BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (epistemologi), paradigma epistemologi
positivistik telah merajai bidang ini, dan telah bercokol selama berpuluh-puluh
tahun. Tetapi sekitar dua atau tiga dasarwarsa terakhir ini, terlihat
perkembangan baru dalam filsafat ilmu pengetahuan. Perkembangan ini sebenarnya
merupakan upaya pendobrakan atas filsafat ilmu pengetahuan positivistik yang
dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti thomas S. Kuhn, paul feyerabend,N,R.Hanson,
Robert Palter,Stephen Toulmin, serta Imre Lakatos.
Kuhn
khususnya, juga mengkritik doktrin-doktrin filsafat tertentu seperti Boconian,
pandangan tentang verifikasi, falsifikasi, probalistik, serta penerimaan dan
penolakan teori-teori ilmiah.
Sejarah
ilmu yang semula praktis menjadi semacam upaya untuk melihat urutan kronologis
prestasi-prestasi ilmiah individual yang semakin ketat,teliti,sehingga dari
sini semakin menemukan banyak fakta sejarah dalam peerkembangan ilmu yang
ternyata berperan besar yang sebelumnya tak terlihat sedikit
pun.penemuan-penemuan baru ini meruntuhkan berbagai mitos ilmiah yang
terkontruksi sebelumnya.
Ciri
khas yang membedakan model filsafat ilmu baru ini dengan model filsafat yang
terdahulu adalah perhatian besar terhadap sejarah ilmu dan filsafat sains. Dan peranan
sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu
pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang terjadi. Bagi Kuhn sejarah ilmu merupakan
starting point dan kaca mata utamanya dalam menyoroti permasalahan-permasalahan
fundamental dalam epistemologi, yang selama ini masih menjadi teka-teki. Dengan
kejernihan dan kecerdasaan fikiran,ia menegaskan bahwa sains pada dasarnya
lebih dicirikan oleh paradigma dan refolusi yang menyertainya. Dan Menurutnya,
dalam setiap perkembangan ilmu pengetahuan selalu terdapat dua fase yaitu;
normal science dan revolutionary science. Singkatnya, normal science adalah
teori pengetahuan yang sudah mapan sementara revoutionary science adalah upaya
kritis dalam mempertanyakan ulang teori yang mapan tersebut dikarenakan teori
tersebut memang problematis.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Siapa Thomas S. Khun?
2.
Bagaimana pengertian paradigma?
3.
Bagaimana terjadinya paradigma Thomas S.
Kuhn untuk mengembangkan suatu keilmuannya?
4.
Bagaimana anomali dan munculnya penemuan
baru?
5.
Bagaimana permasalahan dan keutamaanya
revolusi sains?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Thomas S. Kuhn
Thomas S. Kuhn dilahirkan di Cicinnati, Ohio pada
tanggal 18 juli 1922. Kuhn lahir dari pasangan Samuel L, Kuhn seorang Insinyur
industri dan Minette Stroock Kuhn. Dia mendapat gelar B.S di dalam ilmu fisika
dari Harvard University pada tahun 1943 dan M.S. Pada tahun 1946. Khun belajar
sebagai fisikawan namun baru menjadi pengajar setelah mendapatkan Ph.D dari
Harvard pada tahun 1949. Tiga tahunnya dalam kebebasan akademik sebagai
Harvard Junior Fellow sangat penting dalam perubahan perhatiannya dari ilmu
fisika kepada sejarah(dan filsafat) ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard
sebagai asisten profesor pada pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan
presiden Universitas James Conant (Aprillin, 2010).
Setelah meninggalkan Harvard dia belajar di Universtitas Berkeley
di California sebagai pengajar di departemen filosofi dan sains. Dia menjadi
profesor sejarah ilmu pada 1961. Di berkeley ini dia menuliskan dan menerbitkan
bukunya yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution pada
tahun 1962. Pada tahun 1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di
Princeton pada tahun 1964-1979. Kemudian di MIT sebagai professor
filsafat. Tetap di sini hingga 1991(Muslih, 2004).
Pada tahun 1994 dia mewawancarai Niels Bohr sang
fisikawan sebelum fisikawan itu meninggal dunia. Pada tahun 1994, Kuhn
didiagnostik dengan kanker dari Bronchial tubes. Dia meninggal pada
tahun 1996 di rumahnya di Cambridge Massachusetts. Dia menikah dua
kali dan memiliki tiga anak. Kuhn mendapat banyak penghargaan di bidang
akademik. Sebagai contohnya dia memegang posisi sebagai Lowel lecturer pada
tahun 1951, Guggeheim fellow dari 1954 hingga 1955, Dan masih
banyak penghargaan lain (Muslih, 2004).
Karya Kuhn cukup banyak, namun yang paling terkenal dan mendapat
banyak sambutan dari filsuf ilmu dan ilmuan adalah The Structure of
Scientific Revolution,sebuah buku yang terbit pada tahun 1962, dan
direkomendasikan sebagai bahan bacaan dalam kursus dan pengajaran berhubungan
dengan pendidikan, sejarah, psikologi, riset dan sejarah serta filsafat sains.
2.2 Pengertian Paradigma
Berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, paradigma dapat diartikan sebagai model dalam
teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir (Alwi, 2002). Paradigma menurut
Kuhn adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoretis yang umum (merupakan sumber
nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu
pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu
pengetahuan itu sendiri (Surajiyo, 2008).
Kuhn
menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti
keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh
anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis
unsur pemecahan teka-teki yang konkret yang jika digunakan sebagai model, pola,
atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit menjadi
dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas.
Secara singkat paradigma dapat diartikan sebagai ”keseluruhan konstelasi
kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang
sesuatu (fenomena)”.
Ada
empat cara berfikir berdasarkan dikotomi pengaruh antara individu dan
masyarakat:
1)
Dikotomi muncul akibat asumsi umum bahwa
individu dapat membentuk atau mengubah masyarakat.
2)
Dikotomi muncul akibat asumsi umum
bahwa” individu merupakan produk dari masyarakat (individual
is created society)
3)
Dikotomi dari kedua pendapat itu
disintensiskan dalam model yang dimiliki perspektif yang tersangkut paut dalm
hubungan antara anggota masyarakat.
4)
Model terakhir ini akan menghasilkan
gambaran yang menyambung. Disatu sisi langsung proses socialization yang
terjadi ketika individu mendapat pengaruh kuat dari lingkungan sosial, individu
akan menyesuaikan diri dengan pola-pola yang berlaku di masyarakat.
Pandangan
antara paradigma ilmu pengetahuan tampaknya berubah antar waktu. Perkembangan
subtansi paradigmatik dalam tulisan ini akan dikupas lengkap, berawal dari
paradigma positivisme, postpositivisme, critical theory, dan konstruktivisme.
Perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan mengcakup seluruh aspek paradigma.
Dari beberapa kasus perubahan paradigma ilmu pengetahuan yang telah di
paparkan, arah yang mencapai memang di utarakan berupa perkembangan. Kemapanan
dan munculnya spesialisasi ilmu menjadi harapan dari perubahan tersebut.
Perubahan tersebut berhubungan timbal balik dengan perubahan kehidupan manusia yang menjadi pendukungnya,
termasuk terutama perkembangan di kalangan ilmuan.
Ilmu
sebagai Paradigma
Kuhn
melihat adanya kesalahan-kesalahan fundamental tentang image atau konsep ilmu yang
telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan
membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari empirisme dan
rasionalisme klasik. Dalam teori Kuhn,
faktor sosiologis historis serta fsikologis mendapat perhatian dan ikut
berperan. Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan
situasi sejarah. Dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati
kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya, yang dalam perkembangan ilmu
tersebut adalah secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan
kaum rasionalis dan empiris klasik.
Kuhn
dengan mendasarkan pada sejarah ilmu, berpendapat bahwa terjadinya
perubahan-perubahan yang berarti tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris
untuk membuktikan salah (falsifikasi) suatu teori atau itern, melainkan
berlangsung melalui revolusi-revolusi ilmiah. Dengan kata lain, Kuhn berdiri
dalam posisi melawan keyakinan yang mengatakan bahwa kemajuan ilmu berlangsung
secara kumulatif. Ia mengambil posisi alternatif bahwa kemajuan ilmiah
pertama-pertama bersifat revolusioner. Secara sederhana yang dimaksud dengan
revolusi ilmiah oleh Kuhn adalah segala perkembangan nonkumulatif yakni
paradigma yang terlebih dahulu ada (lama) diganti keseluruhan ataupun sebagian
dengan yang baru. Dengan penggunaan istilah paradigma itu, Kuhn hendak menunjuk
pada sejumlah contoh praktik ilmiah aktual yang diterima atau diakui dalam
lingkungan komunitas ilmiah, menyajikan model-model penelitian ilmiah yang
terpadu (koheren). Contoh praktek ilmiah itu mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi. Dengan
demikian, para ilmuan yang penelitiannya didasarkan pada paradigma yang sama,
pada dasarnya terikat pada aturan dan standar yang sama dalam mengemban
ilmunya. Keterikatan pada aturan dan standar ini adalah prasyarat bagi adanya
ilmu normal. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa paradigma itu adalah cara
pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkan fakta atau gejala
diinterpretasi dan dipahami.
2.3 Proses
Pengembangan Ilmu menurut pandangan kuhn
Paradigma dan Normal Science
Konsep
sentral kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak
dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangan sering berubah
konteks dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan sains normal, yang
oleh kuhn dimaksudkan untuk mengemukakan bahwa seberapa contoh praktik ilmiah
nyata yang diterima (yaitu contoh-contoh yang sama-sama menyangkut
dahlil,teori,penerapan dan instrukmentasi) telah menyajikan model-model
daripadanya lahir tradisi-tradisi tertentu dari riset ilmiah. Atau dengan kata
lain, sains normal adalah kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori
maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.
Paradigma
ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, dimana para ilmuwan
berkesempatan menjabarkan dan mengembangkannya secara terperinci dan mendalam,
karna tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar.dalam tahab ini, ilmuwan tidak
bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya, dan
selama menjalankan riset ini, ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenonema yang
tidak bisa diterangkan dengan teorinya. Inilah yang disebut anomali. Jika
anomali ini kian menumpuk dan kualitasnya semakin meninggi, maka bisa timbul
krisis. Dalam krisis inilah, paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian,
sang ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis itu, ilmuan
bisa kembali lagi pada cara-cara itu atau mengembangkan suatu paradigma
tandingan yang bisa memecahkan masalah dan bimbing riset berikutnya. Jika yang
terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah.
Dari
sini tampak bahwa paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya
terbatas, baik dalam cakupannya maupun dalam ketepatannya. Paradigma memperoleh
statusnya karena lebih berhasil daripada saingannya dalam memecahkan beberapa
masalah yang mulai diakui oleh kelompok pelaku praktik bahwa masalah-masalah
itu rawan.
Keberhasilan
sebuah paradigma semisal analisis aristoteles tentang gerak, atau perhitungan
ptolemeus tentang kedudukan janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan dalam
contoh pilihan dan belom lengkap. Ini pun sifatnya masih terbatas, dan
ketepatanya masih dipertanyaakan. Dalam perkembangan selanjutnya, secara
dramatis, ketidak berasilan teori Ptolemeus betul-betul terungkap ketika
munculnya paradigma baru dari Copernicus.
Contoh
lain tentang hal ini, misalnya, bisa dilihat pada bidang fisika yang berkenan
dengan teori cahaya. Mula-mula cahaya dinyatakan sebagai foton, yaitu maujud mekanis kuantum yang
memperlihatkan beberapa karakteristik gelombang dan beberapa karakteristik
partikel. Teori ini menjadi landasan riset selanjutnya, yang hanya berumur
setengah abad ketika muncul teori baru dari Newton yang mengajarkan bahwa
cahaya adalah partikel yang sangat halus.
Teori ini pun sempat diterima oleh hampir semua praktisi sains optika, kemudian
muncul teori baru yang bisa dikatakan lebih "unggul" yang digagas
oleh Young dan Fresnel pada awal abad XIX yang selanjutnya dikembangkan oleh
Planck dan Einstein, yaitu bahwa cahaya adalah gerakan gelombang tranversal.
Berbagai
transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains, dan transisi yang
berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi.
Hal ini merupakan perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa ilmu normal memiliki dua ciri
esensial:
1.
Pencapaian ilmiah itu
cukup baru sehingga mampu menarik para pemraktek ilmu dari berbagai cara lain
dalam menjalankan kegiatan ilmiah; maksudnya dihadapkan pada berbagai
alternatif cara menjalankan kegiatan ilmiah, sebagian besar pemraktek ilmu
cenderung memilih untuk mengacu pada pencapaian itu dalam menjalankan kegiatan
ilmiah mereka.
2.
Pencapaian itu cukup
terbuka sehingga masih terdapat berbagai masalah yang memerlukan penyelesaian
oleh pemraktek ilmu dengan mengacu pada pencapaian-pencapaian itu.
Ilmu normal bekerja berdasarkan
paradigma yang dianut atau yang berlaku. Karena itu, pada dasarnya penelitian
normal tidak dimaksudkan untuk pembaharuan besar, melainkan hanya untuk
mengartikulasi paradigma itu. Kegiatan ilmiah ilmu normal hanya bertujuan untuk
menambah lingkup dan presisi pada bidang-bidang yang terhadapnya paradigma
dapat diaplikasikan. Jadi ilmu normal adalah jenis kegiatan ilmiah yang sangat
restriktif. Keuntungannya adalah bahwa kegiatan ilmiah yang demikian itu dapat
sangat mendalam dan cermat.
Walaupun ilmu normal
itu adalah kegiatan kumulatif (menambah pengetahuan) dalam bidang yang
batas-batasnya ditentukan oleh paradigma tertentu, namun dalam perjalanan
kegiatannya dapat menimbulkan hasil yang tidak diharapkan. Maksudnya, dalam
kegiatan ilmiah itu dapat timbul penyimpangan, yang oleh kuhn disebut anomali.
Terbawa oleh sifatnya sendiri, yakni oleh batas-batas yang ditetapkan oleh paradigma,
ilmu normal akan mendorong para ilmuan pemrakteknya menyadari adanya anomali,
yakni hal baru atau pertanyaan yang tidak ter”cover” atau terliputi oleh
kerangka paradigma yang bersangkutan, yang tidak terantisipasi berdasarkan
paradigma yang menjadi acuan kegiatan ilmiah. Adanya anomali merupakan
prasyarat bagi penemuan baru, yang akhirnya dapat mengakibatkan perubahan
paradigma.
2.4 Anomali dan Munculnya Penemuan
Baru
Data
anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang di awali
dengan kegiatan ilmiah.dalam keterkaitan ini, kuhn menguraikan dua macam
kegiatan ilmiah, puzzle solving dan
penemuan paradigma baru.
Dalam
puzzle solving ,para ilmuan membuat percobaan yang mengadakan observasi yang
tujuannya untuk memecahkan teka teki, bukan untuk mencari kebenaran. Bila
paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau
malah malah mengakibatkan konflik, suatu paradigma baru harus diciptakan.
Dengan demikian,kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan baru ini
berhasil, akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.
Penemuan
baru bukanlah peristiwa-peristiwa terasing, melainkan episode-episode yang
diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur . penemuan diawali
dengan kesadaran dengan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam, dengan
suatu cara, telah dilanggar pengharapan yang didorong oleh paradigmayang
menguasai sains yang normal.kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang seikt
banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya berakhirjika teori atau
paradigma itu telah disesuaikan sehingga ang menyimpang itu menjadi yang
diharapkan.jadi yang jelas, dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara
fakta dengan teori yang baru.
2.5 Revolusi sains (permasalahan dan keutamaanya)
Sebagiman
telah disinggung sedikit dalam uraian tedahulu, revolusi sains muncul karna
adanya anomali dalam riset ilmiah yang dirasakan semakin parah,dan munculnya
krisis yang tidak dapt diselsaikan oleh paradigma yang dijadikan referensi
riset. Revolusi sains disini dianggap sebagai episode perkembangan
non-kumulatif yang didalam paradigma yang lama diganti seluruhnya atau
sebagiannya oleh paradigma baru yang bertentangan. Adanya revousi sains bukan
merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Sebagai ilmua atau
masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru
tersebut. Dan ini menimbulkan masalah tersendiri yang memerlukan pemilihan dan
legimitasi paradigma yang lebih definitif.
Dalam
pemilihan paradigma, tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetuan
masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains itu
dipengaruhi kita tidak hanya harus meneliti dampak logika, tetapi juga
teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok
yang sangat khusus yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains itu.
Oleh
karena itu, permasalah paradigma atau munculnya paradigma yang baru sebagai
akibat dari revolusi sains tiada lain hanyalah sebuah konsensus atau kesepakan
yang sangat ditentukan oeh retorika dikalangan akademis dan atau masyarakat
sains itu sendiri. Sejauh mana paradigma baru itu diterima oleh mayoritas
masyarakat sains, maka revolusi sains dapat terwujud.
Selama
revolusi, para ilmuwan melihat hal-ha baru dan berbeda dengan ketika
menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenalnya untuk melihat
tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu
tiba-tiba di pindahkan ke daerah laindi mana objek-objek yang sangat dikenal
sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan
objek-objek yang tidak dikenal.
Kalaupun
ada ilmuwan atau sbagian kecil ilmuan tidak mau menerima paradigma yang baru
sebagi landasan risetnya, dan ia pun tetap bertahan pada paradigma yang telah
dibongkar yang sudah tidak mendapat dukungan lagi dari mayoritas masyarakat
sains, maka aktivitas-aktivitas risetnya bermanfaat sama sekali. Inilah
perlunya revolusi.
a. Paradigma dan revolusi dalam wahana politik
Bangunan
pemikiran kuhn dengan jargonya paradigma dan revolusi sains, secara lebih
komprehensif dapat diaplikasikan dalam menyoroti esensi atau fundamental structure dalam ilmu-ilmu sosial untuk tidak terfokus pada
ilmu-ilmu kealaman seperti dalam teori-teoari politik,ekonomi, pendidikan dan
lain sebagainya.
Ada kesejajaran
antara revolusi politik dan revolusi sains. Revolusi politik dibuka oleh
kesadaran yang semakin tumbuh, yang sering terbatas pada suatu segmen dari
masyarakat politik bahwa lembaga-lembaga yang ada tidak lagi memadai untuk
menghadapi masalah-masalah yang dikemukakan oleh lingkungan yang sebagian
diciptakan oleh lembaga itu.
Revolusi politik
bertujuan mengubah lembaga-lembaga politik dengan cara-cara yang dilarang oleh
lembaga-lembaga itu sendiri (political
revolutoins ainm to change political istitution in ways that those instutions
themselves prohibit). Mulanya hanya krisis yang mengurangi peran dan wibawa
lembaga-lembaga politik. Dan dalam jumblah yang meningkat, masyarakat menjadi
terasing dari kehidupan politik dan berprilaku semakin bertambah eksentrik
didalamnya. Kemudian dengan mendalamnya krisis, mereka melibatkan diri dalam
usul yang konkret bagi rekontruksi masyarak dalam kerangka kelembagaan yang
baru. Pada saat itu, masyarakat terbagi dua kelompok atau partai yang bersaing,
yang satu berusaha mempertahankan kontelasi kelembagan yang lama, dan yang lain
berupaya mendirikan yang baru.
Jika polarisasi
itu terjadi, penyelesaian secara politik pun menjadi gagal. Karna mereka
berselisih tentang matriks kelembagaan tempat mencapai dan menelai perubahan
politik, dan karna tidak ada suprainstitusianal yang diakui oleh mereka untuk
mengandili perselisihan revolusioner, maka akhirnya partai-partai dalam konflik
revolusioner ini mengunakan bantuan teknik-teknik persuasi massa,yang
seringkali melibatkan kekuatan.
Timbulnya suatu
krisis dalam politik juga erat sekali hubungannya dengan tokoh-tokoh politik
yang selama krisis itu menciptakan teori-teori poitik baru untuk mengbongkar
fakta-fakta yang telah menyimpang.
Sepanjang
Sejarah politik, misalnya, kita dapat melihat bahwa munculnya teori-teori
politik barat kebanyakan dihasilkan selama waktu-waktu krisis, dan jarang
selama periode-periode normal.fenomena ini menunjukkan bahwa teori-teori pokok
dalam poitik itu menyerupai “extraordinary
science”, yang berhadapan dengan anomali dan krisis yang mendalam. Oleh
karenanya, teori-teori utama ini menunjukkan ciri yang sama dengan extraordinary science, yaitu berusaha
untuk mendiskreditkan paradigma yang sedang berjalan.
Gambaran ini
tampak pada pemikiran politik machiavelli yang mengecam paran kepala negara ,
atau tuduhaan john locke terhadap absolutisme, atau juga kritik Karl Marx atas
masyarakat kapitalis.
Dalam menanggapi
munculnya teori baru atau perlawanan terhadap paradigma yang berjalan ini,
masyarakat politik pada dasarnya tidak akan memedulikan perlawanan
–perlawanan semacam ini, jika merasa
tidak merasa ditekan oleh paradigma yang berlaku. Masyarakat lebih suka
berkonsentrasi untuk menikmati manfaat-manfaat atau mencari berbagai
kemungkinan dari sistem yang sedang berjalan. Ketidak kacuhan ini bukan
merupakan ekspresin dari pilihan antara memiliki atau meninggalkan teori.
Tetapi, suatu masyarakat yang berjalan yang berjalan secara normal memiliki
teorinya menurut teori yang dominan, bahkan teori tersebut taken for ngranted, karena ia tidak mencerminkan konsensus
masyarakat.
b. Paradigma dan Revolusi dalam Wacana Pendidikan
Maksud dengan
wacana pendidikan disini bukan masalah pendidikan secara makro, atau sistem
kelembagaan pendidikan secara luas, tetapi lebih terfokus teori belajar yang
diisprirasikan oleh paradigma dan revolusi sains.
Istilah
paradigma identik dengan “skema” dalam teori belajar. Skema adalah suatu
struktur mental atau kognisi yang dengan seseorang secara intelegtual
beradaptasi dan mengordinasi lingkungan sekitarnya. Skema ini akan berubah
seiring perkembangnya mental anak. Perubahan skema ini bisa mengambil bentuk
asimilasi atau akomodasi. Asimilasi merupakan roses kognitif yang dengannya
seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam
skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya.
Dalam menghadapi
rangsangan atau pengalaman baru yang tidak sesuai dengan skema yang ada (data
anomali), ada kalanya seseorang tidak dapat mengamilasikan pengalaman yang baru
itu dengan skema yang ia miliki. Pengalaman baru ini bisa jadi sama sekali
tidak cocok dengan paradigma yang ada. Dalam keadaan seperti ini, orang
tersebut akan mengadakan akomodasi, yaitu membentuk skema baru yang dapat
sesuai dengan rangsangan yang baru, atau modifikasi skema yang ada sehingga
sesuai dengan ransangan yang baru, atau modifikasi skema yang ada sehingga
sesuai dengan ata anomali itu. Inilah yang disebut revolusi skema. Oleh karena
itu, dalam proses belajar-mengajar perlu didesain bagaimana guru itu dapat
merangsang atau menyediakan data-data anomali yang dapat mengubah skema
pengetahuan murd kearah skema yang lebih baik. Dan selama murid tidak mau
mengubah skema atau merevolusi pengetahuan yang telah ia miliki ke arah skema
yang lebih unggul, maka pengetahuan akan tetap seperti semula, tidak ada
perkembangan.
Pendekatan Kuhn
terhadap Ilmu pada dasarnya adalah reaksi terhadap tafsir Whig atas sejarah,
bahwa sejarah adalah progresi kebebasan linier yang kian meningkat dan
berpuncak pada masa kini. Sejarah Whig membaca masa silam dengan arah
kebelakang dan menjelaskan masa kini sebagai produk kumulatif pencapaian masa
silam. Penolakan terhadap sejarah Whig dalam bidang sejarah ilmu, dimulai
antara lain oleh Alexander Koyre, yang terhadapnya Kuhn mengakui hutang
intelektual yang besar. Kuhn menyadari bahwa untuk menyadari bagaimana suatu
tradisi historis berkembang, orang harus memahami perilaku sosial dari mereka
yang terlibat membentuk tradisi. Pemahaman inilah, tulis Barry Barnesyang
berpadu dengan kepekaan dan sensibilitas historisnya yang menjadi sumber
orisinaitas dan arti penting karya Kuhn.
Pelestarian suatu bentuk kebudayaan mengandaikan mekanisme-mekanismesosialisasi
dan penyebaran pengetahuan, prosedur-prosedur untuk menunjukkan lingkup makna
dan representasi yang diterima, metode-metode untuk meratifikasi
inovasi-inovasi yang telah diterima dan member mereka cap legitimasi. Semua itu
harus dijaga keberlangsungannya oleh para anggota kebudayaan itu sendiri, jika
konsep-konsep dan representasi hendak dipertahankan eksistensinya. Jika ada
bentuk budaya yang tetap bertahan, pasti ada pula sumber-sumber otoritas dan
control kognitif. Kuhn menampilkan riset ilmiah sebagai produk dari suatu
interaksi yang kompleks antara komunitas peneliti, tradisi otoritatif, dan
lingkungannya. Dalam keseluruhan proses itu rasio dan logika sama sekali bukan
satu-satunya criteria bagi kemajuan dalam pengetahuan ilmiah. Ziauddin Sardar,
Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat
erat hubungannya dengan ilmu, moral, dan agama. Untuk memperoleh ilmu harus
diusahakan dengan aktivitas manusia yang dilakukan dengan metode tertentu, yang
pada akhirnya mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Salah satu ilmuwan yang
telah mengembangkan ilmu pengetahuan adalah Thomas Samuel Kuhn. Perkembangan
ilmu menurut Kuhn terdiri atas beberapa paradigma yang berupa tahap-tahap.
Dalam perkembangan sains, sebuah konsep terbentuk oleh adanya paradigma yang
mengakibatkan perubahan konsep, sehingga sains pun terus berubah. Peran
paradigma dalam perkembangan sains sangatlah penting, karena paradigma itulah
yang menjiwai sebuah konsep. Dapat disimpulkan bahwa “revolusi sains” adalah
simbol yang menjelaskan tentang efek terakhir dari adanya perbedaan
paradigma-paradigma yang dinamis.
Oleh
karna itu, segala yang dikatakan oleh ilmu tentang dunia dan kenyataan
sebetulnya erat terkait dengan paradigma dan model atau skema interpretasi
tertentu yang digunakan oleh ilmuannya. Cara ilmuan memandang dunia menentukan
dunia macam apa yang dilihatnya itu. Jadi pengetahuan sama sekali bukan lah
jiblikan atau foto copy realitas, melainkan realitas hasil kontruksi manusia.
Dan bahwa paradigma yang mendasari konstruksi itu di trima dan dipercayai oleh
komunitas para ilmuan, bukan terutama karna para ilmuan itu tahu bahwa itu yang
benar, melainkan karna mereka percaya bahwa itu yang terbaik, yang aling
memberi harapan bila digunakan dalam riset-riset selanjutnya. Akhirnya,
walaupun bagaimana penilaian orang, KUHN telah berjasa besar, terutama dalam
mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu, dan mendobrak citra bahwa
ilmu adalah suatu kenyataan yang punya
kebenaran seakan-akan sui-generis,
objektif. Disamping itu teori yang dibangun KHUN mempunyai implikasi yang
sangat besar dan luas dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam.
DAFTAR PUSTAKA
Surajiyo, 2008. Filsafat dan perkembangan di indonesia, jakarta: PT. Bumi aksara.
, Ilmu dan Metologi
penelitian,
jogjakarta: C.V. ANDI OFFSET.
Sadar,
Ziauddin., 2002. Thomas Khun dan Perang
Ilmu, yogyakarta: penerbit jendela.
Kuhn, Thomas.,
2005. The structure of scientific
revolutions (peran paradigma dalam revolusi sains), Bandung: PT. Remaja
rosdakarya.
Adib, Mohammad.,
2010. Filsafat ilmu, yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR.
Zubaedi, 2010. Filsafat barat, jogjakarta: Ar-Ruzz
media group.
http://littlestrowbery.blogspot.com/2010/01/revolusi-sains-thomas-kuhn.html diakses
pada tanggal 25 Agustus 2010.
# lusi sera kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar