BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Kata fiqih bukanlah sebuah kata yang tabu bagi umat
muslim pada umumnya. Namun perdebatan tentang fiqih selalu ada dan tak pernah
pupus sampai sekarang. Hal tersebut menunjukkan bahwa fiqih adalah sebuah
disiplin ilmu yang berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi zaman.
Dalam pembahasan ini, kami ingin kembali ke masa-masa
permulaan fiqih untuk melihat bagaimana dia lahir. Kemudian kita mengikuti
pertumbuhannya agar kita dapat melihat bagaimana ia berkembang dan cemerlang.
Ketika berbicara masalah tarikh fiqh baik perkembangan
maupun kemunduran dalam bidang fiqh, yang jelas hal itu tidak terlepas dengan
beberapa tokoh yang berpengaruh dalam kejadian tersebut dan hal – hal lain yang
berkenaan dengan kemunduran dan kebangkitan fiqh.
II. Rumusan Masalah
1.
Penjelasan tentang taqlid?
2.
asal usul serta sejarah kemunculan taqlid?
3.
Hal-hal yang melatarbelakangi kemunculan
taqlid di kalangan para fuqaha?
4. Apa saja yang
mepengaruhi perkembangan fiqih ?
5. Siapa saja tokoh-tokoh
yang mempengaruhi kebangkitan kembali fiqih?
BAB II
PEMBAHASAN
PERIODISASI
FIQH II (PERIODE TAQLID DANKEBANGKITAN
KEMBALI)
A.
PERIODE TAQLID
1. Pengertian Taqlid
Taqlid menurut bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir. Sedangkan
taqlid secara syara’ adalah melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai
hujjah yang kuat. Misalnya orang awam yang mengambil pendapat seorang mujtahid,
atau seorang mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain.
2.
Usul Istilah
Periode ini
disebut sebagai periode Taqlid karena para fuqoha pada zaman ini tidak dapat
membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah
ada, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta madzhab lain
yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan
ilmu-ilmu syar’i yang lainnya.
3.
Sejarah
Kemunculan Taqlid
Bagi orang
yang mengamati perjalanan syariat islam pada fase ini, tentu akan mendapati
bahwa jiwa kemandirian sebagian para fuqoha sudah mati dan beralih kepada
taklid , tanpa ada semangat untuk mencari terobosan dan kreatifitas baru.
Mereka telah
meletakkan diri pada ruang yang sempit ,yaitu ruang madzhab yang tidak boleh
dilewati apalagi dilompati, sehingga mereka hanya ikut-ikutan( Taqlid) saja.Walaupun
fase ini penuh dengan semangat taqlid, namun sebenarnya masih ada beberapa
ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan mengistinbatkan hukum
seperti pendahulu mereka. Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan
merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu para ulama
mazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan ke-wara’ an mereka sehingga
lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah ada. Diantara
ulama-ulama tersebut adalah Abu Al Hasan Al Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi dari
kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd Al Qurthubi dari mazhab Maliki, Al Juwaini
Imam Al Haramain dan Al Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i.[1]
Dari
penjelasan diatas, dapat kita ketahui bahwa ada sebagian fuqoha yang memiliki
kapasitas untuk memahami, beristinbat, dan berijtihad secara mutlak, namun
mereka lebih memilih untuk ber-taklid dan mengikat pikiran mereka dengan semua
prinsip serta masalah cabang yang ada dalam mazhab.
Adapun sebab terjadinya taqlid adalah sebagai
berikut:
1) Pembukuan
Kitab Mazhab
Dalam
pembahasan sebelumnya, kita telah membahas bahwa kebangkitan fiqh Islam telah
ditandai dengan telah ditulisnya fiqh Islam serta dijadikan rujukan dalam
menjawab semua persoalan yang dihadapi masyarakat sehingga sangat mudah untuk
diketahui secara cepat. Sehingga hal tersebut membuat para ulama pada periode
ini tidak mempunyai keinginan untuk berijtihad lagi.
2) Fanatisme
Mazhab
Para ulama
pada masa ini sibuk dengan menyebarkan ajaran mazhab dan mengajak orang lain
untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha tertentu. Bahkan sampai kepada
tingkat di mana seseorang tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya, seakan
keberadaan semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa ulama yang tidak
ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari ulama Hanafiyah, bahkan ada yang
berani mengatakan,”Setiap ayat yang bertentangan dengan pendapat mazhab kami
maka ayat itu perlu ditakwilkan atau dihapuskan,” termasuk juga hadis Nabi.
Inilah bentuk pemikiran yang tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh
loyalitas kepada imam secara berlebihan , yang kemudian menutup mata mereka
dari Ijtihad
3) Jabatan
Hakim
Para
khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada mereka yang
memang mampunyai kemampuan dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
SAW serta memiliki kemampuan untik berijtihad dan menggali hukum. Dan manhaj
para khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara harus
berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan logika yang dekat dengan
kebenaran. Namun , ketika kondisi sosial sudah berubah bersama pergeseran
waktu, para khalifah lebih mengutamakan para hakim yang hanya bisa bertaqlid,
ikut pada mazhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah. Inilah salah
satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim harus mengikuti
salah satu mazhab dan tidak melangkahinya.
4) Ditutupnya
Pintu Ijtihad
Petaka besar
menimpa Fiqih Islam pada periode ini, dimana kesucian ilmu ternodai,
orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari
pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil Fiqih yang pada akhirnya mereka
berbicara tentang agama tanpa Ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama
untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriah agar mereka
mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan
masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan,
larangan ini telah memberi efek yang negatif terhadap Fiqih Islam sehingga
menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya para fuqoha periode ini meletakkan
beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah pendapat ulama gadungan
tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang menyingkap aib
mereka didepan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk mengikutinya karena
fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan menutup pintu ijtihad.
Andaikan hal ini mereka lakukan , niscaya mereka telah memberikan kontribusi
positif terhadap perkembangan fiqih Islam dan lebih baik dari pada menutup
pintu ijtihad sama sekali.
Sejak permulaan abad ke 4 hijriyah /
abad ke 10 – 11 M. Ilmu hukum islam mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di
akhir pemerintah atau dinasti Abbasiyah. Periode ini disebut
taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru
untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada seperti madzhab Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.[2]
Pada masa ini ahli fiqih hanya membatasi diri
mempelajari pikiran-pikiran ahli sebelumnya. Dan yang dipermasalahkan tidak
lagi soal-soal dasar / pokok, tetapi soal-soal kecil yang biasa disebut istilah
furu’. Para ahli hukum islam dalam masa ini tidak lagi menggali fiqih dari
sumbernya yang asli, namun hanya sekedar mengikuti pendapat yang ada pada
madzhabnya masing-masing.
Diantanya faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran pemikiran hukum islam dimasa itu
adalah hal-hal berikut :
a.
Kesatuan
wilayah islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa Negara baru,
baik di eropa, afrika dan asia. Munculnya Negara-negara baru itu membawa
ketidak stabilan pilitik yang akhirnya mempengaruhi pemikiran hukum.
b.
Ketidakstabilan
politik menyebabkan pula ketidakstabilan kebebasan berfikir, dank arena pada
zaman sebelumnya telah terbentuk aliran-aliran pemikiran atau madzhab-madzhab
akhirnya para ahli hukum pada periode ini hanya tinggal memilih (ittiba’) atau
mengikuti ( taglid) saja pada salah satu diantaranya.
c.
Pecahkan
kesatuan pemerintahan itu menyebabkan merosotnya pengendalian perkembangan
hukum. Maka muncul orng-orng yang sebenarnya tidak layak untuk berijtihad
mengeluarkan berbagai garis hukum dalam bentuk fatwayang membingungkan
masyarakat. Kasimpang siuran pendapat seringkali bertentangan, menyebabkan
pihak penguasa pemerintahan untuk mengikuti saja pemikiran yang telah ada.
Bersama dengan itu pula dikumandangkan pendapat bahwa “pintu ijtihad telah
ditutup”.
d.
Timbullah gejala
kelesuan dimana-mana. Karena kelesuan itu para ahli tidak mampu lagi menghadapi
perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang bertanggung jawab.
Dan dengan demikian pula perkembangan hukum islam pada periode ini tidak bisa
menjawab tantangan-tantangan zamannya.
4.
MASA
KEBANGKITAN KEMBALI ILMU FIQIH (ABAD KE 19 SAMPAI SEKARANG)
Setalah mengalami kemunduran. Pemikiran islam
bangkit kembali. Muncullah gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan
kembali pada al qur’an dan sunnah. Gerakan ini disebut gerakan “safiyah”
(permulaan).
Pada abad ke 14 timbul seorang mujtahid besar
yang bernama Ibnu Taimiyah dengan muridnya Ibnu Qoyyim Al Jauziah. Pola
pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17 oleh Moh. Ibnu Abd Wahab yang
dikenal denga gerakan wahabi. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh jamaluddin al
afgani terutama dilapangan politik. Dia memakai ayat yang terdapat dalam surat
11 Ayat ini dipakainya untuk menggerakkan kabangkitan umat islam yang
umumnya dijajah oleh bangsa barat. Untuk itu ia menggalang persatuan seluruh
ummat islam yang dikenal dengan “pan Islamisme”[3]
Paham ibnu taimiyah yang membagi ruang lingkup
agama islam kedalam dua bidang besar yakni Ibadah dan Muamalah yang dikembangkan
lebih lanjut oleh Muhammad abduh. Selain dari itu ia banyak pula mengemukakan
ide-ide dalam bukunya antara lain:
1)
Membarsihkan
islam dari pengaruh yang bukan islam
2)
Mengadakan
pembaruan dalam sistem
pendidika
3)
Merumuskan
dan menyatakan kembali ajaran islam menurut alam pikiran modern
4)
Mempertahankan
ajaran islam dari pengaruh barat
Dalam bidang hukum Moh. Abduh tidak
terikat pada suatu madzhab yang ada. Karena itu berani mengambil
keputusan-keputusan hukum secara besar dengan penuh tanggung jawab. Mengenai
madzhab Abdullah mengatakan bahwa aliran-aliran pikiran yang berbeda dalam
suatu masyarakat adalah biasa, namun kefanatikan terhadap salah satu aliran
madzhab itulah yang keliru. Ia menyerukan pada ummat islam yang memenuhi syarat
berijtihad untuk berusaha mengkaji dan memecahkan berbagai masalah dalam
masyarakat dan menolak taklid.
Zaman kebangkitan pemikiran hukum islam
berlanjut saampai sekarang dengan sistem baru. Kalau dahulu studi islam hanya
pada pemikiran yang terdapat pada salah satu madzhab saja, sekarang diadakan
mata kuliyah baru bernama perbandingan madzhab di fakultas-fakultas hukum
islam. Dengan cara ini ruang lingkup ajaran masing-masing hukum dapat dilihat
secara jelas. Diadakan juga cara-cara baru dalam munulis hukum islam. Kini orang
tidak lagi menuliskan tentang hukum islam secara umum, tetapi lebih
membicarakan secara khusus. Dengan demikian analisis tentang bidang tertentu
menjadi tajam dan mendalam.
Banyak faktor yang menyebabkan perhatian dunia
terhadap perkembangan hukum islam antara lain :
·
Negara-negara
barat yang gelisah telah menemukan dalam dunia islam sekutu melawan paham
komunis.
·
Pandanagn
dunia barat kini lebih opjektif terhadap dunia islam, sejarah dan
perbedaan-perbedaan agama.
·
Pandangan
dengan timur tengah merupakan unsur baru yang mendorong
orang-orang barat mempelajari hukum-hukum islam.
Di dorong oleh apa yang telah dikemukakan di
atas dan pentingnya arti hukum islam bagi ilmu pengetahuan di eropa sekarang.
Beberapa fakultas hukum prancis mengajarkan hukum islam.
Di Indonesia atas kerja sama MA degang DEPAG
telah dikomplikasikan hukum islam mengenai kewarisan, perwakafan dll.
Komplikasi ini telah disetujui oleh para ulama pada bulan februari 1988 dan
telah diperlakukan bagi umat islam Indonesia yang menjelaskan sengketa di
peradilan agama.
A.
Tokoh-Tokoh
Kebangkitan Kembali Fiqih Islam
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14
telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar
dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan
muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Kemudian banyak tokoh-tokoh yang
mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad
dan menolak taqlid, diantaranya :
1.
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir.Di
desa di mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah
orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat tanggal lahir
anak-anaknya.Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.Muhammad
Abduh berpendapat, sebab yang membawa kemunduran fiqih Islam adalah faham jumud
yang terdapat dikalangan umat Islam.Karena dipengaruhi faham jumud, umat Islam
tidak menghendaki dan menerima perubahan.
Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan
bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada
dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras mengkritik
ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid.Sikap ulama ini, membuat umat Islam
berhenti berpikir dan akal mereka berkarat.Sikap umat Islam yang berpegang
teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan sikap umat
Islam dahulu.Al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat taklid.
Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan
taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal.Menurut
pendapatnya Al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga
kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi.Allah
menunjukan perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada akal.
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat:
. أفلا يعقلون ,أفلا ينظرون,أفلا يتدبرون
Dan sebagainya, Oleh sebab itu Islam baginya adalah
agama yang rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar
Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban
suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan
memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang
menimbulkan ilmu pengetahuan.
2.
Syeikh Muhammad
As-Sirhindi
Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya
bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14
Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M di kota Sirhind di
negeri India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh Ahmad.
Syeikh Ahmad
mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a) Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada
umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b)
Dia mengkritik
pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari
para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan
Tuhan).
c)
Dia memerangi
semua bentuk syirik.
d)
Dia mengajak manusia
pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak
umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e)
Dia menentang
kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin Raja Akbar
dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f)
Dia
memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada
gelora cinta pada kebaikan.
g)
Imam As-Sirhindi
mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak membiarkan orang-orang
jahat berada bersamanya.
3.
Sayyid Ahmad
Syahid
Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang
terletak di dekat Lucknow.
Ajaran Sayyid
Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :
a) Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa
perantara dan tanpa upacara yang berlebih-lebihan.
b)
Kepada makhluk
tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan lain-lain
tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam mengatasi
kesulitannya.
c)
Sunnah (tradisi)
yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di zaman Khalifah Yang
Empat.
Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada
pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena
itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia
sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu
ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.
Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh yang berpengaruh
dalam fase kebangkitan ini. Di Mesir, ada Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi,
Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida dan para murid dari Muhammad Abduh. Di
Turki, ada Sultan Mahmud II dan Mutafa Kemal. Di India-Pakistan, ada Sayyid A.
Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.Para ulama –
ulama tersebut merupakan pelopor gerakan pembaharuan. Gerakan ini menyerukan
kepada kebangunan kaum muslimin, pengembangan ilmu – ilmu islam, meninggalkan
taqlid buta dan bid’ah, dan kembali pada ajaran Al-Qur’an dan As – sunnah dan
mengikuti metode ulama syalafiyin, seperti: sahabat dan ulama – ulama sebelum
masa kemunduran.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari beberapa
Keterangan diatas dapat di simpulkan beberapa kesimpulan yakni:
ü Taqlid menurut bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir. Sedangkan
taqlid secara syara’ adalah melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai
hujjah yang kuat.
ü sebab
terjadinya taqlid:
·
Pembukuan Kitab Mazhab
·
Fanatisme Mazhab
·
Jabatan Hakim
·
Ditutupnya Pintu Ijtihad
ü Setalah mengalami kemunduran. Pemikiran islam bangkit kembali. Muncullah
gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali pada al qur’an dan
sunnah. Gerakan ini disebut gerakan “safiyah” (permulaan).
ü Banyak faktor yang menyebabkan perhatian dunia terhadap perkembangan hukum
islam antara lain :
·
Negara-negara
barat yang gelisah telah menemukan dalam dunia islam sekutu melawan paham
komunis.
·
Pandanagn
dunia barat kini lebih opjektif terhadap dunia islam, sejarah dan
perbedaan-perbedaan agama.
·
Pandangan
dengan timur tengah merupakan unsur baru yang mendorong orang-orang barat
mempelajari hukum-hukum islam.
Daftar
Pustaka
Ali, M.
Daud. 2004. Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Hasbi, Muhammad ash
Shiddieqy, pengantar ilmu fiqh, (Jakarta : PT Bulan Bintang), 1993
Sjinqithy, A
djamaludin, sejarah legislasi islam, ( Surabaya : Al Ikhlas ), 1994
Wahab, Abdul
Khallaf, Sejarah Pembentukan & Pembinaan Hukum Islam,terj.
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada)
Prof. Dr. H. Suparman
Usman, S.H, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 )
Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’ ( Sejarah Legislasi Hukum Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar