Pendahuluan
Puja dan puji syukur kehadirat Allah Swt yang mana
telah melimpahkan rizqinya bagi kita semua. Sehingga dalam kesempatan ini
diberikan kemudahan untuk menyusu makalah yang akan kami buat. Dan semoga
dengan adanya makalh ini akan bermanfaat bagi seluruh umat muslim didunia.
Tujuan makalah ini di buat adalah salah satu bentuk
kepedulian kami bahwa melakukan segala sesuatu yang berhubungan haruslah tidak
boleh sembarangan, karena hukum islam sendiri sudah di buat dan di tetapkan. Salah
satu yang menerangkan tentang bagimana hukum tesebut di buat adalah ilmu
Fiqqih, yang mana dalam masa modern sekarng ini hukum fiqih sudah banyak
terlupakan bahkan kadang oleh orang islam sendiri. Hal ini sangatlah
memprihatinkan, oleh karena itu dengan adanya makalah ini maka diharapkan agar
orang-orang muslim bisa menerapkanya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembahasan
A.
Pengertian
Dzari’ah
Secara bahasa sadd berarti menutup dan al-zari’ah yang berarti Wasilah atau
jalan ke suatu tujuan. Ada juga yang
mengkhususkan dzari’ah sebagai sesuatu yang membawa kepada yang
dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi,Ibn Qoyyim al-jauziyah (ahli fiqih al hanbali) mengatakan bahwa
pembatasan pengertian dzari’’ah yang
bertujuan kepada yang di anjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang
bersifat umum, sehingga dzari’ah
mengandung dua pengertian, yaitu yang dilarang, disebut sadd al-dzari’ah dan yang dituntut untuk dilaksanakan disebut fath al-dzari’ah.
Dengan demikian , sadd al-dzari’ah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan.
Dalam kajian ushulul fiqih sebagiman telah dikemukakan Abdul Karim Zaidan, sadd al-dzari’ah adalah menutup jalan
yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.
B.
Sadd
al-dzari’ah
Imam al-syathibi mendefinisikan dzari’ah dengan :
التوسل بما هو مصلحة الى مفسد ة
Melakukan suatu
pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu
kemafsadatan.
Maksudnya, seseorang melakukan suatu pekerjaan yang
pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan
yang akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan.
Misalnya, pada dasarnya jual beli itu adalah halal
karena jual beli merupakan salah satu sarana tolong-menolong untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Seseorang membeli sebuah kendaraan seharga tiga puluh
juta secara kredit adalah sah karena pihak penjual memberi keringanan kepada
pembeli untuk tidak segera melunasinya. Akan tetapi, bila kendaraan itu yang
dibeli dengan kredit sebesar tiga puluh juta rupiah – dijual kembali kepada
penjual (pemberi kredit) dengan harga tunai sebesar lima belas juta rupiah,
maka tujuan ini akan membawa kepada suatu kemafsadatan, karena seakan-akan
barang yang di perjual belikan tidak ada dan pedagang kendaraan itu tinggal
menunggu keuntungannya saja. Maksudnya seorang pembeli pada saat membeli
kendaraan dapat uang sebesar lima belas juta rupiah, tetapi ia harus tetap
melunasi hutangnya (kredit kendaraanya itu) sebesar tiga puluh juta
rupiah. Jual beli seperti ini dalam
fiqih disebut dengan Bay’ul al-‘ajal .
gambaran jual beli seperti ini menurut al-Syathibi
tidak lebih dari pelipat gandaan hutang tanpa sebab. Karena hal itu
perbuatan seperti ini dilarang.
Contoh-contoh lain adalah dalam masaah zakat.
Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehinga wajib mengeluarkan
zakatnya)datang,seseorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib di zakatkan
menghibahkan sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga berkurang nishab harta
itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat.
Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau
orang lain dianjurkan oleh syara, karena perbuatan ini merupakan salah satu
akad tolong- menolong. Akan tetapi karena tujuan hibah yang dilakukan itu
adalah untuk menghindari kewajiban (membayar zakat) maka perbuatan ini
dilarang. Pelarangan ini di dasarkan pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunnah
menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.
Imam al-syaihibi mengemukakan tiga syarat yang harus
di penuhi. Sehingga suatu perbuatan itu dilarang:
1. Perbuatan
yang boleh dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan,
2. Kemafsadatan
itu lebih kuat dari kemaslahatan pekerajaan,
3. Dalam
melakukan perbuatan yang dibolehkan unsur kemafsadatannya lebih banyak.
C.
Macam-macam
Dzari’ah
Ada dua
pembagian dzari’ah yang dikemukakan para ulama’ ushulul fiqih. Dzari’ah dilihat
dari segi kualitas kemafsadatannya
dan dzari’ah dilihat dari segi jenis
kemafsadatannya.
1. Dzari’ah
dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya
Imal al-syathibi mengemukakan bahwa dari segi
kualitas kemafsadatanya, dzari’ah terbagi menjadi 4 macam.
ü Perbuatan
yang dilakukan itu membawa kemafsadatannya secara pasti atau (qath’i).
misalnya, seorang penggali sumur di depan pintu rumah orang lain pada malam
hari dan pemilik rumah tidak mengetahuinya. Bentuk kemafsadatnya dari hal ini
adalah ketika pemilik rumah terjatuh ke sumur karena ketidaktahuannya.
ü Perbuatan
yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kemafsadatan.
Misalnya, menggali sumur ditempat yang biasanya tidak memberi mudharat atau
menjual sejenis makanan yang biasanya tidak memberi mudharat kepada orang yang
memakannya.perbuatan tersebut di bolehkan selama tidak membawa kemafsadatannya.
ü Perbuatan
yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan.
Misalnya, menjual senjata kepada musuh atau menjual minuman anggur pada
produsen minuman keras.
ü Perbuatan
itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tapi
memungkinkan juga perbuatan itu membawa kemafsadatan. Misalnya, kasus jual beli
yang disebut bay’ul-al ajal diatas. Jual beli seperti itu cenderung pada riba.
Apabila pandangan ditujukan kepada patokan dasar
jual beli, maka jual beli seperti itu boleh, karena rukun dan syaratnya
terpenuhi. Pandangan seperti ini muncul dari imam syafi’I dan imam abu hanifah,
karena menurut mereka, jika bertolak dari dugaaan belaka (zhann al-mujarrat)
dalam kasus seperti ini, maka tidak bisa dijadikan dasar keharaman (bay’ul al ajal)
tersebut. Apabila pandanagan ditujukan
pada akibat dari perbuatan (jual beli) itu, yang lebih cenderung menjurus
kepada riba, maka perbuatan ini dilarang. Pandangana terakhir ini dianut oleh
imam malik dan imam ahmad ibnu hanbal.
Oleh sebab itu, menurut imam al-syathibi, dalam menentukan
hukum bentuk yang ke empat diatas terdapat perbedaan pendapat. Ulama’ hanafiyah
dan syafi’iyah mengatakan bahwa dzari’ah dalam bentuk yang ke empat tidak
dilarang, karena terjadinya kemafsadatan masih bersifat kemungkinan membawa
kemafsadatan atau tidak. Oleh sebah itu, dugaan seperti ini tidak bisa membuat
perbuatan yang pada dasarnya di bolehkan menjadi dilarang, kecuali apabila
kemafsadatan itu di yakini atau di duga keras akan terjadi. Dalam kasus bay’ul
al-ajal diatas, secara hukum, pembeli telah membeli barang seharga 1000 rupiah
secara kredit. Jual beli Ini pun sah kemudian, pembeli menjual kembali
barangnya itu, yang secara kebetulan, kepada penjual semula, seharga 500
rupiah. Ini pun sah tidak bisa dikatakan bahwa diantara keduanya ada niat untuk
menghalalkan riba, karena hal ini baru bersifat dugaan semata.
Akan tetapi, ulama’ malikiyah dan hanbali
berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk dalam perbuatan yang membawa
kepada kemafsadatan. Oleh sebab itu, akad seperti itu dilarang, karena bagi
mereka yang di jadikan patokan boleh atau tidaknya transaksi (akad) tidak hanya
dilihat dari segi niat saja, tetapi juga dari segi akibat yang ditimbulkan dari
perbuatan tersebut. Dilihat dari segi niat, jual beli tersebut memang sulit di
duga bertujuan untuk menghalalkan riba. Akan tetapi, dari segi akibat yang
ditimbulkannya, maka secara umum di duga keras membawa kepada kemafsadatan.
Dari sisi inilah menurut ulama’ malikiyah dan hanmaliyah, jual beli seperti itu
dilarang.
Ada tiga alasan yang dikemukakan imam malik dan imam
ahmad ibnu hanbal dalam mendukung pendapatnya yaitu:
¥ Dalam
bay’u al-ajal perlu dipertimbangkan tujuan yang membawa kepada riba sekalipun
sifatnya dugaan berat, karena dalam banyak kasus syar’i sendiri sering
mengisyaratkan penentuan hukum atas dasar dugaan berat.
¥ Dalam
bay’ul al-ajal tedapat dua dasar yang bertentangan, yaitu bahwa jual beli pada
dasarnya di perbolehkan, selama rukun dan syaratnya terpenuhi dan bahwa seseorang
harus terhindar dari segala bentuk kemudharatan.
¥ Banyak
sekali nash yang menunjukan dilarangnya perbuatan-perbuatan yang membawa kemafsadatan,
sekalipun pada dasarnya perbuatan semula itu di izinkan.
Oleh sebab itu, seluruh larangan melakukan
perbuatan-perbuatan yang di tunjukkan rosulullah, menurut imam malik dan ahmad
ibnu hanbal, statusnya adalah dugaan berat. Tetapi, karena perbuatan itu banyak
membawa kepada kemafsadatan, maka Rosul melrangnya.
2. Dzari’ah
dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya
Menurut ibnu Qayyim al jauziyah, dzari,ah dari segi
ini terbagi menjadi:
Ø Perbuatan
itu membawa kepada kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang
mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadatan
Ø Perbuatan
itu pada dasarnya perbuatan yang di perbolehkan atau di anjurkan, tetapi jalan
untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tuajun yang disengaja
atau tidak. perbuatan yang mengandung tujuan yang disengaja, misalnya, seorang
yang menikahi seorang wanita yang di talak tiga suaminya dengan tujuan agar
suami pertama wanita itu bisa menikahinya kembali (nikah attahlil).
D.
Kedudukan
sadd al-Dzari’ah sebagai hujjah
Ulama’ berbeda pendapat dalam menjadikan sadd al-dzari’ah sebagai hujjah atau
dalil menetapkan hukum. Kalangan malikiyah dan hanbaliyah menerima sadd al-dzari’ah sebagai dalil
menetapkan hukum. Untuk memperkuat pendapat ini, mereka mengemukakan firman
Alloh surat al-an’am 6:108:
ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله
عدوا بغير علم
Dan janganlah
kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Alloh, karena mereka
nanti akan memaki Alloh dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Ayat ini melarang orang islam memaki dan menghina
sembahan orang-orang musyrik karena dikhawatirkan mereka membalas dengan memaki
dan menghina Alloh. Larangan memaki sembahan orang musyrik adalah sadd al-dzari’ah (menutup jalan) agar
mereka tidak memaki dan menghina Alloh.
Banyak nash lain senada dengan maksud yang di
kandung ayat ini, diantaranya hadist nabi yang melarang kepada orang yang
mempiutangkan hartanya menerima hadiah dari orang yang berhutang untuk
menghindarkan terjerumus dalam praktek riba. Mengambil hadiah tersebut sebagai
ganti atas kelebihan. Dalam kasus lain, nabi saw melarang memberi pembagian
harta warisan kepada anak yang membunuh bapaknya. Larangan ini penting untuk
mencegah terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak dengan alasan agar
segera memperoleh harta warisan. Islam melarang suatu perbuatan yang dapat
menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun perbuatan tersebut semuanya
diperbolehkan.
Sementara kalangan Hanafiyyah, Syafi’iah dan Syi’ah
hanya menerima sadd al-dzari’ah dalam
masalah tertentu dan mereka tidak menjadikannya sebagai dalil dalam
masalah-masalah lain. Misalnya, Imam Syafi’i membolehkan seseorang karena
udzur, seperti sakit dan musafir meninggalkan shalat jumat dan menggantikannya
dengan shalat dzuhur. Namun, orang tersebut hendaklah melaksanakan shalat
dzuhur secara diam-diam dan bersembunyi supaya idak di tuduh sengaja meninggalkan
shalat jumat.
PENUTUP
Inilah beberapa uraian masalah yang
berkaitan dengan Sadd Al-Dzari’ah dalam kaitannya dengan penegakan hukum
syariat. Tentu masih banyak aspek yang belum terungkap dalam makalah ini karena
keterbatasan kemampuan dan referensi. Namun demikian penulis berharap usaha
mudah-mudahan tetap memberi andil dalam upaya kajian yang lebih mendalam lagi.
Daftar Pustaka
Haroen,
Nasrun.1997.Ushulul Fiqh
1.Jakarta:Lagos Wacana Ilmu.
Syarifuddin,
Amir.2004. Ushulul Fiqh.
Jakarta: Dzikrul hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar