BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Karena
kecenderungan mereka dalam mengungkapkan dunianya yang lebih mengarah kepada
hal-hal mistis, maka prsan-pesan Al-Qur’an dan hadist oleh mereka tidak
difahami dari sudut makna lahiriah tekstualnya, tetapi dari sisi tafsir
batiniah dan diungkapkan dalam kata-kata kiasan dan pelambang seperti fana’, baqa’,
dan Ittihad.Sehingga pada gilirannya mengalami benturan pemahaman
yang tidak jarang melahirkancash sosial dan politik dengan kelompok
syar’I yang memang lebih banyak menekankan pemahaman keagamaan dari aspek
bentuk makna lahiriah tekstual nash.
Pada
bab ini kita akan mengkaji al-fana, al-baqa, dan Al-Ittihad dari
segi pengertian dan hubungannya. Kemudian akan dilanjutkan dengan
tingkatan-tingkatan Al-fana, serta Al-fana, Al-baqa, dan Al-Ittihad dalam
pandangan Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan Al-Fana,
Al-Baqa Dan Al-Ittihad
Dari segi bahasa
al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu.Fana berbeda dengan al-fasad(rusak).
Fana artinya tidak tampak sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu
kepada sesuatu yang lain.[1]Dalam hubungan ini Ibn Sina
ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda
yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar
permulaanya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang
lainnya, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak.
Adapun artinya fana
menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri
atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana
berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat yang tercela.
Dalam pada itu Mustafa
Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya indrawi atau
kebasyariahan, yakin sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan
hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi
melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia
telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk. Selain itu fana juga dapat
berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
Sebagai akibat dari
fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang
dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat
Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka
yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa
datang beriringan, sebagai mana dinyatakan oleh para ahli tasawuf
“Apabila tampaklah nur
kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqa lah yang kekal”
Tasawuf ituialah
mereka fana dari dirinya dan baqa dengan tuhannya, karena kehadiran hati mereka
bersama Allah.
Dengan demikian,
dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat
basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri
manusia.Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang
terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat.Untuk
mencapai baqa ini perludilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir,
beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
Selanjutnya fana yang
dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al-fana ‘an al-nafs), yaitu
hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut
al-Qusyairi, fana yang dimaksud adalah:
“Fana seseorang dari
dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang
dirinya dan tentang makhluk lain itu, sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian
pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya”.
Kalau seorang sufi
telah mencapai al-fana al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam
arti tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaniah.
Menurut Harun Nasution, kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadilangsung
setelah tercapainnya al-fana al-nafs. Tak ubahnya dengan fana yang terjadi
ketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk diatas.Dengan hancurnya
hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan
baik.
Berdasarkan uraian
tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah
mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang
didasari hanya Tuhan dalam dirinya.
Adapun kedudukannya
adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus-menerusdan
juga karena dilimpahkan oleh Tuhan.Fana merupakan keadaan dimana seorang hanya
menyadari kehadiran tuhan dalam dirinya, dan kelihatan lebih merupakan alat
jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan tuhan).
Berbicara fana dan
baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau
rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah
ittihad itu.Hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang
mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham
ittihad. Dalam ajaran itihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagai
dikatakan oleh al-Badawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun
sebenar-benarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain karena yang
dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa
terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai
(tuhan) ataau tegasnya antara sufi dan Tuhan.
Dalam situasi ittihad
yang demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan,
suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata:
“Hai Aku”.
Dengan demikian jika
seorang sufi mengatakan misalnya “maha suci aku”, maka yang dimaksud aku disitu
bukanlah sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya
dengan Tuhan, melalui fana dan baqa.
B. Tokoh Yang Mengembangkan Fana, Baqa dan
Ittihad
1. Abu Yazid Bustami
Abu Yazid al-Bustami
(wafat 874 M) adalah seorang ahli sufi yang terkenal diPersia sekitar abad
ketiga hijriyah. Ia disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan
faham fana’ dan baqa’.Nama kecilnya adalah Thaifur. Sebelum ia mendalami
tasawuf ia mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi. Ia memperingatkan
manusia agar tidak terpedaya dengan seseorang sebelum melihat sebagaimana ia
melakukan perintah dan meninggalkan larangan Tuhan, menjaga ketentuan-ketentuan
dan melaksanakan syari’at-Nya. Selengkapnya perkataan beliau adalah :
لو
نظرتم الي رجل اعطى كرامات حتى يرتقي في الهوء فلا تغتروا به حتي تنظروا كيف
تجدونه عند االامر والنهي وحفظ الحدود واداء الشريعة
“Kalau
kamu melihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup
terbang di udara maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia
mengikuti perintah syari’at dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”.
Setelah ia mendalami
tasawuf, ia memunculkan faham baqa’ dan fana’, dimana apabila ia telah fana’
dan mencapai baqa’ maka keluarlah kata-kata yang ganjil yang jika tidak hati-hati
memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai
Tuhan. Ia sering dipandang pula sebagai sufi “yang mabuk” lantaran ia terlalu
jauh mengucapkan kalimat ketuhanan dalam dirinya.
Paham ini mendapat
tanggapan yang berbeda dikalangan para ulama.Banyak yang pro maupun kontra.
Perbedaan sikap ini terutama dikalangan ulama sufi dan dikalangan ulama fiqh.
Oleh sebab itu penulis merasa tertarik untuk membahas hal ini dalam sebuah
makalah singkat yang fokusnya terutama pada tokoh pendiri, pokok-pokok ajaran
dan beberapa analisa terhadap ajaran-ajarannya yang dikembangkannya.
2. Riwayat Hidup Bustami
Al-Bustami atau dalam
beberapa tulisan disebut juga Bistomi, Bustomi dan Bastomi sering juga disebut
Bayazid.Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur ibn Surusyam.Ia lahir diwilayah
Qum di Persia Barat Laut tahun 188-261 H/804-875 M. Ia adalah putra seorang
ayah yang menganut keyakinan Zoroastria. Ayahnya Isa ibn Surusyam adalah pemuka
masyarakat di Biston dan ibunya dikenal sebgai zahid (orang yang meninggalkan
keduniaan) dan kakaknya Surusyam sebelum memeluk Islam adalah penganut agama
Majusi.
Al Bustami mempelajari
ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi lalu kemudian mendalami tasawuf.Sebagian besar
kehidupan “sufi” dan “abid”nya dilaluinya di Biston.Ia selalu mendapat tekanan
dari para ulama Mutakallimin (Teolog) serta
Penduduk di kota kelahirannya yang tidak
mengizinkan ia tinggal menyebabkan ia terusir dari negerinya sampai akhirnya
wafat pada tahun 261 H bertepatan dengan tahun 875 M.
Al-Bustami tidak
meninggalkan karangan atau tulisan tetapi ia terkenal lantaran
ucapan-ucapannya. Terkadang ungkapannya dipandang sebagai al-syathahat atau
ungkapan ketuhanan misalnya ungkapannya :
“Maha suci Aku, Maha
suci Aku, betapa besar keagungan-Ku” yang belakangan dikumpulkan dalam kitab
al-Luma (buku pancaran sinar) yang ditulis oleh al-Sarraj. Setelah ia wafat
para ahli sufi masih banyak mengunjungi makam al-Bustami, misalnya al-Hujwiri,
bahkan sejumlah ahli sufi lainnya menaruh hormatterhadap al-Bustami meski bukan
berarti mereka menerima kalimat-kalimatnya tanpa koreksi.
Pengikut al-Bustami
kemuidian mengembangkan ajaran tasawufdengan membentuk suatu aliran tarikat
bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah alBustami yakni Taifur.Pengaruh
terikat ini masih dapat dilihat dibeberapa dunia Islam seperti Zaousfana’,
Maghrib (meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia), Chittagong dan Bangladesh. Makam
al-Bustami terletak ditengah kota Biston dan dijadikan objek ziarah oleh
masyarakat. Sebagian masyarakat mempercayai sebagai wali atau orang yang
memiliki kekaramatan.Sultan Moghul, Muhammad Khudabanda memberi kubahpada
makamnya pada tahun 713 H / 1313 M atas saran penasehat agama sultan bernama
Syaikh Syafaruddin.
C. Fana Dan Baqa dan Ittihad Dalam Pandangan Al-Quran
Fana dan Baqa
merupakan jalan menuju Tuhan, hal ini sejalan dengan firman Allah surat
Al-kahfi ayat 10 yang berbunyi:
“Barang siapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya.”( Q. S. Al-Kahfi, 18: 110).
Paham ittihad ini juga
dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata:
“Ya Tuhan, bagai mana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggalah
dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
Ayat tersebut memberi
petunjuk bahwa Allah swt. telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu
dengan Tuhan secara rohaniyah atau bathiniyah, yang caranya antara lain dengan
beramal shaleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan
sifat-sifat dan akhlak buruk (Fana), meninggalkan dosa dan maksiat, dan
kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kemudian ini tercakup
dalam konsep Fana dan Baqa, hal ini juga dapat dipahami dari isyarat ayat di
bawah ini:
“Semua yang ada di
bumi itu akan binasa.Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan.” (Q.S. Al-Rahman: 26-27).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar