Selasa, 23 April 2013

Fana Dan Baqa dan Ittihad


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Karena kecenderungan mereka dalam mengungkapkan dunianya yang lebih mengarah kepada hal-hal mistis, maka prsan-pesan Al-Qur’an dan hadist oleh mereka tidak difahami dari sudut makna lahiriah tekstualnya, tetapi dari sisi tafsir batiniah dan diungkapkan dalam kata-kata kiasan dan pelambang seperti fana’baqa’, dan Ittihad.Sehingga pada gilirannya mengalami benturan pemahaman yang tidak jarang melahirkancash sosial dan politik dengan kelompok syar’I yang memang lebih banyak menekankan pemahaman keagamaan dari aspek bentuk makna lahiriah tekstual nash.
Pada bab ini kita akan mengkaji al-fana, al-baqa, dan Al-Ittihad dari segi pengertian dan hubungannya. Kemudian akan dilanjutkan dengan tingkatan-tingkatan Al-fana, serta Al-fana, Al-baqa, dan Al-Ittihad dalam pandangan Al-Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan Al-Fana, Al-Baqa Dan Al-Ittihad
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu.Fana berbeda dengan al-fasad(rusak). Fana artinya tidak tampak sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.[1]Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar permulaanya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak.
Adapun artinya fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat yang tercela.
Dalam pada itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya indrawi atau kebasyariahan, yakin sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk. Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan, sebagai mana dinyatakan oleh para ahli tasawuf
“Apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqa lah yang kekal”
Tasawuf ituialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia.Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat.Untuk mencapai baqa ini perludilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
Selanjutnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al-fana ‘an al-nafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut al-Qusyairi, fana yang dimaksud adalah:
“Fana seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu, sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya”.
Kalau seorang sufi telah mencapai al-fana al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaniah. Menurut Harun Nasution, kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadilangsung setelah tercapainnya al-fana al-nafs. Tak ubahnya dengan fana yang terjadi ketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk diatas.Dengan hancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang didasari hanya Tuhan dalam dirinya.
Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus-menerusdan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan.Fana merupakan keadaan dimana seorang hanya menyadari kehadiran tuhan dalam dirinya, dan kelihatan lebih merupakan alat jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan tuhan).
Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu.Hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran itihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagai dikatakan oleh al-Badawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenar-benarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (tuhan) ataau tegasnya antara sufi dan Tuhan.
Dalam situasi ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku”.
Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya “maha suci aku”, maka yang dimaksud aku disitu bukanlah sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan, melalui fana dan baqa.

B.     Tokoh Yang Mengembangkan Fana, Baqa dan Ittihad
1.      Abu Yazid Bustami
Abu Yazid al-Bustami (wafat 874 M) adalah seorang ahli sufi yang terkenal diPersia sekitar abad ketiga hijriyah. Ia disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana’ dan baqa’.Nama kecilnya adalah Thaifur. Sebelum ia mendalami tasawuf ia mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi. Ia memperingatkan manusia agar tidak terpedaya dengan seseorang sebelum melihat sebagaimana ia melakukan perintah dan meninggalkan larangan Tuhan, menjaga ketentuan-ketentuan dan melaksanakan syari’at-Nya. Selengkapnya perkataan beliau adalah :

لو نظرتم الي رجل اعطى كرامات حتى يرتقي في الهوء فلا تغتروا به حتي تنظروا كيف تجدونه عند االامر والنهي وحفظ الحدود واداء الشريعة

“Kalau kamu melihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syari’at dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”.
Setelah ia mendalami tasawuf, ia memunculkan faham baqa’ dan fana’, dimana apabila ia telah fana’ dan mencapai baqa’ maka keluarlah kata-kata yang ganjil yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan. Ia sering dipandang pula sebagai sufi “yang mabuk” lantaran ia terlalu jauh mengucapkan kalimat ketuhanan dalam dirinya.

Paham ini mendapat tanggapan yang berbeda dikalangan para ulama.Banyak yang pro maupun kontra. Perbedaan sikap ini terutama dikalangan ulama sufi dan dikalangan ulama fiqh. Oleh sebab itu penulis merasa tertarik untuk membahas hal ini dalam sebuah makalah singkat yang fokusnya terutama pada tokoh pendiri, pokok-pokok ajaran dan beberapa analisa terhadap ajaran-ajarannya yang dikembangkannya.
2.      Riwayat Hidup Bustami
Al-Bustami atau dalam beberapa tulisan disebut juga Bistomi, Bustomi dan Bastomi sering juga disebut Bayazid.Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur ibn Surusyam.Ia lahir diwilayah Qum di Persia Barat Laut tahun 188-261 H/804-875 M. Ia adalah putra seorang ayah yang menganut keyakinan Zoroastria. Ayahnya Isa ibn Surusyam adalah pemuka masyarakat di Biston dan ibunya dikenal sebgai zahid (orang yang meninggalkan keduniaan) dan kakaknya Surusyam sebelum memeluk Islam adalah penganut agama Majusi.
Al Bustami mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi lalu kemudian mendalami tasawuf.Sebagian besar kehidupan “sufi” dan “abid”nya dilaluinya di Biston.Ia selalu mendapat tekanan dari para ulama Mutakallimin (Teolog) serta

Penduduk di kota kelahirannya yang tidak mengizinkan ia tinggal menyebabkan ia terusir dari negerinya sampai akhirnya wafat pada tahun 261 H bertepatan dengan tahun 875 M.
Al-Bustami tidak meninggalkan karangan atau tulisan tetapi ia terkenal lantaran ucapan-ucapannya. Terkadang ungkapannya dipandang sebagai al-syathahat atau ungkapan ketuhanan misalnya ungkapannya :
“Maha suci Aku, Maha suci Aku, betapa besar keagungan-Ku” yang belakangan dikumpulkan dalam kitab al-Luma (buku pancaran sinar) yang ditulis oleh al-Sarraj. Setelah ia wafat para ahli sufi masih banyak mengunjungi makam al-Bustami, misalnya al-Hujwiri, bahkan sejumlah ahli sufi lainnya menaruh hormatterhadap al-Bustami meski bukan berarti mereka menerima kalimat-kalimatnya tanpa koreksi.
Pengikut al-Bustami kemuidian mengembangkan ajaran tasawufdengan membentuk suatu aliran tarikat bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah alBustami yakni Taifur.Pengaruh terikat ini masih dapat dilihat dibeberapa dunia Islam seperti Zaousfana’, Maghrib (meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia), Chittagong dan Bangladesh. Makam al-Bustami terletak ditengah kota Biston dan dijadikan objek ziarah oleh masyarakat. Sebagian masyarakat mempercayai sebagai wali atau orang yang memiliki kekaramatan.Sultan Moghul, Muhammad Khudabanda memberi kubahpada makamnya pada tahun 713 H / 1313 M atas saran penasehat agama sultan bernama Syaikh Syafaruddin.

C.    Fana Dan Baqa dan Ittihad Dalam Pandangan Al-Quran
Fana dan Baqa merupakan jalan menuju Tuhan, hal ini sejalan dengan firman Allah surat Al-kahfi ayat 10 yang berbunyi:
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.”( Q. S. Al-Kahfi, 18: 110).
Paham ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagai mana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggalah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah swt. telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniyah atau bathiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal shaleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak buruk (Fana), meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kemudian ini tercakup dalam konsep Fana dan Baqa, hal ini juga dapat dipahami dari isyarat ayat di bawah ini:
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Al-Rahman: 26-27).



[1]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006). hal. 231.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar