Kamis, 25 April 2013

Periodeisasi fiqh II (taqlid dan kebangkitan kembali)


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Kata fiqih bukanlah sebuah kata yang tabu bagi umat muslim pada umumnya. Namun perdebatan tentang fiqih selalu ada dan tak pernah pupus sampai sekarang. Hal tersebut menunjukkan bahwa fiqih adalah sebuah disiplin ilmu yang berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi zaman.
Dalam pembahasan ini, kami ingin kembali ke masa-masa permulaan fiqih untuk melihat bagaimana dia lahir. Kemudian kita mengikuti pertumbuhannya agar kita dapat melihat bagaimana ia berkembang dan cemerlang.
Ketika berbicara masalah tarikh fiqh baik perkembangan maupun kemunduran dalam bidang fiqh, yang jelas hal itu tidak terlepas dengan beberapa tokoh yang berpengaruh dalam kejadian tersebut dan hal – hal lain yang berkenaan dengan kemunduran dan kebangkitan fiqh.
II.  Rumusan Masalah
1.         Penjelasan tentang taqlid?
2.        asal usul serta sejarah kemunculan taqlid?
3.         Hal-hal yang melatarbelakangi kemunculan taqlid di kalangan para fuqaha?
4.     Apa saja yang mepengaruhi perkembangan fiqih ?
5.     Siapa saja tokoh-tokoh yang mempengaruhi kebangkitan kembali fiqih?





BAB II
PEMBAHASAN
PERIODISASI FIQH II  (PERIODE TAQLID DANKEBANGKITAN KEMBALI)
A.    PERIODE TAQLID

1.      Pengertian Taqlid
Taqlid menurut bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir. Sedangkan taqlid secara syara’ adalah melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai hujjah yang kuat. Misalnya orang awam yang mengambil pendapat seorang mujtahid, atau seorang mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain.
2.      Usul Istilah
Periode ini disebut sebagai periode Taqlid karena para fuqoha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta madzhab lain yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’i yang lainnya.
3.      Sejarah Kemunculan Taqlid
Bagi orang yang mengamati perjalanan syariat islam pada fase ini, tentu akan mendapati bahwa jiwa kemandirian sebagian para fuqoha sudah mati dan beralih kepada taklid , tanpa ada semangat untuk mencari terobosan dan kreatifitas baru.
Mereka telah meletakkan diri pada ruang yang sempit ,yaitu ruang madzhab yang tidak boleh dilewati apalagi dilompati, sehingga mereka hanya ikut-ikutan( Taqlid) saja.Walaupun fase ini penuh dengan semangat taqlid, namun sebenarnya masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan mengistinbatkan hukum seperti pendahulu mereka. Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu para ulama mazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan ke-wara’ an mereka sehingga lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah ada. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Al Hasan Al Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd Al Qurthubi dari mazhab Maliki, Al Juwaini Imam Al Haramain dan Al Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i.[1]
Dari penjelasan diatas, dapat kita ketahui bahwa ada sebagian fuqoha yang memiliki kapasitas untuk memahami, beristinbat, dan berijtihad secara mutlak, namun mereka lebih memilih untuk ber-taklid dan mengikat pikiran mereka dengan semua prinsip serta masalah cabang yang ada dalam mazhab.
 Adapun sebab terjadinya taqlid adalah sebagai berikut:
1)      Pembukuan Kitab Mazhab
Dalam pembahasan sebelumnya, kita telah membahas bahwa kebangkitan fiqh Islam telah ditandai dengan telah ditulisnya fiqh Islam serta dijadikan rujukan dalam menjawab semua persoalan yang dihadapi masyarakat sehingga sangat mudah untuk diketahui secara cepat. Sehingga hal tersebut membuat para ulama pada periode ini tidak mempunyai keinginan untuk berijtihad lagi.
2)      Fanatisme Mazhab
Para ulama pada masa ini sibuk dengan menyebarkan ajaran mazhab dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha tertentu. Bahkan sampai kepada tingkat di mana seseorang tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya, seakan keberadaan semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa ulama yang tidak ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari ulama Hanafiyah, bahkan ada yang berani mengatakan,”Setiap ayat yang bertentangan dengan pendapat mazhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau dihapuskan,” termasuk juga hadis Nabi. Inilah bentuk pemikiran yang tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan , yang kemudian menutup mata mereka dari Ijtihad
3)      Jabatan Hakim
Para khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada mereka yang memang mampunyai kemampuan dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta memiliki kemampuan untik berijtihad dan menggali hukum. Dan manhaj para khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan logika yang dekat dengan kebenaran. Namun , ketika kondisi sosial sudah berubah bersama pergeseran waktu, para khalifah lebih mengutamakan para hakim yang hanya bisa bertaqlid, ikut pada mazhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah. Inilah salah satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim harus mengikuti salah satu mazhab dan tidak melangkahinya.
4)      Ditutupnya Pintu Ijtihad
Petaka besar menimpa Fiqih Islam pada periode ini, dimana kesucian ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil Fiqih yang pada akhirnya mereka berbicara tentang agama tanpa Ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriah agar mereka mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek yang negatif terhadap Fiqih Islam sehingga menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya para fuqoha periode ini meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah pendapat ulama gadungan tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang menyingkap aib mereka didepan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan menutup pintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka lakukan , niscaya mereka telah memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan fiqih Islam dan lebih baik dari pada menutup pintu ijtihad sama sekali.

Sejak permulaan abad ke  4 hijriyah / abad ke 10 – 11 M. Ilmu hukum islam mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir pemerintah atau dinasti Abbasiyah. Periode ini disebut taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.[2]
Pada masa ini ahli fiqih hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran ahli sebelumnya. Dan yang dipermasalahkan tidak lagi soal-soal dasar / pokok, tetapi soal-soal kecil yang biasa disebut istilah furu’. Para ahli hukum islam dalam masa ini tidak lagi menggali fiqih dari sumbernya yang asli, namun hanya sekedar mengikuti pendapat yang ada pada madzhabnya masing-masing.
Diantanya faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran pemikiran hukum islam dimasa itu adalah hal-hal berikut :
a.       Kesatuan wilayah islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa Negara baru, baik di eropa, afrika dan asia. Munculnya Negara-negara baru itu membawa ketidak stabilan pilitik yang akhirnya mempengaruhi pemikiran hukum.
b.      Ketidakstabilan politik menyebabkan pula ketidakstabilan kebebasan berfikir, dank arena pada zaman sebelumnya telah terbentuk aliran-aliran pemikiran atau madzhab-madzhab akhirnya para ahli hukum pada periode ini hanya tinggal memilih (ittiba’) atau mengikuti ( taglid) saja pada salah satu diantaranya.
c.       Pecahkan kesatuan pemerintahan itu menyebabkan merosotnya pengendalian perkembangan hukum. Maka muncul orng-orng yang sebenarnya tidak layak untuk berijtihad mengeluarkan berbagai garis hukum dalam bentuk fatwayang membingungkan masyarakat. Kasimpang siuran pendapat seringkali bertentangan, menyebabkan pihak penguasa pemerintahan untuk mengikuti saja pemikiran yang telah ada. Bersama dengan itu pula dikumandangkan pendapat bahwa “pintu ijtihad telah ditutup”.
d.      Timbullah  gejala kelesuan dimana-mana. Karena kelesuan itu para ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang bertanggung jawab. Dan dengan demikian pula perkembangan hukum islam pada periode ini tidak bisa menjawab tantangan-tantangan zamannya.

4.        MASA KEBANGKITAN KEMBALI ILMU FIQIH (ABAD KE 19 SAMPAI SEKARANG)
Setalah mengalami kemunduran. Pemikiran islam bangkit kembali. Muncullah gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali pada al qur’an dan sunnah. Gerakan ini disebut gerakan “safiyah” (permulaan).
Pada abad ke 14 timbul seorang mujtahid besar yang bernama Ibnu Taimiyah dengan muridnya Ibnu Qoyyim Al Jauziah. Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17 oleh Moh. Ibnu Abd Wahab yang dikenal denga gerakan wahabi. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh jamaluddin al afgani terutama dilapangan politik. Dia memakai ayat yang terdapat dalam surat 11 Ayat ini dipakainya untuk menggerakkan kabangkitan umat islam yang umumnya dijajah oleh bangsa barat. Untuk itu ia menggalang persatuan seluruh ummat islam yang dikenal dengan “pan Islamisme”[3]
Paham ibnu taimiyah yang membagi ruang lingkup agama islam kedalam dua bidang besar yakni Ibadah dan Muamalah yang dikembangkan lebih lanjut oleh Muhammad abduh. Selain dari itu ia banyak pula mengemukakan ide-ide dalam bukunya antara lain:
1)      Membarsihkan islam dari pengaruh yang bukan islam
2)      Mengadakan pembaruan dalam sistem pendidika
3)      Merumuskan dan menyatakan kembali ajaran islam menurut alam pikiran modern
4)      Mempertahankan ajaran islam dari pengaruh barat
Dalam bidang hukum  Moh. Abduh tidak terikat pada suatu madzhab yang ada. Karena itu berani mengambil keputusan-keputusan hukum secara besar dengan penuh tanggung jawab. Mengenai madzhab Abdullah mengatakan bahwa aliran-aliran pikiran yang berbeda dalam suatu masyarakat adalah biasa, namun kefanatikan terhadap salah satu aliran madzhab itulah yang keliru. Ia menyerukan pada ummat islam yang memenuhi syarat berijtihad untuk berusaha mengkaji dan memecahkan berbagai masalah dalam masyarakat dan menolak taklid.
Zaman kebangkitan pemikiran hukum islam berlanjut saampai sekarang dengan sistem baru. Kalau dahulu studi islam hanya pada pemikiran yang terdapat pada salah satu madzhab saja, sekarang diadakan mata kuliyah baru bernama perbandingan madzhab di fakultas-fakultas hukum islam. Dengan cara ini ruang lingkup ajaran masing-masing hukum dapat dilihat secara jelas. Diadakan juga cara-cara baru dalam munulis hukum islam. Kini orang tidak lagi menuliskan tentang hukum islam secara umum, tetapi lebih membicarakan secara khusus. Dengan demikian analisis tentang bidang tertentu menjadi tajam dan mendalam.
Banyak faktor yang menyebabkan perhatian dunia terhadap perkembangan hukum islam antara lain :
·         Negara-negara barat yang gelisah telah menemukan dalam dunia islam sekutu melawan paham komunis.
·         Pandanagn dunia barat kini lebih opjektif terhadap dunia islam, sejarah dan perbedaan-perbedaan agama.
·         Pandangan dengan timur tengah merupakan unsur baru yang mendorong orang-orang  barat mempelajari hukum-hukum islam.
Di dorong oleh apa yang telah dikemukakan di atas dan pentingnya arti hukum islam bagi ilmu pengetahuan di eropa sekarang. Beberapa fakultas hukum prancis mengajarkan hukum islam.
Di Indonesia atas kerja sama MA degang DEPAG telah dikomplikasikan hukum islam mengenai kewarisan, perwakafan dll. Komplikasi ini telah disetujui oleh para ulama pada bulan februari 1988 dan telah diperlakukan bagi umat islam Indonesia yang menjelaskan sengketa di peradilan agama.
A.    Tokoh-Tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih Islam
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Kemudian banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
1.      Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir.Di desa di mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat tanggal lahir anak-anaknya.Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.Muhammad Abduh berpendapat, sebab yang membawa kemunduran fiqih Islam adalah faham jumud yang terdapat dikalangan umat Islam.Karena dipengaruhi faham jumud, umat Islam tidak menghendaki dan menerima perubahan.
Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid.Sikap ulama ini, membuat umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat.Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu.Al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat taklid.
Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal.Menurut pendapatnya Al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi.Allah menunjukan perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada akal.
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat:
.  أفلا يعقلون ,أفلا ينظرون,أفلا يتدبرون
Dan sebagainya, Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.
2.      Syeikh Muhammad As-Sirhindi
Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14 Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh Ahmad.
Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a)      Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b)      Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).
c)      Dia memerangi semua bentuk syirik.
d)     Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e)      Dia menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin Raja Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f)       Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada gelora cinta pada kebaikan.
g)      Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak membiarkan orang-orang jahat berada bersamanya.
3.      Sayyid Ahmad Syahid
Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow.
Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :
a)      Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebih-lebihan.
b)      Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam mengatasi kesulitannya.
c)      Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di zaman Khalifah Yang Empat.
Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.
Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam fase kebangkitan ini. Di Mesir, ada Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida dan para murid dari Muhammad Abduh. Di Turki, ada Sultan Mahmud II dan Mutafa Kemal. Di India-Pakistan, ada Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.Para ulama – ulama tersebut merupakan pelopor gerakan pembaharuan. Gerakan ini menyerukan kepada kebangunan kaum muslimin, pengembangan ilmu – ilmu islam, meninggalkan taqlid buta dan bid’ah, dan kembali pada ajaran Al-Qur’an dan As – sunnah dan mengikuti metode ulama syalafiyin, seperti: sahabat dan ulama – ulama sebelum masa kemunduran.













BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dari beberapa Keterangan diatas dapat di simpulkan beberapa kesimpulan yakni:
ü  Taqlid menurut bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir. Sedangkan taqlid secara syara’ adalah melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai hujjah yang kuat.
ü  sebab terjadinya taqlid:
·         Pembukuan Kitab Mazhab
·         Fanatisme Mazhab
·         Jabatan Hakim
·         Ditutupnya Pintu Ijtihad
ü Setalah mengalami kemunduran. Pemikiran islam bangkit kembali. Muncullah gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali pada al qur’an dan sunnah. Gerakan ini disebut gerakan “safiyah” (permulaan).
ü Banyak faktor yang menyebabkan perhatian dunia terhadap perkembangan hukum islam antara lain :
·         Negara-negara barat yang gelisah telah menemukan dalam dunia islam sekutu melawan paham komunis.
·         Pandanagn dunia barat kini lebih opjektif terhadap dunia islam, sejarah dan perbedaan-perbedaan agama.
·           Pandangan dengan timur tengah merupakan unsur baru yang mendorong orang-orang  barat mempelajari hukum-hukum islam.


Daftar Pustaka
Ali, M. Daud. 2004. Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Hasbi, Muhammad ash Shiddieqy, pengantar ilmu fiqh, (Jakarta : PT Bulan Bintang), 1993
Sjinqithy, A djamaludin, sejarah legislasi islam, ( Surabaya : Al Ikhlas ), 1994
Wahab, Abdul Khallaf, Sejarah Pembentukan & Pembinaan Hukum Islam,terj. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada)
Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 )
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ ( Sejarah Legislasi Hukum Islam




[1] ]Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 ) hal. 89
[2] DR. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ ( Sejarah Legislasi Hukum Islam ),diterjemahkan oleh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A ( Jakarta: Amzah, 2009 ) hal.34
[3] Ibid 198

Tidak ada komentar:

Posting Komentar