BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Islam dalam penyebarannya ke Indonesia khususnya ke
Jawa, tidak begitu saja, tetapi ini melalui jalan-jalan yang sangat sulit
sekali. Para wali khususnya Sunan Kalijaga menempuh jalan memasukkan ajaran
Islam kepada rakyat di tanah Jawa antara lain:
a.
Ajaran agama itu
diperkenalkan kepada rakyat dengan cara memasukkan sedikit-demi sedikit, agar
masyarakat tidak kaget atau tidak menolak.
b.
Mengawinkan
ajaran-ajaran agama Islam dengan kepercayaan Hindu Budha
Disamping kedua cara tersebut di atas, sebenarnya
masih banyak lagi hal-hal atau pun cara-cara yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga.
Untuk lebih jelas mengenai cara-cara atau pun hal-hal
yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam, saya akan mencoba
untuk mengupasnya lebih dalam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Kehidupan dan Silsilah Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1455. Beliau
diberi nama Raden Mas Said atau yang bergelar “Sunan Kalijaga” yang merupakan
putra dari Ki Tumenggung Wilatikta yaitu Bupati Tuban. Dan ada pula yang
mengatakan bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sahur Tumenggung
Wilatikta. Selain mempunyai anak Sunan Kalijaga, beliau juga mempunyai putri
yang bernama Dewi Roso Wulan. Berdasarkan satu
versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering
berendam di sungai (kali), atau jaga
kali.
Saat Sunan Kalijaga masih kecil, beliau sudah
merasakan dan melihat lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan
rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada ayahnya
mengenai hal tersebut, yang dijawab oleh ayahnya bahwa itu adalah untuk
kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi
pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi
pencuri untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan membagikan kepada
rakyat yang membutuhkan. Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 kali
ditangannya dan disekap beberapa hari oleh ayahnya, yang kemudian ia pergi
tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan, demi rakyat
jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia di usir oleh ayahnya dari
Kadipaten. Akhirnya ia pun pergi, tinggal di hutan Jadiwangi dan menjadi
perampok orang-orang kaya dan berjuluk Brandal Lokajaya. Selain gelar tersebut
sebenarnya Sunan Kalijaga juga mempunyai nama-nama lain seperti R. Abdurrahman,
Syeh Malaya, Pangeran Tuban serta Jogoboyo.
Pada suatu hari di dalam hutan Jadiwangi itu Sunan
Bonang sedang lewat, kemudian ia dihadang dan hendak dirampok. Sunan Bonang
berkata pada Sunan Kalijaga, “kelak, kalau ada orang lewat disini, memakai
pakaian serba hitam, serta berselendang bunga wora-wari merah, ini sebaiknya
rampoklah”. Raden Said menuruti, Sunan Bonang dibebaskan. Kira-kira tiga hari
kemudian orang yang ditunggu-tunggu lewat di tempat itu. Raden Said siap
menghadang orang itu. Pakaiannya serba hitam, berselendang bunga wora-wari
merah. Setelah dihentikan oleh Raden Said, Sunan Bonang berubah menjadi empat.
Raden Said ketakutan melihat kejadian itu dan berjanji pada Sunan Bonang untuk
mengakhiri perbuatan nistanya itu. Kemudian ia bertapa dua tahun, karena beliau
taat pada Sunan Bonang. Setelah bertapa Raden Said pindah ke Cirebon. Disitu
beliau bertapa lagi di pinggir kali, bernama Kalijaga. Dari sinilah sejarahnya
kenapa beliau bergelar “Sunan Kalijaga”. Lama kelamaan kemudian beliau diambil
ipar oleh Sunan Gunung Jati.[1]
Beliau menikah dengan dewi Sarokah dan mempunyai 5
(lima) anak, yaitu:
1.
Kanjeng Ratu
Pembayun yang menjadi istri Raden Trenggono (Demak)
2.
Nyai Ageng
Penenggak yang kemudian kawin dengan Kyai Ageng Pakar
3.
Sunan Hadi (yang
menjadi panembahan kali) menggantikan Sunan Kaijaga sebagai kepala Perdikan
Kadilangu.
4.
Raden
Abdurrahman
5.
Nyai Ageng
Ngerang.
Dalam suatu cerita dikatakan bahwa Sunan Kalijaga
pernah juga menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga
mempunyai tiga orang putra, masing-masing ialah:
1.
Raden Umar Said
(Sunan Muria)
2.
Dewi Ruqoyah
3.
Dewi Sofiyah[2]
Nama Kalijaga menurut setengah riwayat, dikatakan
berasal dari rangkaian bahasa Arab “Qadli Zaka”, Qadli artinya pelaksana,
penghulu: sedangkan Zaka artinya membersihkan. Jadi Qadlizaka atau yang
kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu
artinya adalah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian)
dan kebenaran agama Islam.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih
dari 100 tahun. Dengan demikian, ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit
(berakhir 1479), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga
kerajaan panjang yang lahir pada 1541 serta awal kehadiran kerajaan Mataram di
bawah pimpinan Panembahan Senopati.
Pada umumnya para Walisongo namanya menjadi terkenal
dengan tempat dimana wali itu dimakamkan. Tidak demikian halnya dengan Sunan
Kalijaga yang makamnya berada di Kadilangu, tetapi namanya tetap terkenal
dengan sebutan “Sunan Kalijaga”. [3]
B. Asal Usul
dan Karya-Karya Sunan Kalijaga
Menurut
cerita, Sebelum menjadi Walisongo,
Raden Said adalah seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang
penyimpanan Hasil Bumi. Dan hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada
orang-orang yang miskin. Suatu hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia
melihat seseorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang.
Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu.
Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi,
Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati Raden Said bahwa Allah tidak
akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas
dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, maka
ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden
Said ingin menjadi murid Sunan Bonang. Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke
Sungai. Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu
menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan
ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum
Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut. Karena
itu,ia menjadi tertidur dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa
disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan
Bonang datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya
yang ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga.
Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang.
Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Dalam
dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf"
bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia
sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh
jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap:
mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran
Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni
ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa
lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul
Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan,
garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk
Dadi Ratu ("Petruk Jadi
Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin
serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga
C. Peran Sunan
Kalijaga dalam Penyebaran Islam
Pada saat giat-giatnya para Walisongo berjuang
menyiarkan agama Islam, maka Sunan Kalijaga yang termasuk di dalamnya tidak
ketinggalan untuk bangkit memperjuangkan syiar dan tegaknya agama Islam,
khususnya di tanah Jawa. Beliau termasuk kalangan mereka para wali yang masih
muda, tetapi mempunyai kemampuan yang luar biasa, baik kecerdasan dan ilmu-ilmu
yang dimiliki, maupun kondisi umur dan tenaga yang masih muda bila dibandingkan
dengan yang lainnya.
Ternyata Sunan Kalijaga di dalam gerak perjuangannya
tidak lepas dari penugasan khusus dan bimbingan yang diberikan oleh para
sesepuh Walisongo, misalnya bimbingan yang diberikan oleh Sunan Ampel dan Sunan
Bonang disamping dari pihak kesultanan Patah di daerah-daerah yang rawan tata
krama, rawan tata susila dan masih kuat dipengaruhi oleh
kepercayaan-kepercayaan agama Hindu dan Budha serta masih melakukan
kebiasaan-kebiasaan warisan nenek moyang mereka. Karena itu Sunan Kalijaga
benar-benar membanting tulang tidak hanya melakukan dakwah di suatu daerah
saja, melainkan hilir mudik, keluar masuk hutan dan pegunungan, siang malam
terus melakukan tugas itu. Beliau terus keliling dari daerah satu ke daerah
yang lainnya, sehingga terkenal sebagai “muballigh keliling”[4] atau
Da’i keliling, ulama besar, seorang wali yang memiliki karisma tersendiri
diantara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat
apalagi kalangan bawah. Ia di sebagian tempat juga dikenal bernama “Syeh
Malaya”.
Ia dapat dikatakan sebagai ahli budaya, misalnya :
pengenalan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat / kesenian
daerah (adat lama yang ia beri warna Islami), menciptakan baju taqwa (lalu
disempurnakan oleh Sultan Agung dengan Dandanggulo dan Dandanggula Semarangan,
menciptakan lagu lir-ilir yang sampai saat ini masih akrab di kalangan sebagian
besar orang Jawa, pencipta seni ukir bermotif daun-daunan, memerintahkan sang
murid bernama Sunan Bayat untuk membuat bedug di masjid guna mengerjakan shalat
berjamaah, acara ritual berupa gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh atau
pengajian akbar yang diselenggarakan di Masjid Demak untuk memperingati Maulud
Nabi, menciptakan Gong sekaten bernama asli Gang Syahadatain (dua
kalimah syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakna bahwa “mumpung
masih hidup agar berkumpul masuk agama Islam”, pencipta wayang kulit di atas
kulit kambing, sebagai dalang (dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan
yang benar), wayang kulit dengan beberapa cerita yang ia senangi yaitu antara
lain jimat kalimasada dan dewa ruci serta petruk jadi raja dan wahyu widayat,
serta sebagai ahli kata-kata seperti misalnya pengaturan istana atau kabupaten
dengan alun-alun serta pohon beringin dan masjid.
Diantara para wali sembilan, beliau terkenal sebagai
seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan
filosofi, daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah
terhitung seorang mubaligh keliling (“reizendle mubaligh”). Jikalau
beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh para kaum ningrat dan sarjana.
Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada
beliau. Karena caranya beliau menyiarkan agama Islam yang disesuaikan dengan
aliran zaman Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi
dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam semasa hidupnya,
Sunan Kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani, beliau
terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita
wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan.
Dalam cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin
unsur-unsur ke-Islam-an, hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat
di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan
Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, atau dengan kata lain, masyarakat masih
memegang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.
Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang,
gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah
yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh memeras otak,
mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan
ajaran-ajaran Islam asimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah
berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengembangkan agama
Islam disini.
Sedang menurut adat kebiasaan pada setiap tahun,
sesudah konferensi besar para wali, di serambi masjid Demak diadakan perayaan
Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (bahasa Jawa : terbangan)
menurut seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan
pengertian disesuaikan dengan alam pikiran masyarakat Jawa. Maka gamelan yang
telah dipesan itupun ditempatkan di atas pagengan yaitu sebuah
tarub yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasi beraneka
macam bunga-bungaan yang indah, gapura masjid pun dihiasi pula, sehingga
banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung di sana.
Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan
podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta
nasehat-nasehatnya, uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang menarik
sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertarik untuk masuk ke dalam masjid
untuk mendekati gamelan yang sedang di tabuh, artinya dibunyikan itu dan mereka
diperbolehkan masuk ke dalam masjid. Akan tetapi terlebih dahulu harus
mengambil air wudlu di kolam masjid melalui pintu gapura. Upacara yang demikian
ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura
(dari bahasa Arab Ghapura), maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni
oleh Tuhan.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor
sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung
“sufistik” berbasis salaf bukan sufi panteistik (pemujaan
semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal, ia berpendapat bahwa masyarakat
akan menjauh jika di serang pendiriannya. Maka harus didekati secara bertahap;
mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.
D. Jasa-jasa
Sunan Kalijaga
A. Bidang
strategi perjuangan
Seperti diketahui, Walisongo di dalam menyebarkan
ajaran agama Islam di tanah Jawa ini tidak begitu saja melangkah, melainkan
mereka menggunakan cara-cara dan jalan (taktik dan strategi) yang
diperhitungkan benar-benar, memakai pertimbangan-pertimbangan yang masak,
tidak ngawur sehingga agama Islam disampaikan kepada rakyat
dapat diterima dengan mudah dan penuh kesadaran, bukan karena terpaksa.
Sunan Kalijaga di dalam menyebarkan ajaran Islam
benar-benar memahami dan mengetahui keadaan rakyat yang masih tebal dipengaruhi
kepercayaan agama Hindu Budha dan gemar menampilkan budaya-budaya Jawa yang
berbau kepercayaannya itu, maka bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan yang
demikian itu, sehingga taktik dan strategi perjuangan beliau disesuaikan pula
dengan keadaan, ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama
Syiwa Budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali
apabila dalam mengembangkan agama Islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara
yang bijaksana dan melalui jalan pendekatan yang mudah ditempuh. Para wali
termasuk Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih
lekat sekali dengan kesenian dan kebudayaan mereka, misalnya gemar terhadap
gamelan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa Budha.
B. Bidang
kesenian
Sunan Kalijaga ternyata mampu menciptakan kesenian
dengan berbagai bentuknya. Maksud utama kesenian itu diciptakan adalah sebagai
alat dalam bertabligh mengelilingi berbagai daerah, ternyata malah mempunyai
nilai yang berharga bagi bangsa Indonesia.
Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian,
tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni
drama (wayang kulit), seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni
pahat dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh Sunan
Kalijaga (periode Demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam, sebagai
gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi
lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti, di
dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi ini
jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata “quu” dan “qilla”
atau “quuqilla” yang artinya “peliharalah ucapan (mulut) mu”.
Di lain pihak Sunan Kalijaga juga menciptakan karangan
cerita-cerita pewayangan yang kemudian dikumpulkan dalam kitab-kitab cerita
wayang yang sampai sekarang masih ada. Cerita-cerita itu masih berbentuk cerita
menurut kepercayaan Jawa dengan corak kehidupannya yang ada, tetapi sudah
dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sebanyak mungkin.
Cara itu dilakukan oleh Sunan Kalijaga karena adanya
pertimbangan, bahwa rakyat pada saat itu masih tebal kepercayaan Hindu dan
Budhanya.
C. Bidang
lain-lain
Selain jasa-jasa beliau di atas tadi, masih ada
jasanya yang lain seperti pendirian Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga tidak
ketinggalan ikut serta membangun masjid bersejarah itu. Malah ada hasil karya
beliau yang sangat terkenal sampai sekarang, yaitu “Soko Total” artinya
tiang pokok dalam masjid Agung Demak yang terbuat dari potongan-potongan kayu
jati, lalu disatukan dalam bentuk tiang buat berdiameter kurang lebih 70 cm.
ini yang membuat adalah Sunan Kalijaga.[5]
D. Peninggalan-peninggalan
Sunan Kalijaga
1.
Masjid Sunan
Kalijaga
Di Cirebon tepatnya di desa Kalijaga telah terdapat
sebuah masjid kuno, letaknya bersebelahan dengan petilasan pertapaan Sunan
Kalijaga. Masjid ini oleh masyarakat Cirebon khususnya dikenal dengan nama
Masjid Sunan Kalijaga.
Masjid ini tampak kelihatan angker dari luar, mungkin
karena letaknya yang berada di tengah-tengah hutan yang penuh dengan ratusan
binatang “kera”. Di sekeliling masjid tersebut hanya ada penduduk yang
jumlahnya sedikit, jurang lebih terdiri dari sembilan rumah. Masjid ini tampak
kurang berfungsi, baik untuk berjamaah shalat lima waktu maupun sebagai tempat
atau pusat kegiatan penyiaran agama Islam.
2.
Masjid Kadilangu
Sewaktu Sunan Kalijaga masih hidup, masjid Kadilangu
itu masih berupa surau kecil. Setelah Sunan Kalijaga wafat dan digantikan oleh
putranya yang bernama Sunan Hadi (putra ketiga) surau tersebut disempurnakan
bangunannya sehingga berupa masjid seperti yang kita lihat sekarang ini.
Disebutkan di sebuah prasasti yang terdapat di pintu
masjid sebelah dalam yang berbunyi “menika tiki mongso ngadekipun asjid
ngadilangu hing dino ahad wage tanggal 16 sasi dzulhijjah tahun tarikh jawi
1456”, (ini waktunya berdiri masjid Kadilangu pada hari ahad wage tanggal
16 bulan dzulhijjah tahun tarikh Jawa 1456). Tulisan aslinya bertulisan huruf
Arab. Menurut tutur rakyat Kadilangu masjid itu beberapa kali mengalami
perbaikan di sana sini, sehingga banyak bagian bangunannya yang sudah tidak
asli, terutama bagian luarnya.
3.
Keris Kyai Clubuk
4.
Keris Kyai
Syir’an
5.
Kotang
Ontokusumo
Menurut beberapa cerita rakyat menyatakan bahwa dahulu
waktu para Walisongo sudah selesai menunaikan shalat subuh di masjid Agung
Demak, tiba-tiba terlihatlah ada sebuah bungkusan yang terletak di depan
mikhrab. Maka oleh Sunan Bonang diminta supaya Sunan Kalijaga mengambil dan
memeriksanya. Ternyata bungkusan tersebut berisi “baju” (kutang), dan secarik
kertas yang menerangkan baju itu adalah anugerah dari Nabi Muhammad Saw, dan
menerangkan supaya kulit kambing yang terdapat juga dalam bungkusan itu dibuat
baju juga. Menurut cerita kedua baju itu sampai sekarang masih terawat baik,
yang pertama “baju ontokusumo” yang disimpan di musium kraton Solo dan “baju
kyai Gondil” ada dalam makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.[6]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari berbagai keterangan di atas dapat di simpulkan
hal-hal sebagi berikut:
·
Sunan Kalijaga lahir pada tahun
1455. Beliau diberi nama Raden Mas Said atau yang bergelar “Sunan
Kalijaga”
·
Dalam berdakwah Sunan Kalijaga memiliki cara
yang unik karena menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk
sebagai sarana dakwah.
·
Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul
Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan,
garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk
Dadi Ratu ("Petruk Jadi
Raja")
·
Beberapa peninggalan-peninggalan Sunan Kalijaga
yakni Masjid Sunan Kalijaga, Masjid Kadilangu, Keris Kyai Clubuk, Keris Kyai
Syir’an, Kotang Ontokusumo
·
Ketika wafat,
beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai
diziarahi orang.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. Purwadi, dkk., Babad Tanah Jawi, Yogyakarta:
Gelombang Pasang Surut, 2005.
Drs. H. Imron Abu Amar, Sunan Kalijaga
Kadilangu Demak, Kudus: Menara Kudus, 1992.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/10/sejarah-perjuangan-islam-sunan-kalijaga.html
diakses pukul 19.36 pada 19 Juni 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Kalijaga/
diakses pukul 20:27 pada 19 Juni 2013
[1] Dr. Purwadi, dkk., Babad Tanah Jawi, Yogyakarta: Gelombang Pasang Surut, 2005, hlm. 39-41.
[2] Drs. H. Imron Abu Amar, Sunan Kalijaga
Kadilangu Demak, Kudus: Menara Kudus, 1992, hlm. 10.
[3]
Menurut R. Prayitno, juru kunci makam
Sunan Kalijaga sekarang, Sunan Kalijaga wafat kira-kira + tahun
1586. Berarti kalau dihitung-hitung umur Sunan Kalijaga + 131
tahun lamanya.
[4] Drs. H. Imran Abu Amar, op.cit., hlm.
13.
[6] Ibid., hlm. 21-26I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar