Selasa, 23 April 2013

Sejarah Perkembangan Dinasti Abbasiyah


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian qira’at dan macamnya
1.      Pengertian qira’at
a.      Menurut Abdul Fatah Al-Qadhi
              Qira’at yaitu ilmu yang membahas tentang tatacara pengucapan kalimat-kalimat al-Qur’an berikut cara pelaksanaanya baik disepakati maupun yang terjadi perbedaan dengan menisbatkan setiap wajahnya pada seorang imam qira’at. [1]
b.      Menurut Muhammad Abdul Azim Al-Zarqani
              Qira’at adalah salah satu sistem (aturan) yang dipakai oleh salah seorang imam Qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam hal membaca al- Qur’an.[2]
c.       Menurut Muhammad Ali al-Shabuni
              Qira’at adalah salah satu aliran dalam mengucapkan al-Qur’an yang dipakai salah seorang qurra’ yang berbeda dalam membaca al-Qur’an, di mana qira’at ini berdasarkan sanad yang tidak terputus sampai kepada Rasulullah saw.[3]

Ø  Dari definisi tersebut dapt disimpulkan bahwa:
a)      Qira’at sudah merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri, yang tersusun secara sistematis dan mempunyai metode tertentu.
b)      Qira’at al-Qur’an sudah disandarkan atau dinisbatkan kepada salah satu imam qira’at.
c)      Bacaan tersebut bukan disandarkan dari hasil ijtihad, tetapi berlandaskan kepada riwayat yang sanadnya bersambungsampai kepada Nabi Muhammad SAW.


A.    Macam-Macam Qira’at, Tingkatan dan Hukumnya
Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira’at serta tingkatannya sebagai berikut:
a.       Qira’at mutawatir, yaitu qira’at yang di nukil oleh sejumlah basar periwayat yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta dari sejumlah orang yang sama, dan sanadnya bersambung hingga sampai Rasulullah saw. Ini adalah qira’at yang umum dipakai.
b.      Qira’at masyhur, yaitu qira’at yang shahih sanadnyatetapi tidak sampai derajat mutawatir, sesuai kaidah bahasa arab dan rasm utsmani serta masyhur dikalangan ahli qira’at. Qiraat ini termasuk qira’at yang dapat digunakan.[4]
c.       Qira’at Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih tetapi menyalahi rasm utsmani, menyalahi kaidah bahasa arab, dan tidak masyhur. Qira’at ini tidak dapat diamalkan bacaannya.
d.      Qira’at syadz, yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya. Seperti, bacaan Ibn Syumaifah dalam membaca al-Qur’an surah Yunus ayat 26 dalam riwayat Hafs dibaca
e.       Qira’at Maudlu’, yaitu qira’at yang tidak ada asal usulnya, Qira’at ini tidak bisa dipakai, seperti, qira’at imam Muhammad Ibn Ja’far Khuza’I dalam membaca al-Qur’an surah Fathir ayat 24.
f.       Qira’at Mudraj, yaitu yang ditambahkan di dalam qira’at sebagai penafsiran
Jumhur ulama berpendapat bahwa qira’at yang mutawatir adalah qira’at yang tujuh (qira’at sab’ah), dan yang tidak mutawatir, seperti masyhur dan lainnya tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar sholat.

B.     Sejarah Perkembangan Qira’at
1.      Qira’at Di Zaman Rasulullah Dan Sahabat
            Pada zaman rasulullah, beliau mengajarakan kepada para sahabat sebagaimana beliau menerima bacaan itu dari malaikat jibril.Dan begitu turun ayat-ayat al-Qur’an, maka dengan segera nabi mengajarkannya kepada para sahabat, dan mereka menulisnya, menyimpan dan membacanya ketika shalat atau ibadah-ibadah yang lainnya secaraberulang-ulang siang dan malam.

2.      Qira’at Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah nabi Muhammad meninggal, para sahabat nabi melanjutkan tradisi yang telah dirintis oleh nabi yaitu mengajarkan Al-Qur’an kepada para murid-murid mereka. Ada diantara mereka yang masih tetap di Madinah dan Mekah mengajarkan Al-Qur’an kepada murid-murid mereka, seperti sahabat Ubay bin Ka’b (w 30 H), Utsmân bin ‘Affân (w 35 H), Zaid bin Tsâbit (w 45 H), Abû Hurairah (w 59 H), Abdullâh bin ‘Ayyâsy (w 64 H), Abdullâh binAbbâs (w 68 H), Abdullâh bin al-Saib al-Makhzumi (w 68 H). Namun diantara sahabat nabiada yang keluar dari Madinah untuk berjuang bersama yang lain. Dengan berkembangnyaIslam ke negeri lain, terutama pada masa Abû Bakar dan Umar bin Khaththâb, dibutuhkan tenaga yang mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.
Diantara sahabat nabi yang mempunyai peran dalam penyebaran Al-Qur’an di negeri lain seperti negeri Iraq adalah Abdullah bin Mas’ûd (w 32 H)  yang diperintahkan oleh sahabat Umar bin Khaththâb untuk mengajar Al-Qur’an  di negeri Kufah.  Di Iraq juga ada sahabat Alî bin Abî THâlib (w 40 H), Abû Mûsâ al-Asy’ari (w 44 H) yang ditempatkan di kota Basrah. Sementara sahabat yang ditempatkan di Syria atau Syam adalah Mua’dz bin Jabal (w 18 H) yang mengajarkan Al-Qur’an di Palestina. ‘Ubadah bin SHamit al-Anshâri (w 34 Hmengajarkan Al-Qur’an di kota Himsh di Syam, dan sahabat Abû al-Darda’ (w 32 H)mengajarkan di Damaskus. Merekalah yang sangat berperan dalam penyebaran qira’at di negeri-negeri tersebut diatas.[5]
Perlu disinggung disini bahwa pengajaran qira’at oleh para sahabat kepada murid-murid mereka adalah berdasarkan cara bacaan yang mereka dapatkan dari nabi. Bacaan mereka berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam pengajaran “al-Ahruf as-Sab’ah” sebagaimana dijelaskan diatas.
Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi’in yang juga berperan dalam penyebaran Ilmu Qira’at di negeri-negeri tersebut.Hasilnya adalah munculnya generasi baru dalam bidang Qira’at.

C.    Munculnya Komunitas Ahli Qira’at
Hasil yang didapatkan dari kegiatan pengajaran Al-Qur’an dari generasi sahabat dan Tabi’in adalah munculnya komunitas ahli Qira’at pada setiap negeri Islam. Ibnu al-Jazari dalam kitabnya “Al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr”  menyebutkan tentang komunitas tersebut. Ibnu al-Jazari menyebut komunitas ahli Qira’at di negeri-negeri Islam  tersebut sebagai berikut :
·         Madinah : Ibnu al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abd al-Aziz, Sulaimân bin Yasar, ‘Atha’ bin Yasar, Mu’adz bin al-Hârits, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibnu Syihâb az-Zuhri, Muslim bin Jundab, Zaid bin Aslam.
·         Mekah : Ubaid bin Umair, ‘Atha’, THawus, Mujâhid bin Jabr, Ikrimah, Ibnu Abî Mulaikah.
·         Kufah : Alqamah, al-Aswad bin Yazîd, Musruq bin al-Ajda’, Abidah, Amr bin Syurahbil, dan lain lain.
·         Basrah : Amir bin Abd al-Qais, Abu al-“Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Âshim, Nashr bin ‘Âshim, Yahya bin Ya’mur dan lain lainnya.

D.    Qori’ Tujuh yang Masyhur
Ada tujuh orang imam qiro’at yang telah disepakati.tetapi di samping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qiro’at yang qiro’atnya dipandang shahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’ Al-Madani, Ya’qub bin Ishaq Al-Hadhrami dan Khalaf bin Hisyam. Mereka itulah yang terkenal dengan imam qiro’at ‘asyrah (qiro’at sepuluh) yang diakui.Qiro’at diluar sepuluh ini dipandang cacat (syadz), seperti qiro’at Al-Yazidi, Al-Hasan, Al-A’masy, Ibnu Az-Zubair, dan lain-lain.
Para Qari yang hafal Al-Qur'an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya, dan menyampaikan qira'at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah SAW.Qira'at yang mutawatir semuanya kita kutip dari para qari yang hafal Al-Qur'an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya.
Mereka ialah imam-imam qira'at yang masyhur yang meyampaikan qira'at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah SAW. Mereka memiliki keutamaan ilmu dan pengajaran tentang kitabullah Al-Qur'an sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sebaik-baiknya orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya".
Berikut sekilas tentang profil mereka :       
1)      Ibnu 'Amir (118 H)
Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik.Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi'in, belajar qira'at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H.
Dua orang perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan. Hisyam adalah Hisyam bin Ammar bin Nushair, qadhi damaskus. Ia digelari  Abul Walid, dan wafat pada 245 H. sedang Ibnu Dzakwan adalah Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan Al-Quraisyi Ad-Dimasqi. Ia di gelari Abu Amr. Dilahirkan pada 173 H, dan wafat di Damaskus pada 242 H.
2)      Ibnu Katsir  (120 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira'at di Makkah, ia adalah seorang tabi'in yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
3)      'Ashim al-Kufy  (128 H)
Nama lengkapnya adalah 'Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady.Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah.Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi'in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah.Kedua Perawinya adalah; Syu'bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
4)      Abu Amr (154 H)
Nama lengkapnya adalah Abu 'Amr Zabban ibnul 'Ala' ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.
5)      Hamzah al-Kufy (156 H)
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu 'Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas hamba 'Ikrimah ibnu Rabi' at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu 'Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja'far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.
6)      Imam Nafi. (169 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi' ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na'im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan.Dengan kemangkatan Nafi' berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah.Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
7)      Al-Kisaiy (189 H)
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun 246 H.
Syathiby mengatakan: "Adapun Ali panggilannya Kisaiy, karena kisa pakaian ihramnya, Laits Abul Haris perawinya, Hafsah ad-Dury hilang tuturnya.

E.     Kodifikasi Ilmu Qira’at
Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan berbagai macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at.
Sebagian ulama muta’akhirîn berpendapat bahwa yang pertama kali menuliskan buku tentang  ilmu qira’at adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Bashrah. Kemudian di susul oleh beberapa imam qurrâ’, diantaranya yaitu :
·         Abdullah bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Mashâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al-‘Irâq.
·         Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî Al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
·         Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H)
·         Abû ‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
·         Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
·         Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
·         Hârûn bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
·         ‘Abdul Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
·         ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
·         Ya’qûb bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
·         Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ’ât.[24]
Menurut Ibnu al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qira’at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah).[6]
Agaknya penulisan qira’at pada periode ini hanya menghimpun riwayat yang sampai kepada mereka, tanpa menyeleksi perawi atau materi qira’at.
Kemudian pada abad ketiga Hijriyah kegiatan penulisan qira’at semakin marak. Diantara mereka adalah : Ahmad bin Jubair al-Makki (w 258 H) yang menghimpun bacaan Imam Lima, Ismâ’îl bin Ishâq  al-Maliki ( w 282 H)  yang menghimpun 20 bacaan Imam, Ibnu Jarir al-THabari (w 310 H) yang menghimpun bacaan lebih dari 20 Imam, dan lain lainnya. Setelah itu kegiatan penulisan Ilmu Qira’at semakin meningkat dari tahun ke tahun dan dari abad ke abad.

F.     Terbentuknya Qira’at Sab’ah
Banyaknya qira’at yang tersebar di banyak negeri Islam menyebabkan munculnya rasa kegalauan pada banyak kalangan, terutama kalangan awam.Hal inilah yang menyebabkan sebagian ahli qira’at membuat rambu-rambu yang bisa menyeleksi qira’at mana saja yang patut bisa dianggap shahîh. Rambu-rambu yang dimaksud adalah pertama : harus mutawâtir, masyhur dikalangan ahli qira’at. Kedua : harus sesuai denga rasm Utsmâni dan ketiga : harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
Dari sinilah lalu muncul prakarsa Abû Bakar Ahmad bin Mûsâ al-Baghdâdi  Ibnu Mujâhid (w 324 H) untuk  menyederhanakan bacaan pada Imam–imam yang paling berpengaruh pada setiap negeri Islam. Lalu dilipilihlah Tujuh Imam yang bisa mewakili bacaan pada setiap negeri Islam. Mereka yang terpilih adalah :
1. Dari Madinah : Imam Nâfi’ bin Abî Nu’aim al-Ashfihâni (w 127 H)
2. Dari Mekah : Abdullâh bin Katsîr al-Makki (w. 120 H)
3. Dari Bashrah : Abû ‘Amr al-Bashri (w 153 H)
4. Dari Syam : Abdullâh bin ‘Amir al-Syâmi (w. 118 H)
5. Dari Kufah : terpilih tiga Imam yaitu : ‘Âshim bin Abî al-Najud (w. 127 H), Hamzah binHabib al-Zayyat (w 156 H) , dan ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w 189 H).
Pemilihan ketujuh Imam tersebut berdasarkan kriteria yang sangat ketat. Kriteria tersebut disebutkan sendiri oleh Ibnu Mujâhid dalam kitabnya “ al-Sab’ah” yaitu : harus ahli dalam bidang qira’at, mengetahui qira’at yang masyhur dan yang syâdz, tahu tentang periwayatan, dan tahu tentang seluk beluk bahasa Arab. Ibnu Mujâhid berkata :
“Diantara para ahli Al-Qur’an ada yang tahu tentang seluk beluk I’râb, qira’at, bahasa, mengerti tentang arti dari masing-masing kalimat, tahu tentang qira’at yang syâdz, mampu memberikan penilaian kepada riwayat-riwayat. Inilah Imam yang patut didatangi oleh para penghafal Al-Qur’an pada setiap negeri kaum muslimin.[7]

Bacaan imam-imam tersebut dikumpulkan oleh Ibnu Mujâhid pada kitabnya yang terkenal yaitu “Al-Sab’ah”.Sebagaimana setiap prakarsa yang baru ada yang pro dan ada yang kontra. Mereka yang pro terhadap gagasan Ibnu Mujâhid mengikuti jejak Ibnu Mujâhid dengan cara menghimpun bacaan Imam Tujuh dari berbagai riwayat dan memberikan penjelasan (hujjah) terhadap setiap fenomena qira’at yang diriwayatkan dari tujuh imam tersebut. Sedangkan para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa Qira’at Sab’ah adalah sab’atu ahruf  yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibnu Khawalaih, Ibnu Zanjalah, Makki Ibnu Abi Thâlib al-Qaisyi dan lain sebagainya.[8]

G.    Perkembangan Qira’at  Sab’ah Di Indonesia
Tidak di ketahui secara persis kapan Qira’at Sab’ah mulai masuk ke Indonesia. Akan tetapi ada sebagian yang berpendapat bahwa Qira’at Sab’ah masuk ke Indonesia baru pada sekitar awal abad kedua puluh Hijriyah, yaitu setelah banyaknya pelajar indonesia yang mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Ulama yang memprakasai masuknya ilmu Qiraat di Indonesia salah satu diantaranya adalah Syaikh Muhammad Munawir bin Abdullah Rasyid dari Krapyak Yogyakarta. Syaikh Munawir mempelajari ilmu qira’at dari Hijaz. Kemudian sepulangnya dari sana beliau mendistribusikan ilmu qira’at ini kepada murid-muridnya. Salah satu muridnya yaitu Syaikh Arwani Amin dari Kudus, yang kemudian menyusun buku tentang qiraat sab’ah yaitu “Faidh al-Barâkât fî Sab’i Qirâ’ât”. Buku ini telah masyhur di kalangan pesantren-pesantren Indonesia yang mempelajari Qira’at Sab’ah.[9]
Kemudian para periode berikutnya, yaitu pada dekade tujuh puluhan muncul Institut pendidikan di Jakarta yaitu PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) dan IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an) yang khusus mengajarkan ‘Ulumul Qur’an, termasuk di dalamnya ilmu Qira’at. Ilmu Qira’at semakin masyhur di Indonesia setelah komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya tanggal 2 Maret 1983 memutuskan bahwa:
1.      Qiraat Sab’ah adalah sebagian  ilmu dari ‘Ulumul Qur’an yang wajib di kembangkan dan di pertahankan eksistensinya.
2.      Pembacaan Qira’at Tujuh di lalukan pada tempat-tempat yang wajar oleh pembaca yang berijazah (yang telah talaqqi dan musyâfahah dari ahli qira’at).[10]
            Pada periode ini telah muncul juga buku tentang ilmu qira’at dalam bahasa Indonesia, yaitu “Kaidah Qiraat Tujuh” yang di tulis pada tahun 1992 oleh salah satu dosen IIQ dan PTIQ, yaitu DR. KH. Ahmad Fathoni, MAg. Kitab ini sangat membantu memudahkan masyarakat Indonesia yang kurang menguasai bahasa Arab dalam belajar ilmu qira’at.
Barangkali mengingat Qira’at Sab’ah sudah mulai dikenal dan memasyarakat di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada tanggal 2 Maret 1983 merekomendasikan bahwa Qira’at Tujuh wajib dikembangkan eksistensinya. Pada tanggal 23 Mei 1983 MUI DKI Jakarta juga telah mengeluarkan fatwa mengenai keberadaan Qira’at Tujuh, yang substansinya: menghimbau agar para pecinta pembaca Al-Qur’an tidak membiasakan pembacaan Al-Qur’an yang suci itu di dalam upacara atau pertemuan keagamaan dan lainnya dengan cara Qira’at Sab’ah atau mengulang-ulang satu ayat dengan cara bacaan yang berlainan ejaannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa termasuk para ulama masih banyak yang belum begitu paham tentang hal-ihwal Qira’at Sab’pah.
Ibarat gayung bersambut, sejak tahun 2002, tepatnya pada Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ) di Mataram Nusa Tenggara Barat, Qira’at Al-Qur’an termasuk salah satu cabang yang ikut dimusabaqahkan dan terus berjalan sampai sekarang.[11]

H.    Faedah   Keragaman   Qira’at  Al-Qur’an
Dalam keragaman cara baca al-Qur’an, dapat diambil beberapa manfaat yang berguna sebagai tanda keotentikan faedah        keragaman                       qira’at        al-qur’an.
Dalam keragaman cara baca al-Qur’an, dapat diambil beberapa manfaat yang berguna sebagai tanda keotentikan al-Qur’an :
Ø  Bukti yang jelas tentang keterjagaan Al-Quran dari perubahan dan penyimpangan, meskipun mempunyai banyak qiroat tetapi tetap terpelihara.
Ø  Keringanan bagi umat serta kemudahan dalam membacanya, khususnya mempermudah suku-suku yang berbeda logat/dialek di Arab.
Ø  Membuktikan kemukjizatan Al-Quran, karena dalam qiroat yang berbeda ternyata bisa memunculkan istinbat jenis hukum yang                                        berbeda  pula.
Contoh dalam masalah ini adalah lafadhz : " wa arjulakum" dalam Al-Maidah ayat 6, yang juga bisa dibaca dalam qiroah lain dengan "wa arjulikum ". Maka yang pertama menunjukkan hukum mencuci kedua kaki dalam wudhu. Sementara yang kedua menunjukkan hukum mengusap ( al-mash) kedua kaki dalam khuf atau sejenis sepatu.
Qiroat yang satu bisa ikut menjelaskan / menafsirkan qiroat lain yang masih          belum  jelas     maknanya. Contoh masalah ini : dalam surat Jumat ayat 9, lafal " Fas'au ", asli katanya berarti berjalanlah dengan cepat, tetapi ini kemudian diterangkan dengan qiroat lain : " famdhou" yang berarti pergilah , bukan larilahal-Qur’an.













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
.
Dari segi kualitas qiro’ah dapat dibagi menjadi :
a)      Qiro’ah Mutawatir, yaitu qiro’ah yang disampaikan oleh kelompok yang sanadnya tidak berbuat dusta.
b)      Qiro’ah Mashur, yaitu yang memiliki sanad yang shahih dan mutawatir.
c)      Qiro’ah al-ahad, yaitu yang memiliki sanad shahih tapi menyalahi tulian mushaf  utsmani dan kaidah bahasa Arab.
d)     Qiro’ah maudlu’, yaitu palsu.
e)      Qiro’ah syadz, yaitu menyimpang.
f)       Qiro’ah yang menyerupai hadits mudroj (sisipan).
Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an baik menyangkut hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf.
g)      Qiraat memiliki bermacam-macam, yakni qiraat sab’ah, qiraat asyrah dan qiraat arbaah asyrah.
Qiraat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu hukum akibat perbedaan kata, huruf dan cara baca. pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu qira’at sangatlah penting. Hal ini ditujukan agar kita tidak saling berselisih karena perbedaan cara baca ayat Alquran seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Ustman bin Affan. Perbedaan versi qira’at disebabkan karena para ulama berlainan dalam menerima bacaan ayat, sehingga terjadi perselisihan di antara ulama. Kemudian khalifah Ustman bin Affan menyalin dan menyebar luaskan ayat Alquran pada masa Abu Bakar Ash Siddiq ke berbagai daerah untuk                   mengatasi   perselisihan.



DAFTAR PUSTAKA


v  Manna’ Khalil Al -Qattan, 2000, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Litera Antar Nusa, Jakarta.
v  Hatta Syamsudin Lc, 2008, Modul Qur’an (1), Surakarta.
v  Allamah M.H Thabathaba’I, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, Mizan, Bandung.
v  http://www.lingkaran.org/pengantar-qiro%E2%80%99at-sabah.html
v  Rosihin Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia. 2006



[1] PTIQ,Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Qur’an (Jakarta:Pustaka Lentera Antar Nusa,1986) hal 108. Lihat juga Ismail Masyhuri Al-Hafiz, Ilmu Qira’atul Qur’an (Kuala Lumpur: Syari’at Nurul Has) hal 23
[2]Muhammad Abdul Azhim Al-Zarqani, ManahilulIrfan (Mesir: Isa Al-Babil Halbi, t, th) juz I, hal 405
[3] Muhammad Ali al-Shabuni, al-tibyan fi ‘ulumil Qur’an (Beirut: Dar al-Irsyad, t, th) hal 249
[4] Al-Hafidz, Ilmu Qira’at al-Qur’an,, hal 43
[5]Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân al-Rûmi, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, h. 345.
[6]Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli Ismâ’îl, ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Athwâruhu, h. 103; Abû al-Hasan ‘Alî bin Fâris al-Khayyâth, Al-Tabshirah fî Qirâ’ât al-Aimmah al-‘Asyrah,(Riyâdh: Maktabah al-Rusyd, 2007), h. 19.

[7]Ahmad bin Mûsâ bin Mujâhid, Al-Sab’ah fî al-Qirâ’ât, juz 1, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1400 H), h. 45.

[8]T. M. Hasby Al-Siddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 138.
[9]Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”,Maret 2002.

[10]DR. H. Ahmad Fathoni, Kaidah Qira’at Tujuh, (Jakarta: ISIQ, 1992), h. 13.
[11]Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar