Selasa, 23 April 2013

RAGAM MADZHAB DALAM FIQIH


BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada era ulama madzhab ini, Islam sebagai sebuah institusi agama dan masyarakat sebagai pemeluk ajaran islam yang taat, betul-betul telah berada pada posisi kejayaannya  yang sangat gemilang. Tidak saja jaya dari konteks kekuasaan pemerintahan Islam itu sendiri, tetapi juga jaya dari perkenbangan dinamis dari ragam latar keilmuan. Dengan begitu kehadiran Imam madzhab ketika itu betul-betul telah mewarnai corak dan khazanah keilmuan dalam islam, yang hingga detik ini getaran keilmuannya masih terasa dikalangan masyarakat Islam secara luas. Tidak hanya terasa dalam artian sebagai objek yang berefek sebagai fiqih yang dipelajari umat islam di pesantren pada umumnya, tetapi sebagai objek sekaligus subjek yang senantiasa menginspirasi gagasan-gagasan metodologi kritis dikalangan masyarakat muslim pada umumnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dinamakan madzhab itu?
2.      Apa saja faktor-faktor timbulnya madzhab dalam fiqih?
3.      Bagaimanakah dalam menyikapi perbedaan diantara madzhab itu?
4.      Bagaimana Biografi empat madzhab itu?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Madzhab
Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata “ zahaba yazhabu zihaaban” . Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut. Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Madzhab fiqih  secara internal adalah otonom. Namun secara eksternal merupakan bagian dari entitas kehidupan Muslim yang saling tergantung dengan unsur lain dari entitas itu, sehingga menampakkan suatu kesatuan entitas kehidupan manusia.[1] Bermadzhab adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Salafush Sholeh. Sesuai dengan hadist Nabi. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Oleh karenanya dalam masalah fiqih atau perkara syariat maka cukupkanlah pada Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat telah diakui oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang terbaik dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah atau diakui berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Selain itu Imam Mazhab yang empat masih sempat bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush Sholeh yang meriwayatkan hadits sehingga Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang patut dijadikan Imam atau pemimpin yang diikuti oleh kaum muslim sampai akhir zaman.

B.     Faktor-faktor Timbulnya Madzhab

Munculnya Imam madzhab  ialah setelah wafatnya para sahabat, yaitu pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, lahirnya mazhab-mazhab fiqih dipengaruhi oleh tiga factor berikut ini:[2]

1.      Perbedaan dalam penentuan sumber-sumber tasyri’
Perbedaan ini terlihat dalam hal:
a.       Perbedaan dalam ke-tsiqah-an terhadap suatu hadits dan perbedaan pertimbangan yang digunakan dalam men-tarjih (menguatkan) suatu riwayat atas riwayat yang lain.
Contoh: Mujtahid Iraq, yakni Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, berhujjah dengan hadits-hadits mutawatir dan masyhur, serta merajihkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi terpercaya dari kalangan ahli-ahli fiqh.
b.       Perbedaan dalam menilai fatwa-fatwa sahabat.
Abu Hanifah dan para pengikutnya berpedoman pada fatwa-fatwa sahabat tersebut secara keseluruhan. Sedangkan Asy-Syafi’i berpedoman bahwa fatwa-fatwa sahabat tersebut adalah produk ijtihad yang tidak ma’shum (terpelihara dari kekeliruan). Maka boleh mengambilnya atau berbeda dengan fatwa-fatwa mereka.
c.        Perbedaan dalam masalah qiyas sebagai tasyri’. Kalangan Syi’ah dan Dhohiriyah tidak membenarkan berhujjah dengan qiyas, dan tidak mengganggap qiyas sebagai sumber tasyri’. Sedangkan mayoritas mujtahid berpendapat sebaliknya.

2.      Perbedaan dalam pembentukan hukum
Para mujtahid terbagi menjadi 2 kelompok:
a.       Ahli Hadits
Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah ulama-ulama Hijaz, mereka mencurahkan diri untuk menghafal hadits-hadits dan fatwa-fatwa sahabat, kemudian mengarahkan pembentukan hukum atas dasar pemahaman terhadap hadits-hadits dan fatwa-fatwa tersebut. Mereka cenderung menjauhi berijtihad dengan ‘pendapat’ dan tidak menggunakannya kecuali dalam keadaan sangat darurat.
b.      Ahli Ra’yi
Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mujtahid-mujtahid Irak. Mereka memiliki pandangan yang jauh tentang maksud-maksud syariat. Mereka tidak mau menjauhi ‘pendapat’ karena pertimbangan keluasan ijtihad, dan mereka menjadikan ‘pendapat’ sebagai lapangan luas dalam sebagian besar pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan pembentukan hukum.
Akan tetapi pembagian ini tidak berarti bahwa fuqaha Irak tidak menggunakan hadits dalam pembentukan hukum, dan juga tidak berarti bahwa fuqaha Hijaz tidak berijtihad dan menggunakan ra’yu. Karena kedua kelompok ini rahimahumullah pada dasarnya sepakat bahwa hadits adalah hujjah syar’iyyah yang menentukan dan ijtihad dengan ra’yu, yakni dengan qiyas, adalah juga hujjah syar’iyyah bagi hal-hal yang tidak ada nashnya.

3.      Perbedaan dalam sebagian prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan dalam memahami nash-nash.
Misalnya fuqaha berbeda pendapat tentang kata ‘quru’ dalam ayat 228 surat Al-Baqarah: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu tiga kali quru’…”
Kata ‘quru’ adalah lafaz musytarak (mempunyai arti lebih dari satu) yang bisa berarti suci atau haid. Sebagian ulama Hijaz berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditalak adalah 3 kali suci. Sedangkan ulama-ulama Irak berpendapat bahwa iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali haid.

C.    Menyikapi Perbedaan Madzhab
Tujuan madzhab sama,  namun jalan untuk menuju ke tujuan beragam.  Banyak sebab yang memunculkan perbedaan cara . Pengaruh lingkungan dan budaya dapat memberikan pengaruh yang besar.  Keragaman itu sudah menampakan dirinya dibidang fiqih dalam berbagai mazhab di antaranya dalam bentuk mazhab Aba Hanifah , mazhab Hambali ,  mazhab Maliki , mazhab Syafi'i  dan mazhab lainnya. Ia juga menampakan pada aliran aliran Sufi yang berbicara dengan bahasa kalbu mengungkapkan perasaan dan nurani manusia , berusaha mengabdi kepada Islam. Dengan tujuan membina hati dan ruh mebersihkannya dan meninggikannya.
Sekalipun mazhab Islam banyak, bukan berarti umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Sebab, perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah akidah, sistem dan politik Islam. Di samping itu, perbedaan tersebut merupakan keniscayaan faktual dan syar‘i. Perbedaan di antara Imam Mazhab bukanlah perselisihan namun perbedaan yang dapat diterima atau disebut furuiyyah (cabang) dan kaum muslim dapat memlih di antara empat pilihan tersebut.
 Hendaknya ukuran standar Ahlussunnah Waljamaah menjadi penentu terhadap apa yang kita ambil dan kita buang dalam membuat konstruksi dan solusi baru.  Setiap mazhab mengandung sisi kebenaran . Kita keliru kalau mengabaikan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dengan aliran yang berbeda beda. Sangat keliru kalau kita berusaha membendung dan melenyapkan perbedaan perbedaan tersebut yang artinya melenyapkan fitrah yang Allah gariskan atas manusia.  Masing-masing harus berusaha menyebarkan cahaya yang di bawa Al Qur'an  dan bidangnya tanpa mengerahkan tenaganya untuk berkonflik dengan pihak lain . Jika memang tidak bisa sepakat dengan pihak lainnya, Setidaknya jangan memicu konflik. Setiap Muslim harus menghindari konflik dan permusuhan dengan kaum Muslim serta tidak mencela dan menggunjing mereka. Kita harus belajar memuji setiap amal baiknya dan membantu orang yang berzikir kepada Allah SWT . Dengan bantuan Allah SWT kita dapat mengharapkan terbangunnya kerja sama , persatuan Dan keharmonisan di antara umat Islam.                                       
Secara faktual, potensi intelektual yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing orang jelas berbeda. Dengan perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas syariah. Belum lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Quran dan Hadis Nabi yang no berbahasa Arab mempunyai potensi multiinterpretasi (ta’wîl), baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya. Adapun secara syar‘i, dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya, nas-nas syariah tersebut ada yang qath‘i, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir, dan ada yang zhanni, seperti Hadis Ahad. Untuk konteks dalil qath‘i tentu tidak ada perbedaan terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlâl). Namun, tidak demikian dengan sumber yang zhanni.
Karena itulah, bisa disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan ragam mazhab itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti, bahwa keniscayaan tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Demikian halnya, potensi nash-nash syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti bebas dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak ini akan membawa kekacauan. Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam juga tidak menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan faktual dan syar‘i tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang bisa langsung diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual dan kelompok secara simultan. Berikut beberapa cara untuk menyikapi sebuah perbedaan:
1.                         Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional.
2.                         Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil
3.                         Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat.
4.                         Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut madzhab lain dengan baik.
5.                         Masing-masing berhak untuk mengikuti dan mengamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya.
6.                         Terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan . umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi.
7.                         Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan.



D.    Biografi Empat Imam Madzhab Fiqih
Mazhab yang terus berkembang hingga sekarang dan masih banyak diikuti umat Islam hanya empat mazhab, yaitu:
1.      Madzhab Hanafi
 Madzhab ini adalah an-Nu’man bin Tsabit bin Zuhdi, dan lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau lahir di Kufah tahun 80 H dan wafat tahun 150 H. Ayahnya seorang pedagang sutra asli persia yang masuk islam pada masa khulafaur rasyidin. Pengalaman keilmuannya diawali dari studi filsafi dan dialektika. Setelah menguasai bidang ini, beliau mendalami fiqih dan hadits. Guru utamanya adalah Imam Hammad bin Zaid selama 18 tahun. Madzhab Hanafi juga diposisikan sebagai madzhab perintis dan pemula dari madzhab-madzhab lainnya, yaitu madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali.[3]
 Ketika gurunya wafat, beliau menggantikan posisinya. Karena kedalaman ilmunya dan kemuliaan karakter pribadinya, para khalifah Bani Umayyah sangat menghormatinya. Imam Abu Hanifah digolongkan sebagai tabiin kecil, yaitu murid sahabat karena karena telah bertemu dengan beberapa sahabat dan meriwayatkan sejumlah hadist dari mereka. Adapun sumber-sumber hukumnya ialah: Alqur’an, Sunnah, Ijma’ sahabat, Qiyas, Istihsan dan Urf. [4]

2.      Madzhab Maliki
Pendiri Madzhab ini adalah Imam Malik bin Anas al-Asybahi al-Arabi. Beliau lahir pada tahun 93 H (713 M). Kakeknya yang bernama Amir merupakan kalangan sahabat di Madinah. Beliau wafat pada tahun 801 M dalam usia 83tahun. Dibawah didikan Az-zuhri beliau mulai belajar ilmu Hadits. Sedangkan dalam bidang hukum islam beliau belajar kepada Nafi’ Maula Ibn Umar dan Yahya bin Sa’id al-Anshari. Karya monumental beliau dalam bidang hadist adalah al-muwattha’.
Adapun beberapa sumber hukum madzhab Maliki ialah: Al-qur’an, Sunnah, Praktek masyarakat madinah, Ijma’ sahabat, pendapat individu Sahabat, Qiyas, Tradisi Masyarakat Madinah, Istislah, dan Urf.[5]
3.      Madzhab Syafi’i
Pendiri Madzhab ini adalah Muhammad bin Idris as-Syafi’i. Beliau lahir di kota kecil Ghazzah dikawasan Mediterania (Syam) pada tahun 769 M. Menginjak usia remaja beliau belajar fiqih dan hadis kepada Imam Malik. Imam Syafi’i sanggup menghafal secara sempurna kitab Imam Malik al-Muwattha’. Masa belajar kepada Imam Malik berhenti ketika  di ulama besar ini wafat pada tahun 801 M.
Setelah gurunya wafat, syafi’i berangkat ke yaman dan mengajar disana. Setelah dirasa cukup, beliau kemudian pindah ke Mesir dengan tujuan untuk belajar kepada Imam laits. Beliau tinggal di Mesir sampai wafatnya pada tahun 820. Adapun dasar-dasar madzhabnya ialah: Al-qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan Istishab.[6]

4.      Madzhab Hanbali
Pendiri Madzhab ini adalah Imam Ahmad Ibn Hanbal as-Syaibani. Beliau lahir di Baghdad pada 778 M dari keluarga Arab asli dan meninggal pada hari Jumat tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H.  Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Ayahnya telah meninggal ketika dia masih kecil. Ia kemudian diasuh ibunya. Ahmad bin Hanbal telah hafal al-Qur’an pada usia yang masih muda. Beliau termasuk salah satu diantara ulama yang terkenal kuat daya hafalnya dan seorang perawi hadits terkemuka pada masanya. Imam hanbali belajar hadits dan fiqih kepada Imam Abu yusuf, murid Abu Hanifah, dan kepada Imam Syafi’i. Adapun sumber-sumber hukum yang dipakai ialah: Al-qur’an, Sunnah, Ijma’ Sahabat,  Hadits-hadits mursal dan dha’if, Istihsan, Sadd al-dara’i, Istihsab, Ibthal al-ja’l, Maslahah mursalah.[7]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau mengisthinbatkan hukum Islam. Madzhab yang paling dikenal atau dipakai hingga sekarang yaitu empat madzhab; Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali. Yang menjadi faktor munculnya madzhab-madzhab tersebut diantaranya: Perbedaan dalam penentuan sumber-sumber tasyri’, Perbedaan dalam pembentukan hukum, dan Perbedaan dalam sebagian prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan dalam memahami nash-nash.
Sekalipun madzhab Islam banyak, bukan berarti umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan. Akan tetapi, itu merupakan suatu keniscayaan.Sebab, perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah Islam itu sendiri.













DAFTAR PUSTAKA

Rasjid Sulaiman. 1994. Fiqih Islam. Jakarta: Sinar Baru Algensido: Jakarta.
Roibin. 2010. Penetapan Hukum Islam. Malang: UIN Maliki Press.
 Hasan Cik Bisri. 2003. Model Penelitian Fiqih. Bogor: KENCANA.
Naim Ngainun. 2006. Sejarah Pemikiran Hukum Islam. Surabaya: Elkaf.
http://harakatuna.wordpress.com/2008/09/17/lahirnya-mazhab-mazhab-fiqh/


[1] Cik Hasan Bisri. Model Penelitian Fiqih. (Bogor: Kencana,2003) Hal: 237.
[2]http://harakatuna.wordpress.com/2008/09/17/lahirnya-mazhab-mazhab-fiqh/
[3]Roibin. Penetapan Hukum Islam. Malang: UIN Maliki Press. Hal: 71
[4]Ngainun Naim. Sejarah Pemikiran Hukum Islam. Surabaya: Elkaf. Hal:75
[5]Ibid: 77-78
[6]Ibid: 79-80
[7]Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam.  Jakarta: Sinar Baru Algensindo. 1994. Hal:71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar