Jumat, 25 Januari 2013

makalah saad dzariah


Pendahuluan

Puja dan puji syukur kehadirat Allah Swt yang mana telah melimpahkan rizqinya bagi kita semua. Sehingga dalam kesempatan ini diberikan kemudahan untuk menyusu makalah yang akan kami buat. Dan semoga dengan adanya makalh ini akan bermanfaat bagi seluruh umat muslim didunia.
Tujuan makalah ini di buat adalah salah satu bentuk kepedulian kami bahwa melakukan segala sesuatu yang berhubungan haruslah tidak boleh sembarangan, karena hukum islam sendiri sudah di buat dan di tetapkan. Salah satu yang menerangkan tentang bagimana hukum tesebut di buat adalah ilmu Fiqqih, yang mana dalam masa modern sekarng ini hukum fiqih sudah banyak terlupakan bahkan kadang oleh orang islam sendiri. Hal ini sangatlah memprihatinkan, oleh karena itu dengan adanya makalah ini maka diharapkan agar orang-orang muslim bisa menerapkanya dalam kehidupan sehari-hari.








Pembahasan

A.   Pengertian Dzari’ah
Secara bahasa sadd berarti menutup dan al-zari’ah yang berarti Wasilah atau jalan ke suatu tujuan.  Ada juga yang mengkhususkan dzari’ah  sebagai sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi,Ibn Qoyyim al-jauziyah (ahli fiqih al hanbali) mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’’ah yang bertujuan kepada yang di anjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum, sehingga dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu yang dilarang, disebut sadd al-dzari’ah dan yang dituntut untuk dilaksanakan disebut fath al-dzari’ah.
Dengan demikian , sadd al-dzari’ah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan. Dalam kajian ushulul fiqih sebagiman telah dikemukakan Abdul Karim Zaidan, sadd al-dzari’ah adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.
B.   Sadd al-dzari’ah
Imam al-syathibi mendefinisikan dzari’ah dengan :
التوسل بما هو مصلحة الى مفسد ة                
Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan.
Maksudnya, seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan.
Misalnya, pada dasarnya jual beli itu adalah halal karena jual beli merupakan salah satu sarana tolong-menolong untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seseorang membeli sebuah kendaraan seharga tiga puluh juta secara kredit adalah sah karena pihak penjual memberi keringanan kepada pembeli untuk tidak segera melunasinya. Akan tetapi, bila kendaraan itu yang dibeli dengan kredit sebesar tiga puluh juta rupiah – dijual kembali kepada penjual (pemberi kredit) dengan harga tunai sebesar lima belas juta rupiah, maka tujuan ini akan membawa kepada suatu kemafsadatan, karena seakan-akan barang yang di perjual belikan tidak ada dan pedagang kendaraan itu tinggal menunggu keuntungannya saja. Maksudnya seorang pembeli pada saat membeli kendaraan dapat uang sebesar lima belas juta rupiah, tetapi ia harus tetap melunasi hutangnya (kredit kendaraanya itu) sebesar tiga puluh juta rupiah.  Jual beli seperti ini dalam fiqih disebut dengan Bay’ul al-‘ajal . gambaran jual beli seperti ini menurut al-Syathibi tidak lebih dari pelipat gandaan hutang tanpa sebab. Karena hal itu perbuatan seperti ini dilarang.
Contoh-contoh lain adalah dalam masaah zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehinga wajib mengeluarkan zakatnya)datang,seseorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib di zakatkan menghibahkan sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga berkurang nishab harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat.
Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh syara, karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong- menolong. Akan tetapi karena tujuan hibah yang dilakukan itu adalah untuk menghindari kewajiban (membayar zakat) maka perbuatan ini dilarang. Pelarangan ini di dasarkan pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunnah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.
Imam al-syaihibi mengemukakan tiga syarat yang harus di penuhi. Sehingga suatu perbuatan itu dilarang:
1.      Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan,
2.      Kemafsadatan itu lebih kuat dari kemaslahatan pekerajaan,
3.      Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan unsur kemafsadatannya lebih banyak.



C.    Macam-macam Dzari’ah
Ada dua pembagian dzari’ah yang dikemukakan para ulama’ ushulul fiqih. Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya dan dzari’ah dilihat dari segi jenis kemafsadatannya.
1.      Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya
Imal al-syathibi mengemukakan bahwa dari segi kualitas kemafsadatanya, dzari’ah terbagi menjadi 4 macam.
ü  Perbuatan yang dilakukan itu membawa kemafsadatannya secara pasti atau (qath’i). misalnya, seorang penggali sumur di depan pintu rumah orang lain pada malam hari dan pemilik rumah tidak mengetahuinya. Bentuk kemafsadatnya dari hal ini adalah ketika pemilik rumah terjatuh ke sumur karena ketidaktahuannya.
ü  Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kemafsadatan. Misalnya, menggali sumur ditempat yang biasanya tidak memberi mudharat atau menjual sejenis makanan yang biasanya tidak memberi mudharat kepada orang yang memakannya.perbuatan tersebut di bolehkan selama tidak membawa kemafsadatannya.
ü  Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, menjual senjata kepada musuh atau menjual minuman anggur pada produsen minuman keras.
ü  Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kemafsadatan. Misalnya, kasus jual beli yang disebut bay’ul-al ajal diatas. Jual beli seperti itu cenderung pada riba.
Apabila pandangan ditujukan kepada patokan dasar jual beli, maka jual beli seperti itu boleh, karena rukun dan syaratnya terpenuhi. Pandangan seperti ini muncul dari imam syafi’I dan imam abu hanifah, karena menurut mereka, jika bertolak dari dugaaan belaka (zhann al-mujarrat) dalam kasus seperti ini, maka tidak bisa dijadikan dasar keharaman (bay’ul al ajal) tersebut. Apabila pandanagan  ditujukan pada akibat dari perbuatan (jual beli) itu, yang lebih cenderung menjurus kepada riba, maka perbuatan ini dilarang. Pandangana terakhir ini dianut oleh imam malik dan imam ahmad ibnu hanbal.
Oleh sebab itu, menurut imam al-syathibi, dalam menentukan hukum bentuk yang ke empat diatas terdapat perbedaan pendapat. Ulama’ hanafiyah dan syafi’iyah mengatakan bahwa dzari’ah dalam bentuk yang ke empat tidak dilarang, karena terjadinya kemafsadatan masih bersifat kemungkinan membawa kemafsadatan atau tidak. Oleh sebah itu, dugaan seperti ini tidak bisa membuat perbuatan yang pada dasarnya di bolehkan menjadi dilarang, kecuali apabila kemafsadatan itu di yakini atau di duga keras akan terjadi. Dalam kasus bay’ul al-ajal diatas, secara hukum, pembeli telah membeli barang seharga 1000 rupiah secara kredit. Jual beli Ini pun sah kemudian, pembeli menjual kembali barangnya itu, yang secara kebetulan, kepada penjual semula, seharga 500 rupiah. Ini pun sah tidak bisa dikatakan bahwa diantara keduanya ada niat untuk menghalalkan riba, karena hal ini baru bersifat dugaan semata.
Akan tetapi, ulama’ malikiyah dan hanbali berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk dalam perbuatan yang membawa kepada kemafsadatan. Oleh sebab itu, akad seperti itu dilarang, karena bagi mereka yang di jadikan patokan boleh atau tidaknya transaksi (akad) tidak hanya dilihat dari segi niat saja, tetapi juga dari segi akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Dilihat dari segi niat, jual beli tersebut memang sulit di duga bertujuan untuk menghalalkan riba. Akan tetapi, dari segi akibat yang ditimbulkannya, maka secara umum di duga keras membawa kepada kemafsadatan. Dari sisi inilah menurut ulama’ malikiyah dan hanmaliyah, jual beli seperti itu dilarang.
Ada tiga alasan yang dikemukakan imam malik dan imam ahmad ibnu hanbal dalam mendukung pendapatnya yaitu:
¥  Dalam bay’u al-ajal perlu dipertimbangkan tujuan yang membawa kepada riba sekalipun sifatnya dugaan berat, karena dalam banyak kasus syar’i sendiri sering mengisyaratkan penentuan hukum atas dasar dugaan berat.
¥  Dalam bay’ul al-ajal tedapat dua dasar yang bertentangan, yaitu bahwa jual beli pada dasarnya di perbolehkan, selama rukun dan syaratnya terpenuhi dan bahwa seseorang harus terhindar dari segala bentuk kemudharatan.
¥  Banyak sekali nash yang menunjukan dilarangnya perbuatan-perbuatan yang membawa kemafsadatan, sekalipun pada dasarnya perbuatan semula itu di izinkan.
Oleh sebab itu, seluruh larangan melakukan perbuatan-perbuatan yang di tunjukkan rosulullah, menurut imam malik dan ahmad ibnu hanbal, statusnya adalah dugaan berat. Tetapi, karena perbuatan itu banyak membawa kepada kemafsadatan, maka Rosul melrangnya.
2.      Dzari’ah dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya
Menurut ibnu Qayyim al jauziyah, dzari,ah dari segi ini terbagi menjadi:
Ø  Perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadatan
Ø  Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang di perbolehkan atau di anjurkan, tetapi jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tuajun yang disengaja atau tidak. perbuatan yang mengandung tujuan yang disengaja, misalnya, seorang yang menikahi seorang wanita yang di talak tiga suaminya dengan tujuan agar suami pertama wanita itu bisa menikahinya kembali (nikah attahlil).

D.   Kedudukan sadd al-Dzari’ah sebagai hujjah
Ulama’ berbeda pendapat dalam menjadikan sadd al-dzari’ah sebagai hujjah atau dalil menetapkan hukum. Kalangan malikiyah dan hanbaliyah menerima sadd al-dzari’ah sebagai dalil menetapkan hukum. Untuk memperkuat pendapat ini, mereka mengemukakan firman Alloh surat al-an’am 6:108:

ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغير علم
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Alloh, karena mereka nanti akan memaki Alloh dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Ayat ini melarang orang islam memaki dan menghina sembahan orang-orang musyrik karena dikhawatirkan mereka membalas dengan memaki dan menghina Alloh. Larangan memaki sembahan orang musyrik adalah sadd al-dzari’ah (menutup jalan) agar mereka tidak memaki dan menghina Alloh.
Banyak nash lain senada dengan maksud yang di kandung ayat ini, diantaranya hadist nabi yang melarang kepada orang yang mempiutangkan hartanya menerima hadiah dari orang yang berhutang untuk menghindarkan terjerumus dalam praktek riba. Mengambil hadiah tersebut sebagai ganti atas kelebihan. Dalam kasus lain, nabi saw melarang memberi pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh bapaknya. Larangan ini penting untuk mencegah terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak dengan alasan agar segera memperoleh harta warisan. Islam melarang suatu perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun perbuatan tersebut semuanya diperbolehkan.
Sementara kalangan Hanafiyyah, Syafi’iah dan Syi’ah hanya menerima sadd al-dzari’ah dalam masalah tertentu dan mereka tidak menjadikannya sebagai dalil dalam masalah-masalah lain. Misalnya, Imam Syafi’i membolehkan seseorang karena udzur, seperti sakit dan musafir meninggalkan shalat jumat dan menggantikannya dengan shalat dzuhur. Namun, orang tersebut hendaklah melaksanakan shalat dzuhur secara diam-diam dan bersembunyi supaya idak di tuduh sengaja meninggalkan shalat jumat.



PENUTUP
Inilah beberapa uraian masalah yang berkaitan dengan Sadd Al-Dzari’ah dalam kaitannya dengan penegakan hukum syariat. Tentu masih banyak aspek yang belum terungkap dalam makalah ini karena keterbatasan kemampuan dan referensi. Namun demikian penulis berharap usaha mudah-mudahan tetap memberi andil dalam upaya kajian yang lebih mendalam lagi.










Daftar Pustaka
Haroen, Nasrun.1997.Ushulul Fiqh 1.Jakarta:Lagos Wacana Ilmu.
Syarifuddin, Amir.2004. Ushulul Fiqh. Jakarta: Dzikrul hakim.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar