Selasa, 23 April 2013

PRINSIP ISLAM DALAM MENETAPKAN HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari’at Allah yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari’at Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, menyeluruh dengan kehidupan idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.
Syariat Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Quran dan Sunnah. Dalam kajian fiqh, yang dimaksud dengan hukum Islam ialah khitab (firman) Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, atau dengan redaksi lain, hukum Islam ialah seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan lugas oleh Allah atau ditetapkan pokok-pokonya untuk mengatur hubungan antara manusia dan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta. Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah.
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa prinsip dari hukum Islam?
2.      Bagaimana penerapan hukum Islam?
3.      Apa tujuan hukum Islam?

BAB II
PEMBAHASAN
PRINSIP, PENERAPAN, TUJUAN HUKUM ISLAM

A.    Prinsip-prinsip Hukum Islam
Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf.[1]
Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokonya.[2]
Secara etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok.[3] Juhaya S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut: permulaan; tempat pemberangkatan; titik tolak; atau al-mabda.[4]
Adapun secara terminologi Prinsip adalah kebeneran universal yang inheren didalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum dan prinsip umum. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersifat unuversal. Adapun prinsip-prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam.
Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :

1.      Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64.
Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip ketauhidan menghargai akal pada posisi yang serasi dengan wahyu dalam upaya meyakini keberadaan Allah. Hukum islam seluruhnya diperuntukkan bagi orang berakal dan mau berfifkir. Dalam suatu keterangan dikatakan bahwa agama itu untuk yang berakal, dan tidak berlaku agama bagi yang tidak berakal. Karena fungsi akan membedakan dan memilih perbuatan yang baik dengan yang buruk, prinsip ketauhidan melahirkan prinsip ahklaq al-karimah, yakni prinsip moralitas yang terpuji ynag dapat menyucikan jiwa dan meluruskan kepribadian
Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47).
Dari prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fiqih ibadah sebagai berikut :
a.       Prinsip Pertama : Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara, artinya bahwa tak seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib di sembah.
b.      Prinsip Kedua : Beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman, penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur, Artinya hamba Allah dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi dari rasa syukur atas nikmat Allah.
Prinsip ketauhidan juga mencairkan hubungan antaragama, yang membentuk toleransi dan tidak ada paksaan dalam beragama. Bahkan umat islam bertuas memasukkan nilai-nilai islami kedalam semua hukum yang berkembang di dunia.
Karena menjadi tolak ukur dalam pelaksanaan hukum islam, tiga prinsip tersebut merupakan “nenek moyang” prinsip-prinsip lainnya. Ketauhidan sebagai produk dari kayakinan manusia kepada Allah yang dilegalisasi oleh dalil naqli dan pemahaman filosofis tentang falsafah wujud. Keadilan merupakan salah satu sifat mutlak yang dikuasai oleh Allah, demikian pula dengan kemanusiaan. Allah tidak pernah memilih-milih dan memilah-milah dalam menciptakan manusia, memberi rezeki, memberikan kekuatan dan kehendak dalam diri manusia. Seluruhnya diberi dengan adil tanpa ada bayaran seperser pun. Semua manusia diberi akal untuk berpikir, dan dengan pikirannya, manusia mampu membedakan segala yang baik dan yang buruk.
2.      Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur’an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25.
Prinsip keadilan atau al-mizan (keseimbangan) antara hak dan kewajiban. Sebagai titik tolak kesadaran setiap manusia terhadap hak-hak oarng lain dan kewajiban dirinya. Jika ia berkewajiban melakukan sesuatu, maka ia berhak menerima sesuatu tersebut. Keduanya harus berjalan seimbang dan dirasakan adil untuk dirinya dan orang lain.
Terlebih lagi, manusia diberi alat untuk mempertahankan keseimbangannya dengan akal dan hati. Nilai-nilai kemanusiaan membangun prinsip persamaan dimata Allah dan sesama manusia. Tidak adil jika Allah menciptakan manusia dengan penuh kasih sayang, kemudian manusia kufur dan tidak berterima kasih kepadanya. Evaluasi tentang derajat manusia bergantung kepada hak prerogatif Allah, yakni ketaqwaannya sebagaimana difirmankan dalam surat Al-hujarat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-Hujarat: 13)
Term (istilah) keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.[5]
Penggunaan term “adil/keadilan” dalam Al-Quran diantaranya sebagai berikut :
1.      QS. Al-Maidah: 8, Manusia yang memiliki kecenderungan mengikuti hawa nafsu, adanya kecintan dan kebencian memungkinkan manusia tidak bertindak adil dan mendahulukan kebatilan daripada kebenaran (dalam bersaksi);
2.      QS. Al-An’am: 152, Perintah kepada manusia agar berlaku adil dalam segala hal terutama kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan dalam bermuamalah/berdagang;
3.      QS. An-Nisa: 128, Kemestian berlaku adil kepada sesama isteri;
4.      QS. Al-Hujrat: 9, Keadilan sesama muslim;
5.      QS. Al-Anam: 52, Keadilan yang berarti keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi manusia (mukalaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban tersebut.
Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu :
Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyempit maka menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :
a.       Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan” perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia
b.      Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik. Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.

3.      Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan pada QS. Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan akal.
Tujuan prinsip amr ma’ruf nahy al-munkar yakni Untuk menyebarkanluaskan persamaan hak dan kewajiban, karena dalam hukum islam ditanamkan. Dengan demikian, semua umat islam berkewajiban memberikan contoh yang patut diteladani dan mengajak kepada kebenaran.
Allah menyatakan hal itu dalam surat Asy-syura ayat 38:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (٣٨)
Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (Q.S. Asy-Syuraa: 38)
Akan tetapi, kewajiban amr ma’ruf nahyi munkar harus merujuk pada prinsip toleransi dan tidak ada paksaan sehingga kebenaran harus diterima dengan kesadaran yang tinggi dari pemeluk ajaran islam. Dengan keikhlasan menerima ajaran Allah, kepribadian umat islam akan tampak dalam jihad dan kekhusyuannya dalam beribadah.
4.      Prinsip Kebebasan/ Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5)
5.      Prinsip kemaslahatan
Prinsip kemaslahatan umum (al-masahih al-‘ammah), yakni yang bertitik tolak dari kaidah penyusunan argumentasi dalam berprilaku bahwa meninggalkan kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaatnya (dar’u al-mafasid muqadamun min jalb al- mashalahih), operasionalisasi kaaidah ini berhubungan dengan kaidah yang menyatakan bahwa kemaslahatan khusus (al-maslahah al-‘ammah muqadamatun al-maslahah al-khashah). Kaidah umum yangdijadikan titik tolak ukur kemaslahatan dalam situasi dan kondisi tertentu dapat berubah, sebagaimana dalam situasi emergensi atau darurat. Kaidah kemadaratan berpijk kepada kaidah imam, yakni kemadaratan membolehkan berbuat sesuatu yang hukum asalnya dilarang (adh-dhuraru yujalu) dan adh-dhararah tubih al-mahdarurah. [6]
6.      Prinsip At-Ta’awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
Pinsip ta’awun, tolong menolong, sebagai titik tolak ukur kehidupan manusia sebagai mahlik sosial yang saling membutuhkan
7.      Prinsip Toleransi (tasamuh)
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Prinsip tasamuh, prinsip toleransi, sebagai titik tolak ukur pengamalan hukum islam, karena cara berfikir manusia yang berbeda-beda, satu sama lain harus saling menghargai dan mengakui bahwa kebenaran hasil pemikiran manusia bersifat relatif
Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentuan Al-Quran dan Hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syariat ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja. Tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya.[7]
B.     Penerapan Hukum Islam
Ada tiga pilar yang menjadi landasan : Pertama, ketakwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu di tengah-tengah masyarakat. Seorang Muslim memiliki pandangan mendalam dan jernih yang mencakup pemikiran terhadap alam, manusia, dan kehidupan, serta apa yang ada pada sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Pandangan ini akan menumbuhkan perasaan dan indera seorang Mukmin terhadap takwa, dan menjadikan akidahnya sebagai pengontrol perilakunya sehingga senantiasa terikat dengan hukum Islam.
Kedua, sikap masyarakat untuk saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi perilaku penguasa. Dalam naungan masyarakat inilah individu tidak akan berani berbuat maksiat secara terang-terangan atau bahkan tidak akan bermaksiat. Bahkan kalaupun ia tergoda juga untuk bermaksiat, ia akan berusaha menyembunyikannya. Namun begitu, dengar sadar ia akan kembali pada kebenaran dan bertobat atas kekhilafannya.
Bahkan orang-orang munafik sekalipun, pada masa Nabi saw., tidak berani menampakkan apa yang mereka sembunyikan dan menampakkan rencana-rencananya. Pada zaman Kekhilafahan Abbasiyah juga didapati orang-orang fasik, tetapi jumlahnya sedikit; mereka dengan cara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah-rumah orang-orang Nasrani (kafir dzimmi) hanya untuk meminum seteguk khamr. Mereka melakukan hal ini bukan karena takut terhadap penguasa saja ataupun sanksi yang akan diterimanya, tetapi mereka takut menghadapi pengawasan masyarakat. Tekanan keras dari masyarakat inilah yang menjadi faktor kuat untuk mendorong sekelompok kecil penyeleweng tersebut bersembunyi.
Ketiga, negara/pemerintahan sebagai pelaksana hukum syariat. Sekalipun terdapat ketakwaan individu dan kontrol sosial, pelaksana tathbîq al-ahkâm adalah negara. Kedudukan negara dalam Islam, yakni Khilafah Islamiyah, tidak lain sebagai pemelihara masyarakat dan anggota-anggotanya serta bertindak selaku pemimpin yang mengatur dan mementingkan urusan rakyatnya. Khilafah merupakan asas bagi tegak dan kokohnya masyarakat Islam; ia mengawasi dan mengontrol masyarakat serta pelaksanaan seluruh hukum Islam. Negara juga merupakan pemimpin bagi umat dalam mengatur perekonomian, kesehatan, keamanan, hubungan dalam dan luar negeri serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di tengah-tengah masyarakat. Negara mengawasi dan mengontrol masyarakat seraya meminta pertanggungjawaban mereka tanpa pandang bulu. Dalam sistem Islam, Negara bersikap keras (tegas) dalam melaksanakan syariat Islam, tetapi lunak terhadap umat dan individu yang ikut serta bersama masyarakat dalam mengoreksi perilaku para penguasa. 
Realitas menunjukkan bahwa individu dan masyarakat melaksanakan Islam. Adapun negara adalah pihak yang menegakkan dan bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, negara Khilafah merupakan metode tathbîq al-ahkâm. Padanyalah Allah memberikan amanah untuk menerapkan syariat Islam. Kepala negara (Khalifah) beserta aparatnya adalah yang menjalankan amanah itu. Bahkan sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab mulai dari hal yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya. Rasulullah saw. Bersabda: “Imam/Khalifah adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dari Ibnu Umar. Lihat: Yusuf an-Nabhani, Al-Fath al-Kabîr, II/330-331).
Tathbîq al-ahkâm haruslah berlangsung kontinu. Boleh jadi negara sudah menerapkan syariat Islam, tetapi tetap ada masyarakat yang menyimpang darinya. Karenanya, mutlak diperlukan adanya penjagaan terhadap keberlangsungan tathbîq al-ahkâm. Metode penjagaan itu adalah: 
1.      Sistem sanksi. Negara menegakkan sanksi-sanksi hukum, menyebarkan keadilan, serta mengembalikan hak-hak kepada pihak yang seharusnya menerimanya.
2.      Kontrol dari Majelis Umat.
3.      Adanya Mahkamah Mazhâlim yang mengadili perselisihan antara anggota masyarakat dan pejabat Kekhalifahan.
4.      Adanya partai politik yang menyebarkan dan menegakkan Islam.
Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam. Akibatnya, Islam harus disebarkan ke seluruh dunia. Pada sisi lain, tantangan pelaksanaan tathbîq al-ahkâm dapat datang dari luar negeri. Untuk itu, Islam perlu diemban dengan dakwah dan jihad. Negara memobilisasi tentara maupun rakyat untuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh pelosok dunia. Negara pula yang mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain dan menyatakan perang, membuat perdamaian, kerjasama ekonomi, maupun yang lainnya untuk kemaslahatan bersama.
C.    Tujuan Hukum Islam
Asy Syatibi mengatakan bahawa tujuan Syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat. Antara kemaslahatan tersebut adalah seperti berikut:
1.      Memelihara Agama
2.      Memelihara Jiwa
3.      Memelihara Akal
4.      Memelihara Keturunan
5.      Memelihara Kekeyaan.[8]
Lima unsur di atas dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu :
a.       Dharuriyyat adalah memelihara segala kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia.
b.      Hijiyyat adalah tidak termasuk dlam kebutuhan-kebutuhan yang esensial,melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidup mereka.
c.       Tahsiniyyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya,sesuai dengan kepatutan.[9]
Peringkat Dharuriyyat menepati urutan yang pertama,disusuli dengan peringkat yang ke dua yaitu Hijiyyat dan dilengkapi dengan yang terakhir sekali ialah Tahsiniyyat.
Kesimpulannya disini ketiga-tiga peringkat yang disebut Dharuriyyat,hijiyyat serta Tahsiniyyat,mampu mewujudkan serta memelihara kelima-lima pokok tersebut.
1)      Memelihara Agama (Hifz Ad-Din)
Menjaga atau memelihara agama,berdasarkan kepentingannya, dapat kita bedakan dengan tiga peringkat ini:
a)      Dharuriyyah: Memelihara dan melaksanakan kewajipan agama yang masuk peringkat primer. Contoh: Solat lima waktu.Jika solat itu diabaikan,maka akan terancamlah eksestensi agama.
b)      Hijiyyat: Melaksanakan ketentuan Agama. Contoh: Solat Jamak dan Solat Kasarbagi orang yang sedangbepergian. jika tidak dilaksanakan solat tersebut, maka tidak akan mengancam eksestensi agamanya,melainkan hanya mempersulitkan bagi orang yang melakukannya.
c)      Tahsiniyyat: Mengikuti petunjuk agama. Contoh: Menutup aurat.baik di dalam maupon diluar solat, membersihkan badan,pakaian dan tempat. Kegiatan ini tidak sama sekali mengancan eksestensi agama dan tidak pua mempersulitkan bagi orang yang melakukannya.
2)      Memelihara Jiwa (Hifz An-Nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentinganya,kita dapat bedakan dengan tiga peringkat yaitu:
a)      Dharuriyyat: Memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksestansi jiwa manusia
b)      Hijiyyat: sepertinya diperbolehkan berburu binatang untuk menukmati makanan
yang halal dan lazat.
Jika diabaikan maka tidak akan mengancam eksestensi manusia,melainkan hanya untuk mempersulitkan hidupnya.
c)      Tahsiniyyat : Sepertinya ditetapkannya tatacara makan dan minum.Kegiatan ini hanya berhubung dengan kesopanan dan etika. Sama sekali tidak mengancam eksestensi jiwa manusia ataupun mempersulitkan kehidupan seseorang.
3)      Memelihara Akal (Hifz Al-‘Aql)
Memelihara akal,dilihat dari segi kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu:
a)      Dharuriyyat: Diharamkan meminum minuman keras. Jika tidak diindahkan maka akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
b)      Hijiyyat: Sepertinya menuntu ilmu pengetahuan.Jika hat tersebut diindahkan
maka tidak akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
c)      Tahsiniyyat: Menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini jika diindahkan maka tidak akan ancamnya eksestensi akal secara langsung.
4)      Memelihara Keturunan (Hifz An-Nasl)
a)      Dharuriyyat: Sepertinya disyari’atkan nikah dan dilarang berzina.Jika di abaikan maka eksestensi keturunannya akan terancam.
b)      Hijiyyat: Sepertinya ditetapkan menyebut mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberi hak talaq padanya.Jika mahar itu tidak disebut pada waktu akad maka si suami akan mengalami kesulitan, kerana suami harus membayar mahar misalnya.
c)      Tahsiniyyat: Disyariatkan Khitbah atau Walimat dalam perkahwinan.hal ini jika diabaikan maka tidak akan mengancam eksestensi keturunan.
5)      Memelihara Harta (Hifz Al-Mal)
a)      Dharuriyat: Tata cara pemilikan dan larangan mengambil harta orang lain. Jika Diabaikan maka akan mengakibatkan eksestensi harta.
b)      Hijiyyat: Sepertinya tentang jual beli dengan salam.Jika tidak dipakai salam, Maka tidak akan mengancam eksestensi harta.
c)      Tahsiniyyat: Menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.Hal in erat Kaitannya dengan etika bermu’amalah atau etika bisnis.[10]


BAB III
KESIMPULAN

Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :
1.      Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah).
2.      Prinsip Keadilan
 Keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
3.      Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan untuk mengajak umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah.
4.      Prinsip Kebebasan/ Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi.
5.      Prinsip kemaslahatan
Prinsip kemaslahatan umum (al-masahih al-‘ammah), yakni yang bertitik tolak dari kaidah penyusunan argumentasi dalam berprilaku bahwa meninggalkan kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaatnya

6.      Prinsip At-Taawun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
7.      Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Asy Syatibi mengatakan bahawa tujuan Syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat. Antara kemaslahatan tersebut adalah seperti berikut:
a.       Memelihara Agama
b.      Memelihara Jiwa
c.       Memelihara Akal
d.      Memelihara Keturunan
e.       Memelihara Kekeyaan.

DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili Wahbah, tth, Al-Dharuurah Al-Syar’iyyah, Muasasah al-Risalah, Damaskus M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993 : 73
H. Mohammad Daud Ali, 1993, Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Khallaf Abdu al-Wahab, 1968, Ilmu Ushul Fiqh, Dar al-Kuwaitiyah
Praja Juhaya S., 1995, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung.
Qardhawi Yusuf, 1993, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu,Maktabah Wahbah, Kairo
Suryadi, 1980, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya
Zahrah Abu, 1994, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta



KATA PENGANTAR

Untaian kata terindah adalah kata mutiara yang terangkai dalam kata Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah SWT, yang maha pemberi hidayah, petunjuk, dan pertolongan kepada siapa pun hambanya yang dikehendaki. Dan telah menjadikan kita sebagai kholifahnya dengan menjadi lebih bermanfaat dari yang lain.
            Sungguh besar rahmatMu ya Allah, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah ”Fiqh
            Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada baginda Rasullah SAW sebanyak daun yang berguguran dan sebanyak tetesan embun di pagi hari. Sanjungan hanya milik suri tauladan terbaik umat sebanyak butiran pasir dibibir pantainya. Semoga kelak kita dapat memperoleh syafaatnya saat dahaga tak tertahankan lagi di hamparan padang yang luas.
            Besar harapan kami semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi sebuah pengetahuan baru bagi kita. Amin…
                                                             
      
Penulis

ii
 
 


[1]. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994) hal,  26
[2].  M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, (Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993) hal,  73
[3]. Suryadi, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1980 :190
[4].  Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (LPPM Unisba, Bandung, 1995) hal, 69
[5].  Wahbah Az-Zuhaili, Al-Dharuurah Al-Syar’iyyah, Muasasah al-Risalah, Damaskus, tth : 30
[6]  juhaya S. Pradja, 1998, hlm. 37
[7].  Ibid, hal 30
[8]. H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 55
[9].  Abdu al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Dar al-Kuwaitiyah, 1968), hal. 29
      [10].   H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 55-57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar