانين يعرف بها احوال السند والمتن
“Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui sanad dan matan .
Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut:
a. Ittishal as-sanad (persambungan sanad)
b. Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl (adil), dhabit (cermat dan kuat ), dan tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat.
c. Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad.
d. ‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna.
Syadz dan Illat ada kalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis yang mendalam.
Tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan maqbul (diterima) dan mardad (ditolak)-nya suatu hadis. Dalam perkembangannya, hadis Nabi SAW telah dikacaukan dengan munculnya hadis-hadis palsu yang tidak saja dilakukan oleh musuh-musuh islam, tetapi juga oleh umat islam sendiri dengan motif kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Oleh karena itu, ilmu hadis dirayah ini mempunyai arti penting dalam usaha pemeliharaan hadis Nabi SAW. Dengan ilmu hadius dirayah dapat diteliti hadis mana yang dapat dipercaya berasal dari Rasulullah SAW, sahih, daif, dan palsu.
Ilmu hadis dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul hadis, musthalahah al-Hadits, atau Ushul al-Hadis. Kseluruhan nama-nama diatas, meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu hadis, dari segi diterima dan ditolaknya.
Kemudian dari dua pembagian besar ini, muncullah cabang-cabang sperti :
a. Ilmu Rijalil Hadis
Yaitu Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sebelumnya.
b. Ilmu Jarhi wa Ta’dil
Ilmu ini pada hakikatnya satu bagian dari ilmu rijalil hadis, namun karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yaitu Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang dimensi keadilannyadengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata tersebut.
c. Ilmu Illail Hadis
Yaitu ilmu yang membahas perihal cacat tersembunyi yang mungkin terdapat dalam suatu hadis yang keberadaannya dapat menjatuhkan nilai hadis yang secara lahir tampak shahih.
d. Ilmu nasikh wa mansukh.
Yaitu ilmu yang membahas penyelesaian hadis-hadis yang bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.
e. Ilmu asbab al-Wurud
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan Sabdanya dan masa-masa (situasi dan kondisi) Nabi (ketika) menurunkan itu.
f. Ilmu Talfiq Hadis
Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadis-hadis yang isinya berlawanan.
B. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBINAAN ILMU HADIST
Sebelum kita menguraikan periode masa pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits perlulah kiranya dijelaskan di sini pengertian pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits. Hal ini sangat penting, karena masih ada yang menyamakan antara perkembangan hadits dengan ilmu hadits itu sendiri. Padahal keduanya berbeda, meskipun demikian, keduanya tidak bisa dipisahkan. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ilmu hadits selalu mengiringi pertumbuhan hadits itu sendiri.
Pertumbuhan secara etimologi diartikan hal keadaan tumbuh, perkembangan. Sedang pembinaan terbentuk dari kata dasar “bina” dan mendapat imbuhan pe – an menjadi pembinaan yang berarti usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.[1][3]
Jadi, pertumbuhan ilmu hadis diartikan sebagai perkembangan ilmu hadits mulai dari perintisannya sampai tumbuh dan perkembangnya hingga masa sekarang. Sedang pembinaan ilmu hadis, secara singkat, adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna terhadap ilmu-ilmu hadits mulai cikal bakalnya hingga hadits bisa menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sitematis, luas dan lengkap bahasannya.
Dalam tataran praktiknya, ilmu hadis sudah ada sejak periode awal islam atau sejak periode Rasulullah SAW. Yakni ilmu hadis sudah lahir sejak dimulainya periwayatan hadis di dalam islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadis-hadis Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadis-hadis tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadis. Berawal dengan cara yang sederhana, ilmu ini berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada akhirnya, ilmu ini melahirkan berbagai cabang ilmu dengan metodelogi pembahasan yang cukup rumit.
Secara umum karakteristik pertumbuhan Ilmu Hadist mulai zaman Nabi SAW sampai zaman setelah Tabi’ tabi’in adalah sebagai berikut:
1. Pada periode Rasulullah SAW, kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) yang menjadi cikal bakal ilmu hadis terutama ilmu hadis dirayah dilakukan dengan cara yang ssederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Rasulullah SAW. atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan nmengamalkan hadis tersebut.
2. Pada periode Sahabat, penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan hadis semakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq (573-634 H; khalifah pertama dari Al-Khulafaur Rasyidin atau empat Khalifah Besar), misalnya, tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu menadatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Demikian pula, Umar bin Al-Khatthab (581-644 H; khalifah kedua dari Al-Khulafaur Rasyidin ). Bahkan, Umar mengancam akan memberi sanksi terhadap siapa saj yang meriwayatkan hadis jika tidak mendatangkan saksi. Ali bin Abi Thalib (603-661 ; khalifah terakhir dari Al-Khulafaur Rasyidin ) menetapkan persyaratan tersendiri. Ia tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang yang menyampaikannya bersedia diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menunutut persyaratan tersebut terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan kebenarannya, seperti Abu Bakar Ash-Siddiq.
3. Masa Tabi`in
Melihat kondisi seperti hal diatas para ulama` bangkit membendung hadits dari pemalsuan dengan berbagai cara diantaranya rihlah cecking kebenaran hadits dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapatkan hadits harus disertai dengan sanad. Keharusan sanad dalam periwayatan bahkan menjadi tuntutan yang sangat kuat ketika Ibnu Syihab Az Zuhri menghimpun hadits dari para ulama diatas lembaran kodifikasi. Sanad adalah merupakan syarat mutlak bagi yang meriwayatkan hadits, maka dapat disimpulkan bahwa pada saat itu telah timbul pembicaraan periwayat mana yang adil dan mana yang cacat (ilm jarh wa ta`dil), sanad mana yang terputus (munqothi`) dan yang tersambung (muttashil), dan cacat (illat) yang tersembunyi.
Perkembangan ilmu hadits semakin berkembang pesat ketika ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perowi hadits kuat apa tidak (dlobith), bagaimana metode penerimaan dan penyampaiannya (tahammul wa ada`), hadits yang kontra berisifat menghapus (nasikh dan mansukh) atau kompromi, kalimat hadis yang sulit dipahami (gharib al hadits) dan lain-lain. Akan tetapi, aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan (syafawi) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Baru ketika pada pertengahan abad kedua sampai dengan ketiga hijriyah ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu – ilmu lain atau berbagai buku atau berdiri secara terpisah. Misalnya ilmu hadis bercampur dengan ilmu ushul fiqh, seperti dalam kitab Ar Risalah yang ditulis oleh As Syafi`i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al Umm dan solusi hadis –hadis yang kontra dengan diberi nama Ikhtilaf Al –Hadits karya As Syafi`i (w.204 H).[2][9]
4. Masa Tabi’ tabi’in
Pada masa ini sejalan dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadits , perkembangan penulisan ilmu hadits juga pesat. Namun penulisan ilmu hadits masih terpisah – pisah belum menyatu menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Ia masih dalam bentuk bab-bab saja. Diantara kitab-kitab hadis pada abad ini adalah kitab Mukhtalif Al-Hadits yaitu Ikhtilaf Al Hadist Ikhtilaf Al Hadist karya Ali Al Madani, Ta`wil Mukhtalif Al Hadits karya Ibnu Qutaibah (w.276 H).
Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadis yang ditulis oleh para ulama abad ke-3 Hijriyah ini, namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri sebagai ilmu hadis, ia hanya terdiri dari bab-bab saja. Ringkasnya kitab-kitab itu mengenai al jarhu wa ta`di, ma`rifat as sahabat, tarikh ar ruwat, ma`rifat al asma` wal kuna wal al-alqob, ta`wil musykil al hadits, ma`rifat an nasikh wal mansukh, ma`rifat hgharib al hadits, ma`rifat ilal al hadits.[3][10]
5. Masa Setelah Tabi` Tabi`in (abad 4 H)
Pada masa ini perkembangan ilmu hadis mencapai puncak kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H yang merupakan penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu yang berserakan dan terpisah pada abad-abad sebelumnya. Orang yang pertama kali memunculkan ilmu hadis secara paripurna dan bersendiri sendiri adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi, dalam karyanya al-muhaddits al-fashil bain ar-rawi wa al-wa`i. Akan tetapi tentunya tidak mencakup keseluruhan permasalahan ilmu.
Semua yang dilakukan mereka bertujuan memelihara kemurnian hadis-hadis Rasulullah SAW. Diantara sahabat yang terkenal selektif dan tak segan-segan membicarakan kepribadian sahabat lain dalam kedudukan sebagai periwayat hadis adalah Anas bin malik, Abdullah bin Abbas, dan Ubaidah bin Ash-Tsamit. Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat tersebut diikuti pula oleh para ulumul hadis yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelan munculnya hadis-hadis palsu, yaitu sekitar tahun 41 H, setelah masa pemerintahan Khalifah Ali ra. Semenjak itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad hadis dengan mempraktikkan ilmu al-Jarah wa at-Ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah ilmu al-Jarah wa al-Ta’dil ini tumbuh dan berkembang.
Setelah munculnya kegiatan pemalsuan hadis dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka beberapa aktivitas teretentu dilakukan oleh para ulama hadis dalam rangka memelihara kemurnian hadis, yaitu seperti:
1. Melakukan pembahasan terhadap sanad hadis serta penelitian terhadap keadaan setiap para perawi hadis, hal yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan.
2. Melakukan perjalanan (Rihlah) dalam mencari sumber hadis agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut melaluinya.
3. Melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dhaif-an atau kepalsuan suatu hadis.
Demikianlah kegiatan para Ulama hadis di abad pertama Hijriyah yang telah memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis.
Pada akhir abad ke-2 H, barulah penelitian atau pengkritikan hadis mengambil bentuk sebagai ilmu hadis teoritis, disamping bentuk praktis seperti dijelaskan di atas. Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil bain Ar-Rawi wa Al-Wa’i.
Ketika Abad ke-3 H (masa keemasan ) dalam sejarah perkembangan hadis, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah hadis ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Pada abad ke-4 dan ke-5 H mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang ilmu hadis yang yang bersifat komprehensif, seperti kitab al-Muhaddits al-Fashil byn al-Rawi wa al-Wa’I Oleh al-Qadhi Abu Muhammd al-Hasan ibn ‘Abd Rahman ibn al-Khalad al-Rahurmuzi.
Selang beberapa waktu, menyusul Al-Qadhi ‘Iyadh bin Musa Al-Yahsibi (w. 544 H) dengan kitabnya Al-Ilma fi Dabath Ar-Riwayah wa Taqyid Al-Asma’ . Berikutnya adalah Abu Amr ‘Usman bin shalah atau ibn shalah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M) dengan kitabnya, ‘Ulum Al-Hadis yang dikenal dengan mukaddimah ibn Ash-Shalah, Kitab ini mendapat perhatian banyak ulama sehingga banyak pula yang menulis syarah (ulasan)- nya.
Dari uraian di atas juga dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu hadits dalam pertumbuhannya mengalami pasang surut. Hal ini terlihat jelas pada zaman sahabat yang menetapkan syarat – syarat yang ketat dalam periwayatan hadis. Sedang masa-masa sesudahnya, ilmu hadits mengalami pertumbuhan yang cukup baik.
KESIMPULAN
Ilmu Hadis ialah ilmu yang mempelajari cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW. dari segi hal ikhwal para perawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dank e-adil-annya dan dari sbersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.
Setiap orang yang mempelajari ilmu hadits ini harus mengetahui bahwasanya semua landasan dan aturan mendasar dari ilmu riwayat dan penukilan kabar itu sudah termaktub dalam Al-Qur`an dan sunnah. Di dalam Al-Qur`an Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al-Hujurat:6)
Dalam ayat di atas terdapat landasan awal dari kewajiban meneliti dan memeriksa sebuah kabar sebelum kabar tersebut diterima. Juga menjadi landasan dalam hal bagaimana cara memeriksanya, memperhatikannya, menghafalnya, dan berhati-hati dalam menyampaikan kabar tersebut kepada orang lain. Dan sebagai perwujudan dari perintah Allah dan Rasul-Nya ini, para sahabat radhiallahu anhum senantiasa melakukan tatsabbut (mengecek kebenaran) dalam menukil dan menerima sebuah kabar, terlebih lagi jika mereka meragukan kejujuran orang yang membawa kabar tersebut. Maka dari sisi inilah muncul pembahasan mengenai sanad sebuah kabar dan bagaimana pentingnya kedudukan sanad dalam menerima atau menolak suatu kabar.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`an dan Terjemahnya,
As Siddiqieqy, M. Hasby. 1980. sejarah dan pengantar Ilmu Hadits. Bulan Bintang.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2020. Ensiklopedi Islam. Jakarta :PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulum Hadis. Jakarta:Amzah.
Tim Penyusun. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Munadi, Yudi (ed). 2009. Ulumul Hadits. Jakarta : PSW UIN Syarif Hidayatullah.
Solahuddin, M.Agus. 2011. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
M. Bahruddin. 1999. Ulumul Hadis. Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar