BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari’at Allah yang terkandung dalam
kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan
dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan
syari’at yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana
diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari’at Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur’an dan
Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan
suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, menyeluruh dengan kehidupan idealnya Islam
ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba
mencakup.
Syari‟at Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT
untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Qur‟an dan Sunnah. Dalam kajian fiqh, yang dimaksud dengan
hukum Islam ialah khitab (firman) Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf, atau dengan redaksi lain, hukum Islam ialah seperangkat aturan yang
ditetapkan secara langsung dan lugas oleh Allah atau ditetapkan pokok-pokonya
untuk mengatur hubungan antara manusia dan tuhannya, manusia dengan sesamanya
dan manusia dengan alam semesta. Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya,
bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan),
takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka
dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa prinsip dari hukum Islam?
2.
Bagaimana penerapan hukum Islam?
3.
Apa tujuan hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
PRINSIP, PENERAPAN, TUJUAN HUKUM ISLAM
A.
Prinsip-prinsip Hukum Islam
Abu
Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang
berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau
larangan), takhyir (pilihan) maupun
berupa wadh’i (sebab akibat).
Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap
sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf.[1]
Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan
asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah
atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas
dan tiang pokonya.[2]
Secara
etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok.[3]
Juhaya S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut: permulaan;
tempat pemberangkatan; titik tolak; atau al-mabda.[4]
Adapun secara terminologi Prinsip adalah kebeneran universal yang inheren
didalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang
membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi
prinsip umum dan prinsip umum. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum
Islam yang bersifat unuversal. Adapun prinsip-prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang hukum
Islam.
Prinsip-prinsip hukum
Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :
1.
Prinsip Tauhid
Tauhid
adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada
dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam
kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik
dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64.
Berdasarkan
atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam
arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak
boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk
lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia
kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip ketauhidan menghargai akal pada posisi yang serasi dengan wahyu
dalam upaya meyakini keberadaan Allah. Hukum islam seluruhnya diperuntukkan
bagi orang berakal dan mau berfifkir. Dalam suatu keterangan dikatakan bahwa
agama itu untuk yang berakal, dan tidak berlaku agama bagi yang tidak berakal.
Karena fungsi akan membedakan dan memilih perbuatan yang baik dengan yang
buruk, prinsip ketauhidan melahirkan prinsip ahklaq al-karimah, yakni
prinsip moralitas yang terpuji ynag dapat menyucikan jiwa dan meluruskan
kepribadian
Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum
sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an dan As-Sunah). Barang siapa
yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat
dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S.
ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47).
Dari prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang merupakan
kelanjutan dari prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fiqih ibadah
sebagai berikut :
a.
Prinsip Pertama : Berhubungan langsung dengan Allah tanpa
perantara, artinya bahwa tak seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya
sebagai zat yang wajib di sembah.
b.
Prinsip Kedua : Beban hukum (takli’f) ditujukan untuk
memelihara akidah dan iman, penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan
pribadi yang luhur, Artinya hamba Allah dibebani ibadah sebagai
bentuk/aktualisasi dari rasa syukur atas nikmat Allah.
Prinsip ketauhidan juga mencairkan hubungan antaragama, yang membentuk
toleransi dan tidak ada paksaan dalam beragama. Bahkan umat islam bertuas
memasukkan nilai-nilai islami kedalam semua hukum yang berkembang di dunia.
Karena menjadi tolak ukur dalam pelaksanaan hukum islam, tiga prinsip
tersebut merupakan “nenek moyang” prinsip-prinsip lainnya. Ketauhidan sebagai
produk dari kayakinan manusia kepada Allah yang dilegalisasi oleh dalil naqli
dan pemahaman filosofis tentang falsafah wujud. Keadilan merupakan salah satu
sifat mutlak yang dikuasai oleh Allah, demikian pula dengan kemanusiaan. Allah
tidak pernah memilih-milih dan memilah-milah dalam menciptakan manusia, memberi
rezeki, memberikan kekuatan dan kehendak dalam diri manusia. Seluruhnya diberi
dengan adil tanpa ada bayaran seperser pun. Semua manusia diberi akal untuk
berpikir, dan dengan pikirannya, manusia mampu membedakan segala yang baik dan
yang buruk.
2.
Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/
moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang diekuifalensikan
dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur’an terdapat
dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25.
Prinsip keadilan atau al-mizan (keseimbangan) antara hak dan
kewajiban. Sebagai titik tolak kesadaran setiap manusia terhadap hak-hak oarng
lain dan kewajiban dirinya. Jika ia berkewajiban melakukan sesuatu, maka ia
berhak menerima sesuatu tersebut. Keduanya harus berjalan seimbang dan dirasakan adil
untuk dirinya dan orang lain.
Terlebih
lagi, manusia diberi alat untuk mempertahankan keseimbangannya dengan akal dan
hati. Nilai-nilai kemanusiaan membangun prinsip persamaan dimata Allah dan
sesama manusia. Tidak adil jika Allah menciptakan manusia dengan penuh kasih
sayang, kemudian manusia kufur dan tidak berterima kasih kepadanya. Evaluasi
tentang derajat manusia bergantung kepada hak prerogatif Allah, yakni
ketaqwaannya sebagaimana difirmankan dalam surat Al-hujarat ayat 13:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)
Artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-Hujarat:
13)
Term
(istilah) keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau
kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai
aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut
Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba
Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan
kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah
sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa
kebaikan bagi individu dan masyarakat.[5]
Penggunaan
term “adil/keadilan” dalam Al-Quran diantaranya sebagai berikut :
1.
QS. Al-Maidah: 8, Manusia yang memiliki kecenderungan
mengikuti hawa nafsu, adanya kecintan dan kebencian memungkinkan manusia tidak
bertindak adil dan mendahulukan kebatilan daripada kebenaran (dalam bersaksi);
2.
QS. Al-An’am: 152, Perintah kepada manusia agar berlaku
adil dalam segala hal terutama kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau yang
berhubungan dengan kekuasaan dan dalam bermuamalah/berdagang;
3.
QS. An-Nisa: 128, Kemestian berlaku adil kepada
sesama isteri;
4.
QS. Al-Hujrat: 9, Keadilan sesama muslim;
5.
QS. Al-An’am: 52, Keadilan yang berarti keseimbangan antara
kewajiban yang harus dipenuhi manusia (mukalaf) dengan kemampuan manusia untuk
menunaikan kewajiban tersebut.
Dari
prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya
dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang menyatakan
elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan
dari prinsip keadilan, yaitu :
Artinya
: Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyempit maka menjadi luas;
apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
Dari
kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :
a.
Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa
hikmah dan tujuan” perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia
b.
Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu
mempunyai nilai subjektif sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat
yang menjadi perbuatan baik. Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat
itu dapat diketahui oleh akal sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah
akal.
3.
Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum
Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik
dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat
diartikan sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi
Mungkar didasarkan pada QS. Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi
Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan akal.
Tujuan prinsip amr ma’ruf nahy al-munkar
yakni Untuk menyebarkanluaskan persamaan hak dan kewajiban, karena dalam
hukum islam ditanamkan. Dengan demikian, semua umat islam berkewajiban
memberikan contoh yang patut diteladani dan mengajak kepada kebenaran.
Allah menyatakan hal itu dalam surat
Asy-syura ayat 38:
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (٣٨)
Artinya
: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka. (Q.S. Asy-Syuraa: 38)
Akan
tetapi, kewajiban amr ma’ruf nahyi munkar harus merujuk pada prinsip
toleransi dan tidak ada paksaan sehingga kebenaran harus diterima dengan
kesadaran yang tinggi dari pemeluk ajaran islam. Dengan keikhlasan menerima
ajaran Allah, kepribadian umat islam akan tampak dalam jihad dan kekhusyuannya
dalam beribadah.
4.
Prinsip Kebebasan/ Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam
disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi,
argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl
arti luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan
komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan
dalam beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5)
5.
Prinsip kemaslahatan
Prinsip
kemaslahatan umum (al-masahih al-‘ammah), yakni yang bertitik tolak dari
kaidah penyusunan argumentasi dalam berprilaku bahwa meninggalkan kerusakan
lebih diutamakan daripada mengambil manfaatnya (dar’u al-mafasid muqadamun
min jalb al- mashalahih), operasionalisasi kaaidah ini berhubungan dengan
kaidah yang menyatakan bahwa kemaslahatan khusus (al-maslahah al-‘ammah
muqadamatun al-maslahah al-khashah). Kaidah umum yangdijadikan titik tolak
ukur kemaslahatan dalam situasi dan kondisi tertentu dapat berubah, sebagaimana
dalam situasi emergensi atau darurat. Kaidah kemadaratan berpijk kepada kaidah
imam, yakni kemadaratan membolehkan berbuat sesuatu yang hukum asalnya dilarang
(adh-dhuraru yujalu) dan adh-dhararah tubih al-mahdarurah. [6]
6.
Prinsip At-Ta’awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang
diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan
ketakwaan.
Pinsip ta’awun, tolong menolong, sebagai titik tolak ukur kehidupan
manusia sebagai mahlik sosial yang saling membutuhkan
7.
Prinsip Toleransi (tasamuh)
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin
tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya tegasnya toleransi hanya dapat
diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Prinsip tasamuh, prinsip toleransi, sebagai titik tolak ukur
pengamalan hukum islam, karena cara berfikir manusia yang berbeda-beda, satu
sama lain harus saling menghargai dan mengakui bahwa kebenaran hasil pemikiran
manusia bersifat relatif
Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran
penerapan ketentuan Al-Qur’an dan Hadits yang
menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan
dan jalan untuk meninggalkan syari‟at ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut
tidak hanya pada persoalan ibadah saja. Tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum
Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain
sebagainya.[7]
B.
Penerapan Hukum Islam
Ada tiga pilar yang menjadi landasan : Pertama,
ketakwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu di tengah-tengah
masyarakat. Seorang Muslim memiliki pandangan mendalam dan jernih yang mencakup
pemikiran terhadap alam, manusia, dan kehidupan, serta apa yang ada pada
sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Pandangan ini akan menumbuhkan
perasaan dan indera seorang Mukmin terhadap takwa, dan menjadikan akidahnya
sebagai pengontrol perilakunya sehingga senantiasa terikat dengan hukum Islam.
Kedua, sikap masyarakat untuk
saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi
perilaku penguasa. Dalam naungan masyarakat inilah individu tidak akan berani
berbuat maksiat secara terang-terangan atau bahkan tidak akan bermaksiat.
Bahkan kalaupun ia tergoda juga untuk bermaksiat, ia akan berusaha
menyembunyikannya. Namun begitu, dengar sadar ia akan kembali pada kebenaran
dan bertobat atas kekhilafannya.
Bahkan orang-orang munafik sekalipun, pada masa Nabi saw., tidak berani
menampakkan apa yang mereka sembunyikan dan menampakkan rencana-rencananya.
Pada zaman Kekhilafahan Abbasiyah juga didapati orang-orang fasik, tetapi
jumlahnya sedikit; mereka dengan cara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah-rumah
orang-orang Nasrani (kafir dzimmi) hanya untuk meminum seteguk khamr. Mereka
melakukan hal ini bukan karena takut terhadap penguasa saja ataupun sanksi yang
akan diterimanya, tetapi mereka takut menghadapi pengawasan masyarakat. Tekanan
keras dari masyarakat inilah yang menjadi faktor kuat untuk mendorong
sekelompok kecil penyeleweng tersebut bersembunyi.
Ketiga, negara/pemerintahan sebagai pelaksana hukum
syariat. Sekalipun terdapat ketakwaan individu dan kontrol sosial, pelaksana
tathbîq al-ahkâm adalah negara. Kedudukan negara dalam Islam, yakni Khilafah
Islamiyah, tidak lain sebagai pemelihara masyarakat dan anggota-anggotanya
serta bertindak selaku pemimpin yang mengatur dan mementingkan urusan
rakyatnya. Khilafah merupakan asas bagi tegak dan kokohnya masyarakat Islam; ia
mengawasi dan mengontrol masyarakat serta pelaksanaan seluruh hukum Islam.
Negara juga merupakan pemimpin bagi umat dalam mengatur perekonomian,
kesehatan, keamanan, hubungan dalam dan luar negeri serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di tengah-tengah masyarakat. Negara mengawasi dan
mengontrol masyarakat seraya meminta pertanggungjawaban mereka tanpa pandang
bulu. Dalam sistem Islam, Negara bersikap keras (tegas) dalam melaksanakan
syariat Islam, tetapi lunak terhadap umat dan individu yang ikut serta bersama
masyarakat dalam mengoreksi perilaku para penguasa.
Realitas
menunjukkan bahwa individu dan masyarakat melaksanakan Islam. Adapun negara
adalah pihak yang menegakkan dan bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam
di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, negara Khilafah merupakan metode
tathbîq al-ahkâm. Padanyalah Allah memberikan amanah untuk menerapkan syariat
Islam. Kepala negara (Khalifah) beserta aparatnya adalah yang menjalankan
amanah itu. Bahkan sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab mulai dari hal
yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya. Rasulullah saw. Bersabda: “Imam/Khalifah adalah pengurus rakyat dan dia
bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad
dari Ibnu Umar. Lihat: Yusuf an-Nabhani, Al-Fath al-Kabîr, II/330-331).
Tathbîq al-ahkâm haruslah berlangsung kontinu. Boleh jadi
negara sudah menerapkan syariat Islam, tetapi tetap ada masyarakat yang
menyimpang darinya. Karenanya, mutlak diperlukan adanya penjagaan terhadap
keberlangsungan tathbîq al-ahkâm. Metode penjagaan itu adalah:
1.
Sistem sanksi. Negara menegakkan sanksi-sanksi
hukum, menyebarkan keadilan, serta mengembalikan hak-hak kepada pihak yang
seharusnya menerimanya.
2.
Kontrol dari Majelis Umat.
3.
Adanya Mahkamah Mazhâlim yang mengadili
perselisihan antara anggota masyarakat dan pejabat Kekhalifahan.
4.
Adanya partai politik yang menyebarkan dan
menegakkan Islam.
Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam. Akibatnya,
Islam harus disebarkan ke seluruh dunia. Pada sisi lain, tantangan pelaksanaan
tathbîq al-ahkâm dapat datang dari luar negeri. Untuk itu, Islam perlu diemban
dengan dakwah dan jihad. Negara memobilisasi tentara maupun rakyat untuk
menyebarkan dakwah Islam ke seluruh pelosok dunia. Negara pula yang mengadakan
perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain dan menyatakan perang, membuat
perdamaian, kerjasama ekonomi, maupun yang lainnya untuk kemaslahatan bersama.
C.
Tujuan Hukum Islam
Asy
Syatibi mengatakan bahawa tujuan Syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan
hamba baik di dunia maupun di akhirat. Antara kemaslahatan tersebut adalah
seperti berikut:
1.
Memelihara Agama
2.
Memelihara Jiwa
3.
Memelihara Akal
4.
Memelihara Keturunan
Lima unsur di atas dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu
:
a.
Dharuriyyat adalah memelihara segala
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia.
b.
Hijiyyat adalah tidak termasuk dlam
kebutuhan-kebutuhan yang esensial,melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan
manusia dari kesulitan hidup mereka.
c.
Tahsiniyyat adalah kebutuhan yang menunjang
peningkatan martabat seseorang dalam
masyarakat dan dihadapan Tuhannya,sesuai dengan kepatutan.[9]
Peringkat Dharuriyyat menepati urutan yang pertama,disusuli dengan
peringkat yang ke dua yaitu Hijiyyat dan dilengkapi dengan yang terakhir sekali
ialah Tahsiniyyat.
Kesimpulannya disini ketiga-tiga peringkat yang disebut
Dharuriyyat,hijiyyat serta Tahsiniyyat,mampu mewujudkan serta memelihara
kelima-lima pokok tersebut.
1)
Memelihara Agama (Hifz Ad-Din)
Menjaga
atau memelihara agama,berdasarkan kepentingannya, dapat kita bedakan dengan
tiga peringkat ini:
a)
Dharuriyyah: Memelihara dan melaksanakan kewajipan agama yang masuk
peringkat primer. Contoh: Solat lima waktu.Jika solat itu diabaikan,maka akan
terancamlah eksestensi agama.
b)
Hijiyyat: Melaksanakan ketentuan Agama. Contoh: Solat Jamak dan Solat Kasarbagi
orang yang sedangbepergian. jika tidak dilaksanakan solat tersebut, maka tidak
akan mengancam eksestensi agamanya,melainkan hanya mempersulitkan bagi orang
yang melakukannya.
c)
Tahsiniyyat: Mengikuti petunjuk agama. Contoh: Menutup aurat.baik di dalam
maupon diluar solat, membersihkan badan,pakaian dan tempat. Kegiatan ini tidak
sama sekali mengancan eksestensi agama dan tidak pua mempersulitkan bagi orang
yang melakukannya.
2)
Memelihara Jiwa (Hifz An-Nafs)
Memelihara
jiwa berdasarkan tingkat kepentinganya,kita dapat bedakan dengan tiga peringkat
yaitu:
a)
Dharuriyyat: Memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk
mempertahankan hidup. Jika diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksestansi
jiwa manusia
b)
Hijiyyat: sepertinya diperbolehkan berburu binatang untuk menukmati
makanan
yang halal dan lazat. Jika diabaikan maka tidak akan mengancam eksestensi manusia,melainkan hanya untuk mempersulitkan hidupnya.
yang halal dan lazat. Jika diabaikan maka tidak akan mengancam eksestensi manusia,melainkan hanya untuk mempersulitkan hidupnya.
c)
Tahsiniyyat : Sepertinya ditetapkannya tatacara makan dan
minum.Kegiatan ini hanya berhubung dengan kesopanan dan etika. Sama sekali
tidak mengancam eksestensi jiwa manusia ataupun mempersulitkan kehidupan
seseorang.
3)
Memelihara Akal (Hifz Al-‘Aql)
Memelihara akal,dilihat dari segi kepentingannya,dapat dibedakan menjadi
tiga peringkat yaitu:
a)
Dharuriyyat: Diharamkan meminum minuman keras. Jika tidak
diindahkan maka akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
b)
Hijiyyat: Sepertinya menuntu ilmu pengetahuan.Jika hat
tersebut diindahkan
maka tidak akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
maka tidak akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
c)
Tahsiniyyat: Menghindarkan diri dari menghayal atau
mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini jika diindahkan maka tidak
akan ancamnya eksestensi akal secara langsung.
4)
Memelihara Keturunan (Hifz An-Nasl)
a)
Dharuriyyat: Sepertinya disyari’atkan nikah dan dilarang
berzina.Jika di abaikan maka eksestensi keturunannya akan terancam.
b)
Hijiyyat: Sepertinya ditetapkan menyebut mahar bagi suami
pada waktu akad nikah dan diberi hak talaq padanya.Jika mahar itu tidak disebut
pada waktu akad maka si suami akan mengalami kesulitan, kerana suami harus
membayar mahar misalnya.
c)
Tahsiniyyat: Disyariatkan Khitbah atau Walimat dalam
perkahwinan.hal ini jika diabaikan maka tidak akan mengancam eksestensi
keturunan.
5)
Memelihara Harta (Hifz
Al-Mal)
a)
Dharuriyat: Tata cara pemilikan dan larangan
mengambil harta orang lain. Jika Diabaikan maka akan mengakibatkan eksestensi
harta.
b)
Hijiyyat: Sepertinya tentang jual beli dengan
salam.Jika tidak dipakai salam, Maka tidak akan mengancam eksestensi harta.
c)
Tahsiniyyat: Menghindarkan diri dari pengecohan
atau penipuan.Hal in erat Kaitannya dengan etika bermu’amalah atau etika
bisnis.[10]
BAB III
KESIMPULAN
Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai
berikut :
1.
Prinsip Tauhid
Tauhid
adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada
dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam
kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah).
2.
Prinsip Keadilan
Keadilan pada umumnya berkonotasi
dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam
hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai
prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan
karena esensinya, seba Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak
pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan
tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan
yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
3.
Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam
digerakkan untuk mengajak umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki
dan ridloi Allah.
4.
Prinsip Kebebasan/ Kemerdekaan
Prinsip
kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak
berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi.
5.
Prinsip kemaslahatan
Prinsip kemaslahatan umum (al-masahih
al-‘ammah), yakni yang bertitik tolak dari kaidah penyusunan argumentasi dalam
berprilaku bahwa meninggalkan kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil
manfaatnya
6.
Prinsip At-Ta’awun
Prinsip
ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai
prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
7.
Prinsip Toleransi
Prinsip
toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak
terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya tegasnya toleransi hanya dapat
diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Asy
Syatibi mengatakan bahawa tujuan Syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan
hamba baik di dunia maupun di akhirat. Antara kemaslahatan tersebut adalah
seperti berikut:
a.
Memelihara Agama
b.
Memelihara Jiwa
c.
Memelihara Akal
d.
Memelihara Keturunan
e.
Memelihara Kekeyaan.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili Wahbah, tth, Al-Dharuurah Al-Syar’iyyah, Muasasah
al-Risalah, Damaskus M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan
Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993 : 73
H. Mohammad Daud Ali, 1993, Hukum
Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Khallaf Abdu al-Wahab,
1968, Ilmu Ushul Fiqh, Dar
al-Kuwaitiyah
Praja Juhaya S., 1995, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba,
Bandung.
Qardhawi Yusuf, 1993, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi
Nansyuduhu,Maktabah Wahbah, Kairo
Suryadi,
1980, Kamus Baru Bahasa Indonesia,
Usaha Nasional, Surabaya
Zahrah Abu, 1994, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta
KATA PENGANTAR
Untaian kata terindah adalah kata
mutiara yang terangkai dalam kata Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah SWT,
yang maha pemberi hidayah, petunjuk, dan pertolongan kepada siapa pun hambanya
yang dikehendaki. Dan telah menjadikan kita sebagai kholifahnya dengan menjadi
lebih bermanfaat dari yang lain.
Sungguh
besar rahmatMu ya Allah, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah ”Fiqh”
Sholawat
serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada baginda Rasullah SAW sebanyak daun
yang berguguran dan sebanyak tetesan embun di pagi hari. Sanjungan hanya milik
suri tauladan terbaik umat sebanyak butiran pasir dibibir pantainya. Semoga
kelak kita dapat memperoleh syafaatnya saat dahaga tak tertahankan lagi di
hamparan padang yang luas.
Besar
harapan kami semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi sebuah pengetahuan baru bagi kita. Amin…
Penulis
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar