BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
qira’at dan macamnya
1. Pengertian
qira’at
a.
Menurut
Abdul Fatah Al-Qadhi
Qira’at yaitu ilmu yang membahas tentang tatacara pengucapan
kalimat-kalimat al-Qur’an berikut cara pelaksanaanya baik disepakati maupun
yang terjadi perbedaan dengan menisbatkan setiap wajahnya pada seorang imam qira’at. [1]
b.
Menurut
Muhammad Abdul Azim Al-Zarqani
Qira’at adalah
salah satu sistem (aturan) yang dipakai oleh salah seorang imam Qira’at yang berbeda dengan lainnya
dalam hal membaca al- Qur’an.[2]
c.
Menurut
Muhammad Ali al-Shabuni
Qira’at
adalah salah satu aliran dalam mengucapkan al-Qur’an yang dipakai salah seorang
qurra’ yang berbeda dalam membaca
al-Qur’an, di mana qira’at ini
berdasarkan sanad yang tidak terputus sampai kepada Rasulullah saw.[3]
Ø Dari
definisi tersebut dapt disimpulkan bahwa:
a) Qira’at
sudah merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri, yang tersusun secara
sistematis dan mempunyai metode tertentu.
b) Qira’at
al-Qur’an sudah disandarkan atau dinisbatkan kepada salah satu imam qira’at.
c) Bacaan
tersebut bukan disandarkan dari hasil ijtihad, tetapi berlandaskan kepada
riwayat yang sanadnya bersambungsampai kepada Nabi Muhammad SAW.
A. Macam-Macam
Qira’at, Tingkatan dan Hukumnya
Sebagian ulama
menyimpulkan macam-macam qira’at serta
tingkatannya sebagai berikut:
a. Qira’at
mutawatir, yaitu qira’at yang di nukil oleh sejumlah
basar periwayat yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta dari sejumlah orang
yang sama, dan sanadnya bersambung hingga sampai Rasulullah saw. Ini adalah qira’at yang umum dipakai.
b. Qira’at masyhur,
yaitu qira’at yang shahih
sanadnyatetapi tidak sampai derajat mutawatir, sesuai kaidah bahasa arab dan
rasm utsmani serta masyhur dikalangan ahli qira’at.
Qiraat ini termasuk qira’at yang dapat digunakan.[4]
c. Qira’at Ahad, yaitu
qira’at yang sanadnya shahih tetapi
menyalahi rasm utsmani, menyalahi kaidah bahasa arab, dan tidak masyhur. Qira’at ini tidak dapat diamalkan
bacaannya.
d. Qira’at syadz, yaitu
qira’at yang tidak shahih sanadnya.
Seperti, bacaan Ibn Syumaifah dalam membaca al-Qur’an surah Yunus ayat 26 dalam
riwayat Hafs dibaca
e. Qira’at Maudlu’,
yaitu qira’at yang tidak ada asal usulnya, Qira’at ini tidak bisa dipakai, seperti, qira’at imam Muhammad Ibn Ja’far Khuza’I dalam membaca al-Qur’an
surah Fathir ayat 24.
f. Qira’at Mudraj, yaitu
yang ditambahkan di dalam qira’at
sebagai penafsiran
Jumhur ulama
berpendapat bahwa qira’at yang
mutawatir adalah qira’at yang tujuh
(qira’at sab’ah), dan yang tidak
mutawatir, seperti masyhur dan lainnya tidak boleh dibaca di dalam maupun di
luar sholat.
B. Sejarah
Perkembangan Qira’at
1.
Qira’at
Di Zaman Rasulullah Dan Sahabat
Pada
zaman rasulullah, beliau mengajarakan kepada para sahabat sebagaimana beliau menerima
bacaan itu dari malaikat jibril.Dan begitu turun ayat-ayat al-Qur’an, maka
dengan segera nabi mengajarkannya kepada para sahabat, dan mereka menulisnya,
menyimpan dan membacanya ketika shalat atau ibadah-ibadah yang lainnya
secaraberulang-ulang siang dan malam.
2.
Qira’at Pada
Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah nabi Muhammad meninggal, para
sahabat nabi melanjutkan tradisi yang telah dirintis oleh nabi yaitu
mengajarkan Al-Qur’an kepada
para murid-murid mereka. Ada diantara mereka yang masih tetap di Madinah dan
Mekah mengajarkan Al-Qur’an kepada
murid-murid mereka, seperti sahabat Ubay bin Ka’b (w 30 H), Utsmân bin ‘Affân (w 35 H), Zaid bin Tsâbit (w 45 H), Abû Hurairah (w
59 H), ‘Abdullâh bin ‘Ayyâsy (w 64 H), ‘Abdullâh bin‘Abbâs (w 68 H), ‘Abdullâh bin al-Saib al-Makhzumi (w 68 H). Namun diantara
sahabat nabiada yang
keluar dari Madinah
untuk berjuang bersama yang lain. Dengan berkembangnyaIslam ke negeri lain,
terutama pada masa Abû Bakar
dan ‘Umar
bin Khaththâb,
dibutuhkan tenaga yang mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.
Diantara sahabat nabi yang mempunyai
peran dalam penyebaran Al-Qur’an di
negeri lain seperti negeri Iraq adalah ‘Abdullah bin Mas’ûd (w 32 H) yang
diperintahkan oleh sahabat ‘Umar
bin Khaththâb
untuk mengajar Al-Qur’an di
negeri Kufah. Di Iraq juga ada sahabat ‘Alî bin Abî THâlib (w 40 H), Abû Mûsâ al-Asy’ari (w
44 H)
yang ditempatkan di kota Basrah. Sementara sahabat yang ditempatkan di Syria
atau Syam adalah Mua’dz bin Jabal (w 18 H) yang
mengajarkan Al-Qur’an di
Palestina. ‘Ubadah bin SHamit al-Anshâri (w 34 H) mengajarkan Al-Qur’an di
kota Himsh di Syam, dan sahabat Abû al-Darda’ (w 32 H)mengajarkan di
Damaskus. Merekalah yang sangat berperan dalam penyebaran qira’at di negeri-negeri
tersebut diatas.[5]
Perlu disinggung disini bahwa pengajaran
qira’at oleh para sahabat kepada murid-murid mereka adalah berdasarkan cara
bacaan yang mereka dapatkan dari nabi. Bacaan mereka berbeda antara satu dengan
lainnya sesuai dengan ketentuan dalam pengajaran “al-Ahruf as-Sab’ah”
sebagaimana dijelaskan diatas.
Sepeninggal
mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi’in yang juga berperan dalam
penyebaran Ilmu Qira’at di negeri-negeri tersebut.Hasilnya adalah munculnya
generasi baru dalam bidang Qira’at.
C.
Munculnya
Komunitas Ahli Qira’at
Hasil yang didapatkan dari kegiatan
pengajaran Al-Qur’an dari
generasi sahabat dan Tabi’in adalah munculnya komunitas ahli Qira’at pada
setiap negeri Islam.
Ibnu al-Jazari dalam kitabnya “Al-Nasyr
fi al-Qira’at al-‘Asyr” menyebutkan tentang komunitas tersebut. Ibnu
al-Jazari
menyebut komunitas ahli Qira’at di negeri-negeri Islam tersebut
sebagai berikut :
·
Madinah :
Ibnu al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, Sulaimân bin Yasar, ‘Atha’ bin
Yasar, Mu’adz bin al-Hârits, ‘Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj,
Ibnu Syihâb az-Zuhri, Muslim bin Jundab, Zaid bin Aslam.
·
Mekah : ‘Ubaid bin ‘Umair, ‘Atha’, THawus,
Mujâhid
bin Jabr, ‘Ikrimah,
Ibnu Abî Mulaikah.
·
Kufah : ‘Alqamah, al-Aswad bin Yazîd, Musruq bin
al-Ajda’, ‘Abidah, ‘Amr bin Syurahbil, dan
lain lain.
·
Basrah :
Amir bin Abd al-Qais, Abu al-“Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Âshim, Nashr bin
‘Âshim, Yahya bin Ya’mur dan lain lainnya.
D.
Qori’ Tujuh yang
Masyhur
Ada tujuh orang imam
qiro’at yang telah disepakati.tetapi di samping itu para ulama memilih pula
tiga orang imam qiro’at yang qiro’atnya dipandang shahih dan mutawatir. Mereka
adalah Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’ Al-Madani, Ya’qub bin Ishaq Al-Hadhrami
dan Khalaf bin Hisyam. Mereka itulah yang terkenal dengan imam qiro’at
‘asyrah (qiro’at sepuluh) yang diakui.Qiro’at diluar sepuluh ini dipandang
cacat (syadz), seperti qiro’at Al-Yazidi, Al-Hasan, Al-A’masy, Ibnu
Az-Zubair, dan lain-lain.
Para Qari yang hafal
Al-Qur'an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya, dan menyampaikan
qira'at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah
SAW.Qira'at yang mutawatir semuanya kita kutip dari para qari yang hafal
Al-Qur'an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya.
Mereka ialah imam-imam
qira'at yang masyhur yang meyampaikan qira'at kepada kita sesuai dengan yang
mereka terima dari sahabat Rasulullah SAW. Mereka memiliki keutamaan ilmu dan
pengajaran tentang kitabullah Al-Qur'an sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sebaik-baiknya
orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan
mengajarkannya".
Berikut sekilas
tentang profil mereka :
1)
Ibnu 'Amir (118
H)
Nama lengkapnya adalah
Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid
ibnu Abdul Malik.Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi'in,
belajar qira'at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin
Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H.
Dua orang perawinya
adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan. Hisyam adalah Hisyam bin Ammar bin Nushair,
qadhi damaskus. Ia digelari Abul Walid, dan wafat pada 245 H. sedang Ibnu
Dzakwan adalah Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan Al-Quraisyi
Ad-Dimasqi. Ia di gelari Abu Amr. Dilahirkan pada 173 H, dan wafat di Damaskus
pada 242 H.
2) Ibnu
Katsir (120 H)
Nama lengkapnya adalah
Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal
qira'at di Makkah, ia adalah seorang tabi'in yang pernah hidup bersama shahabat
Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di
Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada
tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
3)
'Ashim al-Kufy
(128 H)
Nama lengkapnya adalah
'Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady.Disebut juga dengan Ibnu
Bahdalah.Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi'in yang wafat
pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah.Kedua Perawinya adalah; Syu'bah wafat
pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
4)
Abu Amr (154 H)
Nama lengkapnya adalah
Abu 'Amr Zabban ibnul 'Ala' ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi.
Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr
itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya
adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.
5)
Hamzah al-Kufy
(156 H)
Nama lengkapnya adalah
Hamzah Ibnu Habib Ibnu 'Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas
hamba 'Ikrimah ibnu Rabi' at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu 'Imarh, wafat di
Hawan pada masa Khalifah Abu Ja'far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya
adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara
Salim.
6)
Imam Nafi. (169
H)
Nama lengkapnya adalah
Abu Ruwaim Nafi' ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na'im al-Laitsy, asalnya dari
Isfahan.Dengan kemangkatan Nafi' berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah
al-Munawwarah.Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada
tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
7)
Al-Kisaiy (189
H)
Nama lengkapnya adalah
Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul
Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa
pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy
ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H.
Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun
246 H.
Syathiby mengatakan:
"Adapun Ali panggilannya Kisaiy, karena kisa pakaian ihramnya, Laits Abul
Haris perawinya, Hafsah ad-Dury hilang tuturnya.
E.
Kodifikasi Ilmu
Qira’at
Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan
berbagai macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain
sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua Hijriyah. Maka pada fase ini
mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at.
Sebagian ulama muta’akhirîn berpendapat bahwa yang
pertama kali menuliskan buku tentang ilmu qira’at adalah Yahyâ
bin Ya’mar, ahli qira’at dari Bashrah. Kemudian di susul oleh beberapa imam
qurrâ’, diantaranya yaitu :
·
Abdullah
bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Mashâhif al-Syâm wa
al-Hijâz wa al-‘Irâq.
·
Abân
bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî Al-Qur’an dan
kitab Al Qirâ’ât.
·
Muqâtil
bin Sulaimân (w. 150 H)
·
Abû
‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
·
Hamzah
bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
·
Zâidah
bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
·
Hârûn
bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
·
‘Abdul Hamîd
bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
·
‘Alî
bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
·
Ya’qûb
bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
Menurut Ibnu al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah
menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim
bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qira’at, termasuk
di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah).[6]
Agaknya penulisan qira’at pada periode ini hanya
menghimpun riwayat yang sampai kepada mereka, tanpa menyeleksi perawi atau
materi qira’at.
Kemudian pada abad ketiga Hijriyah kegiatan
penulisan qira’at semakin marak. Diantara mereka adalah : Ahmad bin Jubair al-Makki (w 258 H) yang menghimpun
bacaan Imam Lima, Ismâ’îl
bin Ishâq al-Maliki ( w 282 H) yang
menghimpun 20 bacaan Imam, Ibnu Jarir al-THabari (w 310 H) yang menghimpun
bacaan lebih dari 20 Imam, dan lain lainnya. Setelah itu kegiatan penulisan
Ilmu Qira’at semakin meningkat dari tahun ke tahun dan dari abad ke abad.
F.
Terbentuknya
Qira’at Sab’ah
Banyaknya qira’at yang tersebar di
banyak negeri Islam
menyebabkan munculnya rasa kegalauan pada banyak kalangan, terutama kalangan
awam.Hal inilah yang menyebabkan sebagian ahli qira’at membuat rambu-rambu
yang bisa menyeleksi
qira’at mana saja yang patut bisa dianggap shahîh.
Rambu-rambu yang dimaksud adalah pertama : harus mutawâtir, masyhur dikalangan
ahli qira’at. Kedua : harus sesuai denga rasm Utsmâni dan ketiga :
harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
Dari sinilah lalu muncul prakarsa Abû Bakar Ahmad
bin Mûsâ al-Baghdâdi Ibnu Mujâhid (w 324 H)
untuk menyederhanakan bacaan pada Imam–imam yang paling berpengaruh
pada setiap negeri Islam. Lalu
dilipilihlah Tujuh Imam yang bisa mewakili
bacaan pada setiap negeri Islam.
Mereka yang terpilih adalah :
1. Dari Madinah :
Imam Nâfi’ bin Abî Nu’aim
al-Ashfihâni
(w 127 H)
2. Dari Mekah
: ‘Abdullâh bin Katsîr al-Makki (w. 120 H)
3. Dari Bashrah : Abû ‘Amr al-Bashri (w 153 H)
4. Dari Syam : ‘Abdullâh bin ‘Amir al-Syâmi (w. 118 H)
5. Dari Kufah : terpilih tiga Imam yaitu : ‘Âshim bin Abî
al-Najud (w. 127 H), Hamzah binHabib al-Zayyat (w 156 H) , dan ‘Alî bin
Hamzah al-Kisâ’i (w 189 H).
Pemilihan ketujuh Imam tersebut
berdasarkan kriteria
yang sangat ketat. Kriteria tersebut disebutkan sendiri oleh Ibnu Mujâhid dalam kitabnya “ al-Sab’ah” yaitu : harus
ahli dalam bidang qira’at, mengetahui qira’at
yang masyhur dan yang syâdz,
tahu tentang periwayatan, dan tahu tentang seluk beluk bahasa Arab. Ibnu Mujâhid
berkata :
“Diantara para ahli Al-Qur’an ada yang tahu tentang seluk
beluk I’râb, qira’at, bahasa, mengerti tentang arti dari masing-masing kalimat,
tahu tentang qira’at yang syâdz, mampu memberikan penilaian kepada
riwayat-riwayat. Inilah Imam yang patut
didatangi oleh para penghafal Al-Qur’an pada
setiap negeri kaum muslimin.”[7]
Bacaan imam-imam tersebut
dikumpulkan oleh Ibnu Mujâhid pada kitabnya yang terkenal yaitu “Al-Sab’ah”.Sebagaimana
setiap prakarsa yang baru ada yang pro dan ada yang kontra. Mereka yang pro
terhadap gagasan Ibnu Mujâhid mengikuti jejak Ibnu Mujâhid dengan cara
menghimpun bacaan Imam Tujuh dari berbagai riwayat dan memberikan penjelasan (hujjah)
terhadap setiap fenomena qira’at yang diriwayatkan dari tujuh imam tersebut. Sedangkan para ulama yang kontra mengkhawatirkan
akan adanya timbul sangkaan bahwa Qira’at Sab’ah adalah sab’atu ahruf yang
di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430
H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at
atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî
al-Fârisi, Ibnu Khawalaih, Ibnu Zanjalah, Makki Ibnu Abi Thâlib al-Qaisyi dan
lain sebagainya.[8]
G.
Perkembangan Qira’at Sab’ah Di
Indonesia
Tidak di ketahui secara persis kapan Qira’at
Sab’ah mulai masuk ke Indonesia. Akan tetapi ada sebagian yang berpendapat
bahwa Qira’at Sab’ah masuk ke Indonesia baru pada sekitar awal abad
kedua puluh Hijriyah, yaitu setelah banyaknya pelajar indonesia yang mengenyam
pendidikan di Timur Tengah. Ulama yang memprakasai masuknya ilmu Qiraat di
Indonesia salah satu diantaranya adalah Syaikh Muhammad Munawir bin Abdullah
Rasyid dari Krapyak Yogyakarta. Syaikh Munawir mempelajari ilmu qira’at dari
Hijaz. Kemudian sepulangnya dari sana beliau mendistribusikan ilmu qira’at ini
kepada murid-muridnya. Salah satu muridnya yaitu Syaikh Arwani Amin dari Kudus,
yang kemudian menyusun buku tentang qiraat sab’ah yaitu “Faidh al-Barâkât
fî Sab’i Qirâ’ât”. Buku ini telah masyhur di kalangan
pesantren-pesantren Indonesia yang mempelajari Qira’at Sab’ah.[9]
Kemudian para periode berikutnya, yaitu pada dekade tujuh
puluhan muncul Institut pendidikan di Jakarta yaitu PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu
Al-Qur’an) dan IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an) yang khusus mengajarkan ‘Ulumul
Qur’an, termasuk di dalamnya ilmu Qira’at. Ilmu Qira’at semakin masyhur di
Indonesia setelah komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya tanggal
2 Maret 1983 memutuskan bahwa:
1. Qiraat Sab’ah
adalah sebagian ilmu dari ‘Ulumul Qur’an yang wajib di kembangkan
dan di pertahankan eksistensinya.
2. Pembacaan Qira’at
Tujuh di lalukan pada tempat-tempat yang wajar oleh pembaca yang berijazah
(yang telah talaqqi dan musyâfahah dari ahli
qira’at).[10]
Pada
periode ini telah muncul juga buku tentang ilmu qira’at dalam bahasa Indonesia,
yaitu “Kaidah Qiraat Tujuh” yang di tulis pada tahun 1992 oleh salah
satu dosen IIQ dan PTIQ, yaitu DR. KH. Ahmad Fathoni, MAg. Kitab ini
sangat membantu memudahkan masyarakat Indonesia yang kurang menguasai bahasa
Arab dalam belajar ilmu qira’at.
Barangkali mengingat Qira’at Sab’ah sudah mulai dikenal
dan memasyarakat di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada tanggal
2 Maret 1983 merekomendasikan bahwa Qira’at Tujuh wajib dikembangkan
eksistensinya. Pada tanggal 23 Mei 1983 MUI DKI Jakarta juga telah mengeluarkan
fatwa mengenai keberadaan Qira’at Tujuh, yang substansinya: menghimbau agar
para pecinta pembaca Al-Qur’an tidak membiasakan pembacaan Al-Qur’an yang suci
itu di dalam upacara atau pertemuan keagamaan dan lainnya dengan cara Qira’at
Sab’ah atau mengulang-ulang satu ayat dengan cara bacaan yang berlainan
ejaannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa termasuk para ulama masih banyak yang
belum begitu paham tentang hal-ihwal Qira’at Sab’pah.
Ibarat gayung bersambut, sejak tahun 2002, tepatnya pada
Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ) di Mataram Nusa Tenggara Barat, Qira’at
Al-Qur’an termasuk salah satu cabang yang ikut dimusabaqahkan dan terus
berjalan sampai sekarang.[11]
H.
Faedah Keragaman Qira’at Al-Qur’an
Dalam keragaman cara baca al-Qur’an, dapat diambil beberapa manfaat yang berguna sebagai tanda keotentikan faedah keragaman qira’at al-qur’an.
Dalam keragaman cara baca al-Qur’an, dapat diambil beberapa manfaat yang berguna sebagai tanda keotentikan al-Qur’an :
Dalam keragaman cara baca al-Qur’an, dapat diambil beberapa manfaat yang berguna sebagai tanda keotentikan faedah keragaman qira’at al-qur’an.
Dalam keragaman cara baca al-Qur’an, dapat diambil beberapa manfaat yang berguna sebagai tanda keotentikan al-Qur’an :
Ø Bukti yang jelas tentang keterjagaan
Al-Quran dari perubahan dan penyimpangan, meskipun mempunyai banyak qiroat
tetapi tetap terpelihara.
Ø Keringanan bagi umat serta kemudahan
dalam membacanya, khususnya mempermudah suku-suku yang berbeda logat/dialek di
Arab.
Ø Membuktikan kemukjizatan Al-Quran,
karena dalam qiroat yang berbeda ternyata bisa memunculkan istinbat jenis hukum
yang berbeda pula.
Contoh dalam masalah ini adalah lafadhz : " wa arjulakum" dalam Al-Maidah ayat 6, yang juga bisa dibaca dalam qiroah lain dengan "wa arjulikum ". Maka yang pertama menunjukkan hukum mencuci kedua kaki dalam wudhu. Sementara yang kedua menunjukkan hukum mengusap ( al-mash) kedua kaki dalam khuf atau sejenis sepatu.
Contoh dalam masalah ini adalah lafadhz : " wa arjulakum" dalam Al-Maidah ayat 6, yang juga bisa dibaca dalam qiroah lain dengan "wa arjulikum ". Maka yang pertama menunjukkan hukum mencuci kedua kaki dalam wudhu. Sementara yang kedua menunjukkan hukum mengusap ( al-mash) kedua kaki dalam khuf atau sejenis sepatu.
Qiroat
yang satu bisa ikut menjelaskan / menafsirkan qiroat lain yang masih belum jelas maknanya. Contoh masalah ini : dalam surat
Jumat ayat 9, lafal " Fas'au ", asli katanya berarti berjalanlah
dengan cepat, tetapi ini kemudian diterangkan dengan qiroat lain : "
famdhou" yang berarti pergilah , bukan larilahal-Qur’an.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
.
Dari segi kualitas qiro’ah dapat dibagi
menjadi :
a) Qiro’ah
Mutawatir, yaitu qiro’ah yang disampaikan oleh kelompok yang sanadnya tidak
berbuat dusta.
b) Qiro’ah
Mashur, yaitu yang memiliki sanad yang shahih dan mutawatir.
c) Qiro’ah
al-ahad, yaitu yang memiliki sanad shahih tapi menyalahi tulian mushaf utsmani dan kaidah bahasa Arab.
d) Qiro’ah
maudlu’, yaitu palsu.
e) Qiro’ah
syadz, yaitu menyimpang.
f) Qiro’ah
yang menyerupai hadits mudroj (sisipan).
Qiraat
adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an baik menyangkut
hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf.
g) Qiraat
memiliki bermacam-macam, yakni qiraat sab’ah, qiraat asyrah dan qiraat
arbaah asyrah.
Qiraat
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu hukum akibat
perbedaan kata, huruf dan cara baca. pemahaman dan pengetahuan mengenai
ilmu qira’at sangatlah penting. Hal ini ditujukan agar kita tidak saling
berselisih karena perbedaan cara baca ayat Alquran seperti yang pernah terjadi
pada masa pemerintahan khalifah Ustman bin Affan. Perbedaan versi qira’at
disebabkan karena para ulama berlainan dalam menerima bacaan ayat, sehingga
terjadi perselisihan di antara ulama. Kemudian khalifah Ustman bin Affan
menyalin dan menyebar luaskan ayat Alquran pada masa Abu Bakar Ash Siddiq ke
berbagai daerah untuk
mengatasi perselisihan.
DAFTAR
PUSTAKA
v Manna’
Khalil Al -Qattan, 2000, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Litera Antar Nusa,
Jakarta.
v Hatta
Syamsudin Lc, 2008, Modul Qur’an (1), Surakarta.
v Allamah
M.H Thabathaba’I, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, Mizan, Bandung.
v http://www.lingkaran.org/pengantar-qiro%E2%80%99at-sabah.html
v Rosihin
Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia. 2006
[1] PTIQ,Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Qur’an (Jakarta:Pustaka
Lentera Antar Nusa,1986) hal 108. Lihat
juga Ismail Masyhuri Al-Hafiz, Ilmu Qira’atul Qur’an (Kuala Lumpur: Syari’at
Nurul Has) hal 23
[2]Muhammad Abdul Azhim
Al-Zarqani, Manahilul ‘Irfan (Mesir: Isa Al-Babil Halbi, t, th)
juz I, hal 405
[3] Muhammad Ali
al-Shabuni, al-tibyan fi ‘ulumil Qur’an (Beirut:
Dar al-Irsyad, t, th) hal 249
[4] Al-Hafidz, Ilmu
Qira’at al-Qur’an,, hal 43
[6]Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli Ismâ’îl, ‘Ilm
al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Athwâruhu, h. 103; Abû al-Hasan ‘Alî
bin Fâris al-Khayyâth, Al-Tabshirah fî Qirâ’ât al-Aimmah al-‘Asyrah,(Riyâdh:
Maktabah al-Rusyd, 2007), h. 19.
[7]Ahmad bin Mûsâ bin Mujâhid, Al-Sab’ah fî
al-Qirâ’ât, juz 1, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1400 H), h. 45.
[11]Makalah
DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar