Judul: Wawancara Antarpribadi
Informan: Mulyono
Lokasi: Pukesmas, Ambulu
Waktu : Minggu, 18 November
2012/Jam 14.15-14-50
Awan yang mendung dengan disertai
rintik hujan yang menyapa, tidak menggoyahkan niat kami untuk melakukan
wawancara antarpribadi dikota ambulu itu. Awalnya kami merasa gelisah dan
takut, jika orang yang ingin kami wawancara tidak ramah dan tidak bersahabat.
Tetapi setelah kita melakukan wawancara, degh.....ternyata semua tidak sesuai
dengan apa yang kita pikirkan, alhamdulillah mengasyikkan.
Siang itu kami berjalan menyusuri
jalan trotoar yang ditemani dengan asap kendaraan bermotor yang mengepul.
Bersamaan dengan itu bapak Mulyono (seorang tukang becak) menyita perhatian
kami. Kami hampiri bapak itu, kemudian kami mulai menelisik kehidupan beliau.
Beliau bertempat tinggal di desa Sabrang,
tepatnya berada di Babrakan Nongko Ambulu. Beliau berusia 40 tahun. Usia yang
renta untuk ukuran Bapak seusianya. Siti Aina Jamilah, begitu nama lengkap
istri beliau, dari istrinyalah lahir seorang 1 putra & 1 putri beliau.
Sudah sekitar 2 tahun beliau menekuni pekerjaan sebagai tukang becak. Beliau
juga sebagai buruh tani di desanya. Itupun jika ada seseorag yang menyuruh
membantu pekerjaannya. Untuk pekerjaan tetapnya, iya sebagai tukang mengantarkan
orang dengan mengayuh sepeda becaknya. Dengan hanya memperoleh penghasilan
5000-10.000 per hari, beliau memperjuangkan nasib beliau dengan keluarganya.
Jam beraksi beliau mulai pukul 06.00 wib pagi sampai pukul 12.00 wib siang hari. Selebihnya itu beliau gunakan
untuk istitahat dirumah. Sebelumnya beliau mengatakan bahwa belum pernah
mengambil jadwal di sore hari seperti saat kami melakukan interview pada waktu
itu.
Tempat mangkal beliau adalah
disekitar rumah sakit Husada (Tegal Sari Ambulu) dan di depan puskesmas Ambulu.
Beliau mengambil tempat-tempat tersebut karena beranggapan bahwa banyak orang
yang keluar masuk dari puskesmas dan rumah sakit. Seorang bapak yang hanya
menuntaskan pendidikannya di sekolah dasar itu menaruh harapan tinggi pada anak
bungsunya dengan mengirimnya ke salah satu pondok yang berada di jombang.
Beliau tidak ingin anaknya seperti orang tuanya.
Bapak Mulyono juga pernah
merantau jauh di pulau sebrang pada saat beliau masih bujang. Beliau di Sumatra
Selatan kurang lebih sekitar 15 tahun lamanya untuk mengais rizqi di pekebunan
kopi. Kami mengangguk-anggukkan kepala menanggapi pernyataan beliau. Pertanyaan
kami lanjutkan : “mengapa Bapak masih menggunakan becak dengan sepeda kayuh
padahal kebanyakan saat ini becak menggunakan mesin motor yang mempermudah si
tukang becak ?”. beliau menyimak pertanyaan kami sambil tersenyum. “itu karena
dilihat dari segi untung dan ruginya dik, kalau lagi rame ya itu rejekinya
kita, tapi kalau sepi kita rugi, lah mesinnya kan juga pakai bensin, yang
harganya kemungkinan bisa naik kapan saja, ya toh?”. Kami hanya tersenyum
mendengar jawaban dari beliau. Meskipun beliau berlatar belakang pendidikan yang
hanya lulusan sekolah dasar, tapi beliau mempunyai pikiran yang lebih dari itu
semua. Kami pulang dengan tersenyum yang menyungging cerah. Terima kasih tuhan,
terima kasih bapak......
Pertanyaan lanjutan :
Ø Bagaimana
Bapak Mulyono dapat membiayai penuh pendidikan anak bungsunya, jika hanya
bekerja sebagai tukang becak dan hanya “di sambi” dengan buruh tani?
Ø Apa
hanya beliau saja yang bergelut dengan pekerjaan, bagaimana dengan istri
beliau?
Itu cerita kami apa
ceritamu???????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar