BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kenyataan umat Islam pada awal millennium ke-3 ini
adalah sebagai umat terpinggirkan, tertindas dan terjajah hak-haknya. Hal ini
menyebabkan sebagian anggota dari umat yang mempunyai ghirah agama yang tinggi berbekal
dengan ilmu yang diperolehnya mencari cara yang tercepat untuk mengembalikan
izzah umat, dengan niat berjihad mereka melancarkan serangan-serangan terhadap
seluruh kepentingan kekuatan kufur dan syirik dalam bentuk pemboman titik-titik
penting simbol kekuatan durjana.
Ijtihad fardi yang diikuti dengan praktik dari
sebagian anggota umat ini menambah coreng hitam dikening umat sebagai
"umat teroris", andai gelar ini di berikan karena keiltizaman
(komitmen) kita dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam dapat dipastikan tidak seorang muslim sejatipun yang menolaknya bahkan
diperintahkan meneror kekuatan syirik dan kufur dalam bentuk I`dadul quwwah.
Tetapi jika gelar ini dianugerahkan lantaran ijtihad fardi dari sebagian umat
yang perlu dikaji ulang, maka disini setiap individu umat harus memberikan
nasehat sesuai dengan kemampuan masing-masing. Makalah ini hanyalah setetes air
untuk memadamkan api yang menjilati tubuh umat ini.
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang kami susun melahirkan
beberapa rumusan masalah diantaranya sebagai berikut:
1.
Bagaimana konsep jihad dalam islam?
2.
Apa pengertian ijtihad ?
3.
Apa pengertian dari mujahadah ?
4.
Bagaimana perang dalam islam ?
5.
Bagaimana hukum jihad dalam islam?
6.
Bagaimana dalil yang terkait dengan
jihad?
7.
Apa saja macam-macam jihad?
8.
Apa saja keutamaan jihad?
9.
Apa saja tujuan dari jihad?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep Jihad Dalam Islam
Makna
Jihad Menurut Bahasa: Kata jihad di dalam bahasa arab, adalah mashdar dari
kata: جاخت العدو مجاهدة وجهادا yang merupakan turunan dari kata الجهد yang
berarti: kesulitan atau kelelahan karena melakukan perlawanan yang optimal terhadap
musuh.
Makna
Jihad Menurut Istilah: Dalam terminologi syar`i kata jihad mempunyai beberapa
makna: Suatu usaha optimal untuk memerangi orang-orang kafir. Para fuqaha mengungkapkannya
dengan defenisi yang lebih rinci, yaitu: suatu usaha seorang muslim memerangi
orang kafir yang tidak terikat suatu perjanjian setelah mendakwahinya untuk
memeluk agama Islam, tetapi orang tersebut menolaknya, demi menegakkan kalimat
Allah.
Ini
makna umum dari kata jihad dalam terminologi syar`i. Bila kata jihad dimaksudkan
untuk makna selain dari makna diatas biasanya diiringi dengan sebuah kata lain
sehingga konteks dari kalimat tersebut mengindikasikan makna yang dituju dari
kata jihad tersebut, ini berarti setiap kita menemukan kata jihad dalam
Al-Qur`an dan sunnah konotasinya adalah memerangi orang kafir dengan senjata.
Usaha
optimal untuk mengendalikan hawa nafsu dalam rangka mentaati Allah atau lebih
dikenal dengan (mujahadatun nafsi), seperti makna kata jihad dalam sabda
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
الله المجاهد من جاهد نفسه في طاعة
Seorang mujahid adalah
orang yang mengendalikan hawa nafsunya untuk mentaati Allah.
Selain
dua makna diatas adalah seperti makna kata jihad dalam sabda Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam, ketika seorang pemuda meminta izin beliau untuk berjihad dan
beliau menanyakan, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?", ia
menjawab," Ya", beliau bersabda," ففيهما
فجاهد optimalkanlah baktimu
terhadap mereka. H.R.Bukhari.[1]
2.2
Definisi Ijtihad
Banyak ulama yang mendefinisikan ijtihad dengan pendapatnya
masing-masing mulai dari Syafi’i, Syaukani, Ibnu Al-Qayyim Al-Jauzi sampai
kepada Qordlowi dan Toha Jabir Al-'Alwani. Sederhananya ijtihad dapat
didefinisikan sebagamana pendapat Sayyid Tontowi yang amat ringkas tapi padat
yaitu, Ijtihad adalah usaha seorang muslim dengan sseluruh kemampuannya untuk
menghasilkan hukum syara’ dengan cara mengambil dalil dari dalil-dalil syar’i.
2.3
Ijitihad dalam Pandangan Qur'an dan
Sunnah
Sandaran ijtihad dari Al-Qur’an adalah "Dan
kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri tentulah orang-orang yang
ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan
ulil amri)." (Q.S Al-Nisa': 83) Dan firman Allah: “wa amruhum syurâ
bainahum”. lafadz "syura" dalam ayat tersebut mengandung arti membahas
segala masalah yang terjadi, yang cocok dengan dalil-dalil syari’ baik masalah
tersebut termaktub dalam nash ataupun tidak. Hal tersebut tidak terjadi kecuali
dalam ijtihad.
Adapun sandaran ijtihad dari hadist adalah ucapan Nabi:
“Apabila seseorang berijtihad dan dia benar maka baginya dua pahala, dan
apabila dia salah maka baginya satu pahala.” Pengakuan Nabi terhadap sahabat
Amru Ibn Al-’Ash ketika datang membawa salah satu tawanan dalam keadaan junub
dan udara pada waktu itu sangat dingin. Dia tidak mandi junub tetapi hanya
bertanya, kemudian dia berkata kepada Nabi dengan maksud menyangkal kepada
orang yang mengadukannya, “Apakah kamu tidak tahu Allah berfirman janganlah
kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu.”
Kemudian Nabi tersenyum dan mengakui ijtihadnya Amru Ibn Al-’Ash. Begitu juga
pengakuannya Nabi terhadap sahabat Muadz Bin Jabal ketika diutus ke Yaman.
Muadz berani berijtihad apabila hukum tidak didapatkannya dalam Al-Qur’an dan
hadist.
syarat
ijtihad dibagi menjadi dua bagian yaitu,
1.
syarat-syarat umum yaitu yang mencakup Islam,
baligh dan berakal
2.
Syarat keahlian, yang mencakup dua
bagian di bawah ini,
·
syarat pokok yaitu, mengetahui al
qur’an, hadist, bahasa arab, dan ijma’.
·
syarat sampingan yaitu, mengetahui maqashid
syari’ah, qawa’id, perbedaan para ulama, mengetahui kebiasaan yang terjadi
disuatu tempat, mengetahui ilmu mantiq, adilnya seorang mujtahid dan kelakuan
baiknya, atau pengakuan manusia terhadap keahlian sang mujtahid.
Setelah mengetahui syarat-syarat ijtihad, ada
beberapa syarat pokok yang perlu mendapatkan sorotan khusus yaitu,
a.
Mengetahui Al-Qur’an, sudah menjadi hal
yang skunder seorang yang ingin berijtihad harus mengetahui Al-Qur’an, tetapi
yang layak mendapatkan perhatian adalah apakah harus menghafal Al-Qur’an,
karena umat Islam selama ini tidak mau berijtihad dengan alasan dia tidak hafal
Al-Qur’an, atau hanya hafal
sedikit. Dalam hal ini banyak ulama berbeda pendapat mulai dari imam Al-Ghazali
yang mengharuskan mengafal Al-Qur’an terlebih ayat-ayat yang berhubungan dengan
hukum, sampai ke Thontowi yang mewajibkan menghafal Al-Qur’an. Sebenarnya menghafal
Al-Qur’an itu tidak wajib, begitu juga menghafal ayat-ayat ahkam, terlebih
dengan adanya mu’jam mufahras yang sudah banyak beredar dan fasilitas yang
lain. Selanjutnya mengenai syarat yang menunjang hal di atas adalah mengetahui asbabun
nuzul. Imam Syatibi mengungkapkan bahwasanya mengetahui hal tersebut adalah
wajib atau ketidaktahuan akan hal tersebut akan menimbulkan kesulitan dan
terjadi keserupaan. Tetapi sebenarnya asbabun nuzul tersebut sangat
sedikit sekali yang tepat pada kebenaran, jadi mengetahui asbabun nuzul
merupakan kelayakan tetapi tidak menjadi syarat. Masih ada satu lagi yang
membuat umat Islam masih enggan untuk berijtihad, yaitu umat Islam masih
terlalu takut untuk menyentuh nash-nash qath’i, padahal selama nash tersebut
tidak cocok dengan akal disitulah masih terbuka pintu ijtihad.
b.
Mengetahui Al-Hadist, telah diketahui bersama
bahwa hadist merupakan salah satu sumber hukum, dari situlah orang yang ingin
berijtihad bisa mengambil hukum tapi yang menjadi momok sekarang adalah, umat
Islam tidak mau berijtihad dengan alsan yang serupa tentang Al-Qur’an, kalau
para ulama mewajibkan menghafal hadist-hadist
yang berhubungan dengan hukum, kurang lebih lima ratus hadist, tapi sebenarnya
mengafal hadist tersebut tidak menjdi syarat, mijtahid hanya cukup melihat
kitab-kitab hadist yang telah ada, itulah yang diungkapkan oleh Al-Ghazali.
Mengenai sesuatu yang berhubungan dengan hadist adalah mengetahui asbabul
wurud Al-Hadist, para perowi yang ditolak ataupun yang diterima, mengetahui
al jarhu wa al ta’dil, akan tetapi bukan berarti orang yang berijtihad
harus menghafal semua buku-buku yang berhubungan dengan hal-hal di atas.
Seorang mujtahid hanya cukup melihat kepada kitab-kitab yang telah tersedia.
c.
Mengetahui ijma, kalau seseorang sudah
berijtihad kemudian mentok di tengah jalan lantaran ijtihadnya itu berlawanan
dengan ijma, itu bukanlah satu alasan untuk berhenti dan tidak melanjutkan
ijtihadnya, sebab disana ada kemudahan dalam ijtihad, seperti, tidak harus
takut berlawanan dengan ijma kalau memang si mujtahid tidak berkeyakinan akan
hujiyyah ijma’, dalam masalah ini juga mujtahid harus melirik ijma-ijma terdahulu
apakah masih cocok dengan waqi’ ataukah tidak, sebab ada ijma’ yang
masih siap menerima perubahan tergantung dengan waqi’, wajar kalau
jumhur ulama mencegah ijtihad yang berlawanan dengan ijma’ tetapi hal tersebut
juga menimbulkan kontroversi dikalangan ulama itu sendiri seperti yang
diungkapkan oleh Al-Bazdawi, boleh saja ijma model ijtihad ditentang dengan
ijma’ model ijtihad pula, begitu juga yang diungkapkan oleh Abdullah Al-Basri
dan Arrazi. Dalam hal ini ijma’naqli pun masih siap diijtihadi dengan catatan
nash tersebut berhubungan dengan maslahah dan urf, selagi nash
tersebut tidak cocok dengan urf dan maslahah, maka pintu ijtihad
masih terbuka lebar-lebar. Kalau umat Islam selama ini masih takut berijtihad
karena tidak menguasai bahasa arab, itu bukanlah suatu alasan, sebab sejak
dahulu Imam Syaukani telah mengatakan, tidak harus paham seluruh litelatur
tentang bahasa arab. Kalau seseorang bisa menafsirkan atau mengartikan Al-Qur’an
dan sunnah ini, atau sudah faham apa yang dimaksud oleh Al-Quran dan Al-Sunnah,
maka sudah layaklah dia untuk berijtihad. Demikianlah sekilas sorotan terhadap
syarat-syarat pokok ijtihad, yang mungkin dapat membuka jalan bagi umat Islam
untuk mencoba berijtihad. selanjutnya mungkin cukup dengan menyoroti
syarat-syarat pokok saja, sebab syarat-syarat sampingan bukanlah menjadi syarat
yang mutlak harus dipenuhi, hanya saja ijtihad akan lebih berbobot bila
dilengkapi dengan syarat-syarat .
2.4
Mujahadah
Pengertian secara umum
Ta’rif (definisi) mujahadah menurut arti bahasa, syar’i,
dan istilah ahli hakikat sebagaimana dimuat dalam kitab Jami’ul Ushul
Fil-Auliya, hal 221 :
أَمَّاالْمُجَاهَدَةُ فَهيَ فِي اللُّغَةِ
الْمُحَارَبَةُ وَفِي الشَّرْعِ مُحَارَبَةُ أَعْدَآءِ اللهِ , وَفِي
اصْطـِلاَحِ أَهْلِ الْحَـقِـيْقَة ِ مُحَــارَبَةُ النَّفـْسِ الأَمَّارَةِ
بِالسُّوْءِ وَتَحْمِيْلُهَا مَا شَقَّ عَلَيْـهَا ِممَّا هُوَ مَطْلـُوْبٌ
شَرْعًا . وَقَالَ بَعْضُـهُمْ : الْمُـجَاهَدَةُ مُخَالَـفَةُ النَّفْسِ ,
وَقَالَ بَعْضُهُمْ : المـُجَاهَدَةُ مَنْعُ النَّفْس ِ عَنِ الْمَـأْلُوْ فَاتِ
“Arti mujahadah menurut bahasa adalah perang, menurut
aturan syara’ adalah perang melawan musuh-musuh Alloh, dan menurut istilah ahli
hakikat adalah memerangi nafsu amarah bis-suu’ dan memberi beban kepadanya
untuk melakukan sesuatu yang berat baginya yang sesuai dengan aturan syara’
(agama). Sebagian Ulama mengatakan : "Mujahadah adalah tidak
menuruti kehendak nafsu”, dan ada lagi yang mengatakan: “Mujahadah adalah
menahan nafsu dari kesenangannya”.
Di dalam Wahidiyah yang dimaksud
“Mujahadah” adalah ber-sungguh-sungguh memerangi dan menundukkan hawa nafsu
(nafsu ammarah bis-suu’) untuk diarahkan kepada kesadaran “FAFIRRUU ILAllaH WAROSUULIHI”, ”
MUJAHADAH WAHIDIYAH adalah pengamalan Sholawat Wahidiyah atau bagian dari
padanya menurut adab, cara dan tuntunan yang dibimbingkan oleh Muallif Sholawat
Wahidiyah sebagai penghormatan kepada Rosululloh dan sekaligus merupakan do’a permohonan kepada Alloh , bagi
diri pribadi dan keluarga, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal
dunia, bagi bangsa dan negara, bagi para pemimpin mereka di segala bidang, bagi
ummat masyarakat jami’al ‘alamin, dan seluruh makhluq ciptaan Allah .
2.6
Perang Dalam Pandangan Islam
(#rãÏÿR$#
$]ù$xÿÅz
Zw$s)ÏOur
(#rßÎg»y_ur
öNà6Ï9ºuqøBr'Î/
öNä3Å¡àÿRr&ur
Îû
È@Î6y
«!$#
4
öNä3Ï9ºs
×öyz
öNä3©9
bÎ)
óOçFZä.
cqßJn=÷ès?
ÇÍÊÈ
“
berangkatlah kamu dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan
berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Pada
ayat ini Allah SWT mewajibkan setiap muslim yang mukmin pergi berperang dan
tidak dibenarkan sesuatu alasan apapun untuk tidak turut berperang. Dan pada
ayat ini diterangkan bahwa perang itu bukan lagi anjuran, tapi wajib, sehingga
tidak seorang muslimpun yang dibenarkan untuk tidak ikut berperang. Tiap-tiap
orang yang sehat, tua, kaya dan miskin wajib tampil ke medan juang untuk
membela islam dan meletakkan kebenaran. Orang-orang yang uzur yang dibenarkan
syara’ , seperti terlalu tua, lemah fisiknya, tak berdaya lagi, sakit keras dan
lain-lain. Karena meraka akan menjadi beban saja apabila diikut sertakan dalam
peperangan, tidak diwajibkan ikut berperang.[2]
2.7
Hukum Jihad dalam Islam
Jihad
memiliki beberapa hukum :
a.
Fardhu ‘ain (wajib bagi setiap muslim)
dalam beberapa kondisi;
- ketika
seorang muslim telah berada dalam barisan pasukan yang sedang menghadapi
pertempuran, maka fardhu `ain bagi nya berjihad dan berdosa meninggalkan medan,
Allah berfirman, (Q.S. Al Anfaal: 45)
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) óOçGÉ)s9 Zpt¤Ïù (#qçFç6øO$$sù
Hai orang-orang beriman
apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka tetaplah
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÞOçGÉ)s9 tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. $Zÿômy xsù ãNèdq9uqè? u$t/÷F{$# ÇÊÎÈ
Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang
menyerangmu, maka janganlah kamu mundur (Al-Anfaal :15)
- Allah
SWT menyeru orang-orang beriman bahwa apabila berhadapan dengan orang-orang
kafir yang sedang datang menyerang, kaum muslimin dilarang membelakangi mereka,
apalagi lari dari pertempuran.
- Dimaksud
dengan membelakangi orang-orang kafir dalam ayat ini ialah melarikan diri dari
pertempuran, tanpa alasan yang dibenarkan karena takut menghadapi musuh.
- Allah
berfirman (Q.S. At Taubah:38)
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
$tB
ö/ä3s9
#sÎ)
@Ï%
â/ä3s9
(#rãÏÿR$#
Îû
È@Î6y
«!$#
óOçFù=s%$¯O$#
n<Î)
ÇÚöF{$#
4
OçFÅÊur&
Ío4quysø9$$Î/
$u÷R9$#
ÆÏB
ÍotÅzFy$#
4
$yJsù
፯tFtB
Ío4quysø9$#
$u÷R9$#
Îû
ÍotÅzFy$#
wÎ)
î@Î=s%
ÇÌÑÈ
Hai
orang-orang
yang beriman, apakah sebabnya apabila
dikatakan kepada kamu: “berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah “,kamu
merasa berat dan ingin tinggal ditempatmu ? apakah kamu puas dengan kehidupan
didunia sebagai ganti kehidupan diakhirat ? padahal kenikmatan hidup didunia
ini (dibandingkan dengan kehidupan)diakhirat hanyalah sedikit ?
.
-
bila imam (pemimpin) memerintah seorang
muslim untuk pergi berjihad, maka wajib `ain baginya melaksanakn perintah
tersebut, nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda :
وإذا استنفرتم فانفروا
Bila kamu diperintahkan berjihad, maka
pergilah berjihad H.R.Bukhari.
b.
Fardhu kifayah
Jihad
thalab (memulai penyerangan terhadap sebuah negeri yang penduduknya tidak
beriman kepada Allah dan hari akhir) hukumnya fardhu kifayah, yang bila
dilakukan oleh sebagian kaum muslim terhapuslah dosa dari seluruh kaum muslim,
Allah berfirman, (Q.S. At taubah: 122)
*
$tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4
Tidak sepatutnya bagi
orang-orang yang mukmin pergi semuanya ke medan perang
Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda,
والذى
نفسي بيدى لولا ان رجالا من المؤمنين لا تطيب أنفسهم أن يتخلفوا عني ولا أجد ما
أحملهم عليه ما تخلفت عن سرية تغزة في سبيل الله والذي نفسي بيده لوددت أني أقتل
في سبيل الله ثم أحيا ثم اقتل ثم أحيا ثم اقتل ثم.
Perlu
digaris bawahi bahwa hukum diatas berlaku manakala kaum muslim mempunyai negeri
islam berdaulat yang menerapkan hukum-hukum Allah dan dipimpin oleh seorang
muslim sejati serta memiliki kekuatan, peralatan dan perlengkapan yang dirasa
mampu untuk menegakkan jihad difa` maupun jihad thalab. Namun disaat kaum
muslim tidak mempunyai negeri Islam, para pemimpinnya mencampakkan hukum Allah
dan kekuatan serta peralatan perangnya tidak sampai seujung kuku kekuatan
musuh, maka hukum diatas tidak berlaku, bahkan lebih dari itu, kaum muslim
dibenarkan membayar upeti kepada musuh jika memang keadaannya menuntut demikian,
hal ini dijelaskan oleh para ulama mazhab.
Ibnu
Taimiyah berkata," Kaum mukminin yang berada di sebuah negeri dan mereka
tidak mempunyai kekuatan (lemah) maka hendaklah mereka mengamalkan ayat yang
memerintahkan tetap sabar dan memberi maaf terhadap orang-orang yang menyakiti
Allah dan Rasul-Nya baik dari Ahlul kitab maupun orang musyrik, sedangkan kaum
mukminin yang mempunyai kekuatan maka mereka wajib mengamalkan ayat yang
memerintahkan memerangi para pemimpin kekufuran dan ayat yang memerintahkan memerangi
ahlul kitab hingga mereka mau membayar jizyah (upeti) dan mereka dalam keadaan
yang hina …"
Hal
yang senada dengan perkataan diatas yaitu perkataan Az Zarkasyi dan As Suyuti
bahwa bilamana umat Islam melewati masa dan keadaan yang sama dengan masa dan
keadaan periode Mekah maka sepatutnya mereka mengamalkan ayat-ayat yang
diperintahkan untuk sabar dan memaafkan dan terus mendakwahi setiap musuh
dengan cara yang sebijak mungkin.
Implikasinya
ayat-ayat sebelum ayat "saif" dalam surat At taubah tidak dimansukhkan
tetapi diamalkan manakala kondisi yang serupa terjadi pada umat Islam.
2.8
Ayat yang Menjelaskan tentang Jihad
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى
وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (95)
“Tidaklah
sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai
‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan
jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya
atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah
menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An Nisa (4): 95)
Ayat ini turun lantaran ada kesan yang
timbul dalam benak sementara orang, telah mendengar keharusan berhati-hati yang
ditegaskan oleh ayat diatas, bahwa jika dengan demikian, dan daripada keliru.
Sudahlah tak usah berjihad. Untuk menghilangkan akibat kesan itu, maka ditekankan
oleh ayat ini bahwa tidaklah sama antara mukmin yang duduk, yakni yang
tidak turut berperang selain yang mempunyai unzur, yakni alasan yang
dibenarkan agama, seperti buta, pincang dan lain-lain dengan orang yang
berjihad menegakkan agamaNya di jalan Allah dengan harta mereka dan diri
mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka
atas orang-orang yang duduk dengan kelebihan satu derajat yang sempurna.
Kemudian ada sebab lain diturunkannya ayat
ini karena adanya pertanyan Abdullah bin Ummi Maktum -seorang sahabat nabi yang
buta: “Apakah aku punya rukhshah untuk tidak berperang?” maka turunlah ayat di
atas. Demikian yang dipaparkan oleh Imam Ath Thabari dalam tafsirnya.
Jadi, keadaan seseorang sangat pengaruhi
kuat tidaknya beban jihad. Jihad bagi orang yang cacat tubuh, sakit wanita,
anak-anak, orang tua, tentu tidak sama kuat bebannya dengan lelaki muda dan
dewasa yang dalam keadaan fit.
Bahkan menurut ayat di atas, ada orang
yang tidak memiliki uzur, tapi mereka duduk-duduk saja tidak ikut berjihad. Ini
menunjukkan kondisi kadar keimanan mereka yang melemah.
Ingin Jihad, tapi masih punya kewajiban
terhadap Orang Tua. Kondisi ini pun membuat beban jihad seseorang berbeda
dengan yang lainnya. Dalam keadaan jihad ofensif, penaklukan (futuhat), maka
hukumnya fardhu kifayah bagi umat Islam untuk ikut serta. Inilahj pandangan
mayoritas fuqaha. Sehingga ketika kewajiban ini berbenturan dengan kewajiban
per kepala (fardu ‘ain) yakni berbakti kepada Orang Tua yang tidak mungkin digantikan
orang lain, maka seseorang lebih utama dia berbakti kepada kedua orang tuanya.
Namun ada segolongan berpendapat bahwa
berjihad selalu di indikasikan dengan
berperang. Harus diakui bahwa memang ada segolongan umat Islam yang
mempersempit makna jihad, bahwa seakan-akan ruang lingkup jihad hanya ada pada
peperangan melawan orang kafir di medan tempur. Pengertian seperti itu
tertolak, oleh sebab teks-teks agama ini justru memberikan keluasan makna
jihad. Hanya saja memang, pada dasarnya nilai jihad yang paling tinggi adalah
berperang melawan orang kafir di medan tempur, sebagai mana hadits-hadist yang
telah dipaparkan sebelumnya. Inilah pandangan yang terpilih, walau ada yang
mengatakan lain. Namun, itu tidak berarti meremehkan nilai jihad dalam ruang lingkup
lainnya.
Para ulama kita pun menegaskan dan
mengakui adanya jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad harta,
jihad lisan, jihad ilmu dan jihad melawan kefasikan. Sebagaimana yang disebut
oleh Imam Ibnu Hajar al Asqalani Rahimahullah berikut:
فَأَمَّا
مُجَاهَدَة النَّفْس فَعَلَى تَعَلُّم أُمُور الدِّين ثُمَّ عَلَى الْعَمَل بِهَا
ثُمَّ عَلَى تَعْلِيمهَا ، وَأَمَّا مُجَاهَدَة الشَّيْطَان فَعَلَى دَفْع مَا
يَأْتِي بِهِ مِنْ الشُّبُهَات وَمَا يُزَيِّنهُ مِنْ الشَّهَوَات ، وَأَمَّا
مُجَاهَدَة الْكُفَّار فَتَقَع بِالْيَدِ وَالْمَال وَاللِّسَان وَالْقَلْب ،
وَأَمَّا مُجَاهَدَة الْفُسَّاق فَبِالْيَدِ ثُمَّ اللِّسَان ثُمَّ الْقَلْب
“Ada pun berjihad melawan hawa nafsu adalah
dengan cara mempelajari perkara-perkara agama lalu mengamalkannya dan mengajarkannya.
Sedangkan berjihad melawan syetan adalah dengan cara melawan syubhat-syubhat
yang dilancarkannya dan melawan syahwat yang dihiasinya. Sedangkan jihad
melawan orang kafir adalah dengan tangan, harta, lisan, dan hati sekaligus.
Sedangkan berjihad melawan kefasikan adalah dengan tangan, kemudian lisan,
kemudian hati. “
(Imam Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Bari, Juz. 8, Hal. 365. Al Maktabah Asy
Syamilah)
Apa yang digaris bawahi adalah jihad
menuntut ilmu, yakni mempelajari ilmu-ilmu agama. Apalagi jika ilmu tersebut
kita gunakan untuk melawan syubhat yang dilancarkan musuh-musuh Islam, baik
musuh dari dalam atau orang kafir.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ö@yd ö/ä39ßr& 4n?tã ;ot»pgÏB /ä3ÉfZè? ô`ÏiB A>#xtã 8LìÏ9r& ÇÊÉÈ tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur tbrßÎg»pgéBur Îû È@Î6y «!$# óOä3Ï9ºuqøBr'Î/ öNä3Å¡àÿRr&ur 4 ö/ä3Ï9ºs ×öyz ö/ä3©9 bÎ) ÷LäêZä. tbqçHs>÷ès? ÇÊÊÈ
10. Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu
Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
11. (yaitu) kamu beriman kepada
Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah
yang lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.
Dalam ayat ini Allah mendorong kaum muslimin agar melakukan amal saleh
dengan mengatakan : wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulullah
yang diutus-Nya, apakah kamu sekalian mau aku tunjukkan suatu pandangan yang
bermanfaat dan pasti mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda dan
keberuntungan yang kekal atau melepaskan kamu dari api neraka.
Ungkapan
ayat diatas memberikan pengertian kepada kaum muslimin agar mereka suka
memperhatikan dan melaksanakan perdagangan yang dimaksud Allah itu, jika mereka
benar-benar menginginkan kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat nanti.
Kemudian
disebutkan bentuk-bentuk perdagangan yang memberikan keuntungan yang besar,
yaitu :
1.
Memperkuat iman di dada. benar-benar
percaya kepada yang wajib diimani, yaitu iman kepada Allah, kepada para
malaikat, pada kitab-kitabnya, kepada Rasul-Rasulnya, kepada adanya hari kiamat
serta kepada qadha dan qadar Allah.
2.
Mengerjakan amal saleh semata-mata
karena Allah bukan karena riya’. Mengerjakan amal saleh adalah perwujudan iman
seseorang, karena ingin melakukan sgala sesuatu yang dituntut imannya itu.
3.
Berjihad dijalan Allah. Berjihad ialah
sgala macam upaya dan usaha yang dilakukan untuk menegakkan agama Allah. Ada
dua macam jihad yang disebut dalam ayat ini, yaitu berjihad dengan jiwa raga
dan berjihad dengan harta. Berjihad dengan jiwa dan raga ialah berperang
melawan musuh-musuh agama yang menginginkan kehancuran islam dan kaum muslimin.
Berjihad dengan harta yaitu membelanjakan harta benda untuk menegakkan kalimat
Allah, seperti untuk biaya berperang mendirikan masjid, rumah sekolah, rumah
sakit dan kepentingan yang lain[3]
2.9
Macam-Macam Jihad
Jihad
fi Sabilillah untuk menegakkan ajaran Islam ada beberapa macam, yaitu:
Jihad
dengan lisan, yaitu menyampaikan, mengajarkan dan menda’wahkan ajaran Islam
kepada manusia serta menjawab tuduhan sesat yang diarahkan pada Islam. Termasuk
dalam jihad dengan lisan adalah, tabligh, ta’lim, da’wah, amar ma’ruf nahi
mungkar dan aktifitas politik yang bertujuan menegakkan kalimat Allah.
Jihad
dengan harta, yaitu menginfakkan harta kekayaan di jalan Allah khususnya bagi
perjuangan dan peperangan untuk menegakkan kalimat Allah serta menyiapkan
keluarga mujahid yang ditinggal berjihad.
Jihad
dengan jiwa, yaitu memerangi orang kafir yang memerangi Islam dan umat Islam.
Jihad ini biasa disebut dengan qital (berperang di jalan Allah). Dan ungkapan
jihad yang dominan disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah berarti berperang di
jalan Allah.
2.10
Keutamaan Jihad dan Mati Syahid
Rasulullah
SAW bersabda: Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW ditanya: ”Amal
apakah yang paling utama?” Rasul SAW menjawab: ”Beriman kepada Allah”, sahabat
berkata:”Lalu apa?” Rasul SAW menjawab: “Jihad fi Sabilillah”, lalu apa?”,
Rasul SAW menjawab: Haji mabrur”. (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari Anas ra, bahwa
Rasulullah SAW bersabda: ”Pagi-pagi atau sore-sore keluar berjihad di jalan
Allah lebih baik dari dunia seisinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari Anas ra bahwa nabi SAW bersabda: ”Tidak ada
satupun orang yang sudah masuk surga ingin kembali ke dunia dan segala sesuatu
yang ada di dunia kecuali orang yang mati syahid, ia ingin kembali ke dunia,
kemudian terbunuh 10 kali karena melihat keutamaan syuhada.” (Muttafaqun
‘alaihi)
”Bagi orang yang mati
syahid disisi Allah mendapat tujuh kebaikan:
1.
Diampuni dosanya dari mulai tetesan
darah pertama.
2.
Mengetahui tempatnya di surga.
3.
Dihiasi dengan perhiasan keimanan.
4.
Dinikahkan dengan 72 istri dari
bidadari.
5.
Dijauhkan dari siksa kubur dan
dibebaskan dari ketakutan di hari Kiamat.
6.
Diletakkan pada kepalanya mahkota
kewibawaan dari Yakut yang lebih baik dari dunia seisinya.
7.
Berhak memberi syafaat 70 kerabatnya.”
(HR at-Tirmidzi)
Adapun
keutamaan jihad yang dijelaskan dalam surat (At-taubah ayat 20-21)
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#rãy_$ydur
(#rßyg»y_ur
Îû
È@Î6y
«!$#
ôMÏlÎ;ºuqøBr'Î/
öNÍkŦàÿRr&ur
ãNsàôãr&
ºpy_uy
yYÏã
«!$#
4
y7Í´¯»s9'ré&ur
ç/èf
tbrâͬ!$xÿø9$#
ÇËÉÈ
Orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan
diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Allah tidak
memberikan petunjuk kepada orang yang zalim dan itulah orang-orang yang
mendapat kemenangan.
Pada ayat ini Allah SWT menerangkan
bahwa orang-orang yang beriman dengan iman yang kuat yang mendorongnya rela
berhijrah meninggalkan kampung halamannya, harta kekayaan dan karya usahanya,
berpisah dengan anak istrinya, orang tua dan sanak saudaranya, adalah
orang-orang yang melaksanakan amal perjuangan yang berat dengan pengorbanan
yang banyak.apa lagi jika amal-amal yang tersebut itu diikuti dengan jihad
fisabillilah yaitu dengan mengorbankan harta kekayaan dan jiwa raganya.
öNèdçÅe³t6ã
Oßg/u
7pyJômtÎ/
çm÷YÏiB
5bºuqôÊÍur
;MȬZy_ur
öNçl°;
$pkÏù
ÒOÏètR
íOÉ)B
ÇËÊÈ
Tuhan
mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padaNya, keridhaan
dan surga mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal.
Ayat ini menerangkan, bahwa Allah SWT
memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang berhijrah dan berjihad
fisabilillah akan mendapat balasan berupa rahmat yang luas, keridaan yang
sempurna dan surga yang menjadi tempat tinggal mereka selama-lamanya. Didalamnya
mereka akan menerima segala macam kenikmatan yang kekal dan abadi.
Sebesar-besar pahala dari Allah SWT adalah memperoleh rida Nya.
2.11
Tujuan Jihad
Jihad
fi sabilillah disyari’atkan Allah SWT bertujuan agar syari’at Allah tegak di
muka bumi dan dilaksanakan oleh manusia. Sehingga manusia mendapat rahmat dari
ajaran Islam dan terbebas dari fitnah. Jihad fi sabilillah bukanlah tindakan
balas dendam dan menzhalimi kaum yang lemah, tetapi sebaliknya untuk melindungi
kaum yang lemah dan tertindas di muka bumi. Jihad juga bertujuan tidak
semata-mata membunuh orang kafir dan melakukan teror terhadap mereka, karena
Islam menghormati hak hidup setiap manusia. Tetapi jihad disyariatkan dalam
Islam untuk menghentikan kezhaliman dan fitnah yang mengganggu kehidupan
manusia. (QS an-Nisaa’ 74-76).[4]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Berjihad dijalan Allah.
Berjihad ialah sgala macam upaya dan usaha yang dilakukan untuk menegakkan
agama Allah. Ada dua macam jihad , yaitu berjihad dengan jiwa raga dan berjihad
dengan harta. Berjihad dengan jiwa dan raga ialah berperang melawan musuh-musuh
agama yang menginginkan kehancuran islam dan kaum muslimin. Berjihad dengan
harta yaitu membelanjakan harta benda untuk menegakkan kalimat Allah, seperti
untuk biaya berperang mendirikan masjid, rumah sekolah, rumah sakit dan
kepentingan yang lain .Janji Allah kepada hambanya jika hambamya berjihad
dijalannya, Allah akan mengampuni dosanya,dijauhkan dari siksa kubur,dan
dimasukkan dalam syurganya.
Jihad fi sabilillah
disyari’atkan Allah SWT bertujuan agar syari’at Allah tegak di muka bumi dan
dilaksanakan oleh manusia. Sehingga manusia mendapat rahmat dari ajaran Islam
dan terbebas dari fitnah. Jihad fi sabilillah bukanlah tindakan balas dendam
dan menzhalimi kaum yang lemah, tetapi sebaliknya untuk melindungi kaum yang
lemah dan tertindas di muka bumi. Jihad juga bertujuan tidak semata-mata
membunuh orang kafir dan melakukan teror terhadap mereka, karena Islam
menghormati hak hidup setiap manusia. Tetapi jihad disyariatkan dalam Islam untuk
menghentikan kezhaliman dan fitnah yang mengganggu kehidupan manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Shonhajdi, HM, 1995, AL-QUR’AN DAN
TAFSIRANNYA, Jogjakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Quraish shihab, M, 2002. Tafsir Al-Misbah:
Pesan dan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati.
http//.dakwatuna.com/2008/01/Jihad-jalan
kami/
Jami’ul-Ushul Fil-Auliya oleh Asy-Syekh
Dhiyauddin Ahmad Mushtofa Al-Kamsyakhonawy An-Naqsyabandy.Penerbit :
Al-Haromain Singapura-Jedah-Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar