BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era ulama madzhab
ini, Islam sebagai sebuah institusi agama dan masyarakat sebagai pemeluk ajaran
islam yang taat, betul-betul telah berada pada posisi kejayaannya yang sangat gemilang. Tidak saja jaya dari
konteks kekuasaan pemerintahan Islam itu sendiri, tetapi juga jaya dari
perkenbangan dinamis dari ragam latar keilmuan. Dengan begitu kehadiran Imam
madzhab ketika itu betul-betul telah mewarnai corak dan khazanah keilmuan dalam
islam, yang hingga detik ini getaran keilmuannya masih terasa dikalangan
masyarakat Islam secara luas. Tidak hanya terasa dalam artian sebagai objek
yang berefek sebagai fiqih yang dipelajari umat islam di pesantren pada umumnya,
tetapi sebagai objek sekaligus subjek yang senantiasa menginspirasi
gagasan-gagasan metodologi kritis dikalangan masyarakat muslim pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dinamakan madzhab itu?
2. Apa saja faktor-faktor timbulnya madzhab dalam fiqih?
3. Bagaimanakah dalam menyikapi perbedaan diantara madzhab itu?
4. Bagaimana Biografi empat madzhab itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Madzhab
Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat
untuk pergi. Berasal dari kata “ zahaba yazhabu zihaaban” . Mahzab adalah isim
makan dan isim zaman dari akar kata tersebut. Sedangkan secara istilah, mazhab
adalah sebuah metodologi ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum dari
kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang
dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui
pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya
sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di
atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Madzhab fiqih
secara internal adalah otonom. Namun secara eksternal merupakan bagian
dari entitas kehidupan Muslim yang saling tergantung dengan unsur lain dari
entitas itu, sehingga menampakkan suatu kesatuan entitas kehidupan manusia.[1]
Bermadzhab adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu
dengan Salafush Sholeh. Sesuai dengan hadist Nabi. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal
pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat
kesalahan”. (HR. Ahmad)
Oleh karenanya dalam masalah fiqih atau perkara
syariat maka cukupkanlah pada Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang
empat telah diakui oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang
sebagai para ulama yang terbaik dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah atau
diakui berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Selain itu Imam Mazhab yang
empat masih sempat bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush Sholeh yang
meriwayatkan hadits sehingga Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang
patut dijadikan Imam atau pemimpin yang diikuti oleh kaum muslim sampai akhir
zaman.
B. Faktor-faktor Timbulnya Madzhab
Munculnya Imam madzhab ialah setelah
wafatnya para sahabat, yaitu pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah. Menurut
Abdul Wahhab Khallaf, lahirnya mazhab-mazhab fiqih dipengaruhi oleh tiga factor
berikut ini:[2]
1. Perbedaan dalam penentuan sumber-sumber tasyri’
Perbedaan ini terlihat
dalam hal:
a. Perbedaan dalam ke-tsiqah-an terhadap suatu hadits dan perbedaan
pertimbangan yang digunakan dalam men-tarjih (menguatkan) suatu riwayat atas
riwayat yang lain.
Contoh: Mujtahid Iraq,
yakni Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, berhujjah dengan hadits-hadits
mutawatir dan masyhur, serta merajihkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
perawi-perawi terpercaya dari kalangan ahli-ahli fiqh.
b. Perbedaan dalam menilai fatwa-fatwa
sahabat.
Abu Hanifah dan para
pengikutnya berpedoman pada fatwa-fatwa sahabat tersebut secara keseluruhan. Sedangkan
Asy-Syafi’i berpedoman bahwa fatwa-fatwa sahabat tersebut adalah produk ijtihad
yang tidak ma’shum (terpelihara dari kekeliruan). Maka boleh mengambilnya atau
berbeda dengan fatwa-fatwa mereka.
c. Perbedaan dalam masalah qiyas
sebagai tasyri’. Kalangan Syi’ah dan Dhohiriyah tidak membenarkan berhujjah
dengan qiyas, dan tidak mengganggap qiyas sebagai sumber tasyri’. Sedangkan
mayoritas mujtahid berpendapat sebaliknya.
2. Perbedaan dalam pembentukan hukum
Para mujtahid terbagi menjadi 2 kelompok:
a. Ahli Hadits
Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah ulama-ulama Hijaz, mereka
mencurahkan diri untuk menghafal hadits-hadits dan fatwa-fatwa sahabat,
kemudian mengarahkan pembentukan hukum atas dasar pemahaman terhadap
hadits-hadits dan fatwa-fatwa tersebut. Mereka cenderung menjauhi berijtihad
dengan ‘pendapat’ dan tidak menggunakannya kecuali dalam keadaan sangat
darurat.
b. Ahli Ra’yi
Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mujtahid-mujtahid Irak. Mereka
memiliki pandangan yang jauh tentang maksud-maksud syariat. Mereka tidak mau
menjauhi ‘pendapat’ karena pertimbangan keluasan ijtihad, dan mereka menjadikan
‘pendapat’ sebagai lapangan luas dalam sebagian besar pembahasan-pembahasan
yang berkaitan dengan pembentukan hukum.
Akan tetapi pembagian ini tidak berarti bahwa fuqaha Irak tidak menggunakan
hadits dalam pembentukan hukum, dan juga tidak berarti bahwa fuqaha Hijaz tidak
berijtihad dan menggunakan ra’yu. Karena kedua kelompok ini rahimahumullah pada
dasarnya sepakat bahwa hadits adalah hujjah syar’iyyah yang menentukan dan
ijtihad dengan ra’yu, yakni dengan qiyas, adalah juga hujjah syar’iyyah bagi
hal-hal yang tidak ada nashnya.
3. Perbedaan dalam sebagian prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan dalam
memahami nash-nash.
Misalnya fuqaha berbeda pendapat tentang kata ‘quru’ dalam ayat 228 surat
Al-Baqarah: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu tiga kali quru’…”
Kata ‘quru’ adalah lafaz musytarak (mempunyai arti lebih dari satu) yang
bisa berarti suci atau haid. Sebagian ulama Hijaz berpendapat bahwa iddahnya
wanita yang ditalak adalah 3 kali suci. Sedangkan ulama-ulama Irak berpendapat
bahwa iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali haid.
C. Menyikapi Perbedaan Madzhab
Tujuan madzhab sama, namun jalan untuk menuju ke tujuan
beragam. Banyak sebab yang memunculkan perbedaan cara . Pengaruh
lingkungan dan budaya dapat memberikan pengaruh yang besar. Keragaman itu
sudah menampakan dirinya dibidang fiqih dalam berbagai mazhab di antaranya dalam
bentuk mazhab Aba Hanifah , mazhab Hambali , mazhab Maliki , mazhab
Syafi'i dan mazhab lainnya. Ia juga menampakan pada aliran aliran Sufi
yang berbicara dengan bahasa kalbu mengungkapkan perasaan dan nurani manusia ,
berusaha mengabdi kepada Islam. Dengan tujuan membina hati dan ruh
mebersihkannya dan meninggikannya.
Sekalipun mazhab Islam banyak, bukan berarti
umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Sebab,
perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah
akidah, sistem dan politik Islam. Di samping itu, perbedaan tersebut merupakan
keniscayaan faktual dan syar‘i. Perbedaan di antara Imam Mazhab bukanlah
perselisihan namun perbedaan yang dapat diterima atau disebut furuiyyah
(cabang) dan kaum muslim dapat memlih di antara empat pilihan tersebut.
Hendaknya ukuran standar
Ahlussunnah Waljamaah menjadi penentu terhadap apa yang kita ambil dan kita
buang dalam membuat konstruksi dan solusi baru. Setiap mazhab mengandung
sisi kebenaran . Kita keliru kalau mengabaikan bahwa Allah SWT telah
menciptakan manusia dengan aliran yang berbeda beda. Sangat keliru kalau kita
berusaha membendung dan melenyapkan perbedaan perbedaan tersebut yang artinya
melenyapkan fitrah yang Allah gariskan atas manusia. Masing-masing harus
berusaha menyebarkan cahaya yang di bawa Al Qur'an dan bidangnya tanpa
mengerahkan tenaganya untuk berkonflik dengan pihak lain . Jika memang tidak bisa
sepakat dengan pihak lainnya, Setidaknya jangan memicu konflik. Setiap Muslim
harus menghindari konflik dan permusuhan dengan kaum Muslim serta tidak mencela
dan menggunjing mereka. Kita harus belajar memuji setiap amal baiknya dan
membantu orang yang berzikir kepada Allah SWT . Dengan bantuan Allah SWT kita
dapat mengharapkan terbangunnya kerja sama , persatuan Dan keharmonisan di
antara umat Islam.
Secara faktual, potensi intelektual yang diberikan
oleh Allah kepada masing-masing orang jelas berbeda. Dengan perbedaan potensi
intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa menarik kesimpulan yang sama
ketika berhadapan dengan nas-nas syariah. Belum lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb)
al-Quran dan Hadis Nabi yang no berbahasa Arab mempunyai potensi
multiinterpretasi (ta’wîl), baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya.
Adapun secara syar‘i, dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya,
nas-nas syariah tersebut ada yang qath‘i, seperti al-Quran dan Hadis
Mutawatir, dan ada yang zhanni, seperti Hadis Ahad. Untuk konteks dalil qath‘i
tentu tidak ada perbedaan terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen
(istidlâl). Namun, tidak demikian dengan sumber yang zhanni.
Karena itulah, bisa disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang
melahirkan ragam mazhab itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak
berarti, bahwa keniscayaan tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Demikian
halnya, potensi nash-nash syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak
berarti bebas dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak ini akan
membawa kekacauan. Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski
Islam juga tidak menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan
faktual dan syar‘i tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah
hukum yang bisa langsung diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan
individual dan kelompok secara simultan. Berikut beberapa cara untuk menyikapi
sebuah perbedaan:
1.
Membekali diri
dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara
proporsional.
2.
Memfokuskan dan
lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar
ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil
3.
Memahami
ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat
Allah bagi ummat.
4.
Menyikapi orang
lain, kelompok lain atau penganut madzhab lain dengan baik.
5.
Masing-masing berhak untuk mengikuti dan mengamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut
pilihannya.
6.
Terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan . umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan
bertoleransi.
7.
Tetap
mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati
atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan.
D.
Biografi
Empat Imam Madzhab Fiqih
Mazhab yang
terus berkembang hingga sekarang dan masih banyak diikuti umat Islam hanya
empat mazhab, yaitu:
1. Madzhab Hanafi
Madzhab ini adalah an-Nu’man bin Tsabit bin
Zuhdi, dan lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau lahir di Kufah tahun
80 H dan wafat tahun 150 H. Ayahnya seorang pedagang sutra asli persia yang
masuk islam pada masa khulafaur rasyidin. Pengalaman keilmuannya diawali dari
studi filsafi dan dialektika. Setelah menguasai bidang ini, beliau mendalami
fiqih dan hadits. Guru utamanya adalah Imam Hammad bin Zaid selama 18 tahun. Madzhab
Hanafi juga diposisikan sebagai madzhab perintis dan pemula dari madzhab-madzhab
lainnya, yaitu madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali.[3]
Ketika gurunya wafat, beliau menggantikan
posisinya. Karena kedalaman ilmunya dan kemuliaan karakter pribadinya, para
khalifah Bani Umayyah sangat menghormatinya. Imam Abu Hanifah digolongkan sebagai
tabiin kecil, yaitu murid sahabat karena karena telah bertemu dengan beberapa
sahabat dan meriwayatkan sejumlah hadist dari mereka. Adapun sumber-sumber
hukumnya ialah: Alqur’an, Sunnah, Ijma’ sahabat, Qiyas, Istihsan dan Urf. [4]
2.
Madzhab
Maliki
Pendiri Madzhab
ini adalah Imam Malik bin Anas al-Asybahi al-Arabi. Beliau lahir pada tahun 93
H (713 M). Kakeknya yang bernama Amir merupakan kalangan sahabat di Madinah.
Beliau wafat pada tahun 801 M dalam usia 83tahun. Dibawah didikan Az-zuhri
beliau mulai belajar ilmu Hadits. Sedangkan dalam bidang hukum islam beliau
belajar kepada Nafi’ Maula Ibn Umar dan Yahya bin Sa’id al-Anshari. Karya
monumental beliau dalam bidang hadist adalah al-muwattha’.
Adapun beberapa
sumber hukum madzhab Maliki ialah: Al-qur’an, Sunnah, Praktek masyarakat
madinah, Ijma’ sahabat, pendapat individu Sahabat, Qiyas, Tradisi Masyarakat
Madinah, Istislah, dan Urf.[5]
3.
Madzhab
Syafi’i
Pendiri Madzhab
ini adalah Muhammad bin Idris as-Syafi’i. Beliau lahir di kota kecil Ghazzah
dikawasan Mediterania (Syam) pada tahun 769 M. Menginjak usia remaja beliau
belajar fiqih dan hadis kepada Imam Malik. Imam Syafi’i sanggup menghafal
secara sempurna kitab Imam Malik al-Muwattha’. Masa belajar kepada Imam Malik
berhenti ketika di ulama besar ini wafat
pada tahun 801 M.
Setelah gurunya
wafat, syafi’i berangkat ke yaman dan mengajar disana. Setelah dirasa cukup,
beliau kemudian pindah ke Mesir dengan tujuan untuk belajar kepada Imam laits.
Beliau tinggal di Mesir sampai wafatnya pada tahun 820. Adapun dasar-dasar
madzhabnya ialah: Al-qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan Istishab.[6]
4.
Madzhab
Hanbali
Pendiri Madzhab
ini adalah Imam Ahmad Ibn Hanbal as-Syaibani. Beliau lahir di Baghdad pada 778
M dari keluarga Arab asli dan meninggal pada hari Jumat tanggal 12 Rabiul Awal
tahun 241 H. Nasabnya bertemu dengan
Nabi Muhammad pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Ayahnya telah meninggal ketika
dia masih kecil. Ia kemudian diasuh ibunya. Ahmad bin Hanbal telah hafal
al-Qur’an pada usia yang masih muda. Beliau termasuk salah satu diantara ulama
yang terkenal kuat daya hafalnya dan seorang perawi hadits terkemuka pada
masanya. Imam hanbali belajar hadits dan fiqih kepada Imam Abu yusuf, murid Abu
Hanifah, dan kepada Imam Syafi’i. Adapun sumber-sumber hukum yang dipakai
ialah: Al-qur’an, Sunnah, Ijma’ Sahabat,
Hadits-hadits mursal dan dha’if, Istihsan, Sadd al-dara’i, Istihsab,
Ibthal al-ja’l, Maslahah mursalah.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan
oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau mengisthinbatkan hukum Islam.
Madzhab yang paling dikenal atau dipakai hingga sekarang yaitu empat madzhab;
Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali. Yang
menjadi faktor munculnya madzhab-madzhab tersebut diantaranya: Perbedaan dalam penentuan sumber-sumber tasyri’, Perbedaan dalam
pembentukan hukum, dan Perbedaan dalam sebagian prinsip-prinsip bahasa yang
diterapkan dalam memahami nash-nash.
Sekalipun madzhab Islam
banyak, bukan berarti umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan. Akan tetapi, itu
merupakan suatu keniscayaan.Sebab, perbedaan mazhab tersebut tetap tidak
mengeluarkan umat Islam dari ranah Islam itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid
Sulaiman. 1994. Fiqih Islam. Jakarta: Sinar Baru Algensido: Jakarta.
Roibin. 2010. Penetapan
Hukum Islam. Malang: UIN Maliki Press.
Hasan Cik Bisri. 2003. Model Penelitian
Fiqih. Bogor: KENCANA.
Naim Ngainun.
2006. Sejarah Pemikiran Hukum Islam. Surabaya: Elkaf.
http://harakatuna.wordpress.com/2008/09/17/lahirnya-mazhab-mazhab-fiqh/
[1]
Cik Hasan Bisri. Model Penelitian Fiqih. (Bogor: Kencana,2003) Hal: 237.
[2]http://harakatuna.wordpress.com/2008/09/17/lahirnya-mazhab-mazhab-fiqh/
[3]Roibin.
Penetapan Hukum Islam. Malang: UIN Maliki Press. Hal: 71
[4]Ngainun
Naim. Sejarah Pemikiran Hukum Islam. Surabaya: Elkaf. Hal:75
[5]Ibid:
77-78
[6]Ibid:
79-80
[7]Sulaiman
Rasjid. Fiqih Islam. Jakarta:
Sinar Baru Algensindo. 1994. Hal:71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar